Pilpres: Pertarungan Pancasila dan Virus Post-Truth

Pilpres: Pertarungan Pancasila dan Virus Post-Truth

Era Post Truth dan Menguatnya Trend Pemilih Kaca Mata Kuda
(Foto: suarabekasi)

Suaramuslim.net – Menurut Oxford Dictionaries, ‘post-truth’ diartikan sebagai istilah yang berhubungan dengan atau mewakili situasi-situasi di mana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibanding fakta-fakta yang objektif.

Dikutip dari yahoo.com, Oxford Dictionaries melacak asal muasal istilah post-truth dan menemukan fakta bahwa seorang penulis keturunan Serbia bernama Steve Tesich memakainya pertama kali dalam sebuah esai di tahun 1992 tentang skandal Iran-Contra dan Perang Teluk. Secara sederhana, post-truth digunakan ketika fakta-fakta tidak lagi relevan dalam politik.

Rupanya virus post truth telah menghinggapi para elite dan penyelenggara pemilu KPU di Indonesia. Mereka menganggap kebohongan menjadi lebih penting ketimbang data dan fakta pikiran mereka. Kebohongan yang terus menerus dilakukan akan menjadi kebenaran.

Sejak debat calon Presiden dan Wakil Presiden sudah berapa kali Jokowi melakukan kebohongan dalam jawaban debat? Mulai dari kebakaran hutan, ganti untung lahan untuk infrastruktur, BPJS, impor beras, dll, tetapi para cerdik pandai kalangan kampus, media masa, seperti terhipnotis menjadi sebuah kebenaran.

Puncak dari pertarungan total yang pernah dikatakan Muldoko memang terjadi antara pemegang moral hazard dengan para koboi post truth.

Dimulai dari rekayasa DPT yang KPU tidak mampu menuntaskan. Ada 17,5 juta DPT invalid yang tidak terselesaikan sampai dimulai coblosan. Kemudian memasuki pilpres rekayasa berlanjut pada quick count secara bersamaan bekerja sama dengan TV mainstream menyiarkan hasil quick count yang ditujukan untuk menggiring persepsi masyarakat memenangkan 01. Rupanya netizen lebih cerdik sehingga terbongkar lah cara-cara tidak jujur itu yang kemudian oleh KPI dihentikan penyiarannya.

Sudah 100 lebih rakyat meninggal dunia untuk menjaga proses demokrasi sebagai anggota KPPS pemilu dengan penuh cedera, kecurangan yang beritanya ke manca negara, menjadikan pemilu paling kotor, curang dan brutal.

Para pemegang moral hazard yang terdiri dari pemegang keimanan agama, pemegang nilai-nilai jati diri bangsa Pancasila, terus melakukan monitoring terhadap hasil pemilu dengan data C1 sehingga KPU diawasi oleh seluruh netizen yang punya data akurat. Setiap pergerakan bisa diteliti, asal TPS dan berapa jumlah pemilih, hasil pemilihan siapa pemenangnya. Rupanya KPU lupa bahwa mata netizen selalu mengawasinya. Akibat dari ketidakjujuran ini, KPU semakin tidak mendapat kepercayaan netizen.

Para punggawa 01 dan KPU lupa, negeri ini bukan negeri di Amerika atau Eropa yang bisa melakukan post truth dengan mudah tanpa moral hazard. Dengan mudah melakukan penipuan dan kebohongan, tentu akan mendapat perlawanan yang sangat gigih dari para penjaga moral hazard, sebab di samping mereka yang cenderung sekuler dengan menghalalkan segala cara, masih banyak netizen yang memegang kejujuran.

Masih banyak yang setiap malam salat tahajud, masih banyak yang setiap detak jantung berzikir menyebut asma Allah dan masih banyak yang memikirkan nasib anak cucu bangsa ini.

Pemilu belum selesai justru ontra-ontra baru dimulai dan polisi sudah menyiapkan pasukan, seakan mau ada Perang Bubat. Rupanya petinggi polisi harus berpikir dua kali tentang persoalan ini sebab melawan kedaulatan rakyat rasanya tidak akan menang dan justru bisa memutar balikkan keadaan.

Bung Karno pun pernah mengingatkan: “Kekuasaan seorang Presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanya kekuasaan rakyat. Dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.”*

Prihandoyo Kuswanto (Ketua Rumah Pancasila)
Pojok Wiyung
25-04-2019

*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment