Suaramuslim.net – Rendahnya ukhuwah islamiyah merupakan awal terjadinya bencana besar bagi umat Islam. Tidak mengucapkan salam terhadap pihak yang dianggap tidak sepaham, adanya sikap eksklusif dan tidak menunjukkan sikap yang beradab terhadap sesama muslim, hingga saling meniadakan eksistensi kelompok lain, merupakan contoh rendahnya persaudaraan Islam.
Bahkan sekelompok umat Islam menuding kelompok lain telah merebut dan menguasai masjid hingga meniadakan yang tak sepaham. Perbincangan dan pembicaraan ini masih terjadi di kalangan umat Islam sehingga wajar apabila ada pihak tertentu menyatakan bahwa dakwah Islam yang rahmatan lil alamin masih dalam wacana.
Problem kemiskinan, ketidakadilan, keterbelakangan, dan berbagai ketimpangan sosial yang melanda negeri ini tak tersentuh. Hal ini penting untuk diperbincangkan karena pekerjaan besar umat Islam masih banyak dan besar serta perlu mendapatkan prioritas untuk dipecahkan.
Alih-alih untuk memberikan solusi terbaik dan cepat, umat Islam masih belum beranjak dari problem ukhuwah sehingga melupakan problem besar yang membutuhkan penanganan bersama.
Rahmatan lil muslimin
Konsep rahmatan lil alamin masih menjadi pekerjaan besar bagi umat Islam. Hal ini karena dalam konteks mikro persaudaraan Islam masih kurang, sehingga antar umat Islam masih terjadi gesekan.
Adanya sekelompok kaum muslimin tidak berucap salam kepada muslim yang lain, karena ada perbedaan paham keagamaan, atau beda mazhab, jelas akan menyakitkan pihak yang tidak mendapatkan salam.
Demikian juga adanya sebagian umat Islam yang bersikap eksklusif dengan tidak mau bergaul dengan mereka yang dianggap bukan golongannya. Bahkan ketiadaan adab kepada mereka yang lebih tua atau siapapun yang telah memberi kontribusi kepadanya, jelas memperburuk citra umat Islam yang penuh dengan ajaran pentingnya berakhlak.
Di dalam komunitas keagamaan pun masih terjadi adanya saling meniadakan eksistensi kelompok lain dan ingin kelompoknya menjadi dominan atau menguasai, jelas akan mengganggu kenyamanan dalam bermuamalah. Termasuk di dalamnya, muncul tudingan adanya sebagian kelompok Islam yang merebut dan menguasai masjid milik orang lain serta meniadakan eksistensi mereka yang tidak sepaham dengannya, jelas merupakan keganjilan dalam beragama.
Situasi ini bukan hanya memunculkan konflik, tetapi akan melahirkan perilaku dendam yang akan terwariskan, sehingga di antara umat Islam saling meniadakan eksistensi kelompok yang pernah memperlakukannya.
Ketika fenomena di atas masih terjadi dan perbincangan tentang hal ini masih menjadi fenomena umum di kalangan umat Islam, maka telah terjadi kegagalan umat Islam dalam menerapkan konsep Islam sebagai agama rahmatan lil alamin.
Selama persaudaraan Islam masih dalam wacana, maka sulit bagi umat Islam untuk mewujudkan rahmatan lil alamin. Fenomena saling meniadakan dan menghilangkan eksistensi kelompok lain dalam Islam, bisa dipastikan akan mengalami kendala besar dalam memecahkan problem besar.
Problem kemiskinan, ketidakadilan, keterbelakangan, dan berbagai ketimpangan sosial sudah seharusnya menjadikan umat Islam menyatukan langkah, tetapi justru yang terjadi, saling menyingkirkan dan saling menjatuhkan atau menghilangkan eksistensi di kalangan umat Islam sendiri.
Ketimpangan dan ketidakadilan sosial
Persoalan umat Islam dan bangsa Indonesia banyak dan komplek. Kemiskinan dan ketidakmerataan sosial, ketidakadilan dan keterbelakangan ekonomi sangat terlihat jelas, serta berbagai ketimpangan sosial terlihat dan tersebar di mana-mana. Ini merupakan pekerjaan besar bagi umat Islam sebagai penduduk mayoritas di negeri ini.
Alih-alih menyuguhkan jalan keluar atas problem besar ini, umat Islam justru terlibat dalam pertikaian yang kontraproduktif antar muslim.
Kemiskinan tersebar di berbagai level sosial, jumlah warga miskin terus bertambah dan sulit dikurangi. Kehidupan orang kaya yang semakin makmur dan mapan namun miskin kepedulian sosialnya. Bahkan mereka memanfaatkan kemiskinan untuk memperkaya diri. Sementara mereka lupa berbagi, sehingga ketidakmerataan dan ketimpangan sosial dan ekonomi semakin lebar.
Demikian pula ketidakadilan juga terlihat kasat mata. Penindasan terjadi di berbagai level sosial, politik, dan ekonomi. Keterbelakangan ekonomi juga sangat nampak dengan penguasaan aset oleh sekelompok kecil sementara mayoritas gigit jari. Umat Islam sebagai kelompok mayoritas menjadi korban disparitas sosial dan ekonomi ini.
Bahkan berbagai ketimpangan sosial yang terlihat dan tersebar di mana-mana belum memperoleh perhatian dari ormas atau elemen umat Islam. Mereka seharusnya peduli terhadap hal itu, namun realitasnya berbeda.
Maraknya pemurtadan terus berlangsung, dan pada saat yang sama infiltrasi pemikiran sekuler-liberal hingga tak terasa menggerogoti akidah umat Islam. Umat Islam beragama namun tanpa ruh Islam karena mereka mengalami kedangkalan akidah namun tanpa terasa.
Hal ini berimplikasi rendahnya kepedulian terhadap sesama muslim, karena spirit untuk melakukan perlawanan telah redup. Alih-alih melakukan perlawanan, mereka justru menjadi bagian dari sekularisasi dan liberalisasi Islam.
Problem eksternal yang demikian besar ini jelas mengancam akidah umat Islam namun terabaikan. Hal ini karena disimpangkan oleh problem perpecahan internal umat Islam. Antar umat Islam masih terjadi saling mengkafirkan dan tak bersikap ramah pada sesamanya.
Belum selesainya rahmatan lil muslimin inilah yang menjadi akar hilangnya rasa kekhawatiran dan bahaya eksternal, namun sangat sensitif terhadap permusuhan antar umat Islam.
Ancaman eksternal yang jauh lebih dahsyat justru terabaikan. Umat Islam justru disibukkan dengan urusan internal dengan mengurusi soal-soal yang kontraproduktif bagi umat Islam sendiri.
Alih-alih memberikan kontribusi pada persoalan besar, seperti kemiskinan, ketidakadilan dan ketimpangan sosial, umat Islam justru menjadi korban dan terlindas oleh persoalan besar itu sendiri.