Refleksi Kemerdekaan bidang Ekonomi Politik

Refleksi Kemerdekaan bidang Ekonomi Politik

Ilustrasi merdeka dari Corona. Foto: ayojakarta.com

Suaramuslim.net – Dalam rangka kritis, saling mengingatkan untuk urusan publik dan rakyat banyak, serta dalam rangka “check and balance” yang lebih luas, maka refleksi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 2020 berdasarkan pemaknaan saya dalam melihat data dan kondisi saat ini adalah sebagai berikut.

1. Refleksi terhadap kebijakan pemerintah utamanya pandemi memperlihatkan bahwa kita belum merdeka dari pandemi, yang menyerang rakyat dan bangsa ini.

Refleksi kemerdekaan pada saat ini dengan perenungan lepas dan lebih mendalam menunjukkan bahwa pemerintah telah gagal mengendalikan pandemi karena kebijakan sejak awal lemah dan tidak menunjukkan niat dan implementasi yang kuat mengatasi covid-19.

Sejak awal pemerintah memberikan sinyal kebijakan membingungkan dan kacau sehingga disiplin dan barisan rakyat lengah, terbuka diserang covid-19, sehingga banyak wilayah masuk zona merah selama berbulan-bulan dan hampir seluruh wilayah Indonesia terjangkit covid19.

Akhirnya kebijakan mengatasi pandemi gagal, nasi sudah menjadi bubur, seperti terlihat perbandingan kasus harian yang terjangkit covid-19 di Indonesia. Kasus penyebaran dan masyarakat yang terjangkit covid-19 terus meningkat dari waktu ke waktu sebagai pertanda kegagalan kebijakan mengatasi masalah pokok ini.

2. Indonesia adalah negara yang terbelakang dalam hal kebijakan pandemi ini, terbukti dari hasil kebijakan yang nihil, kasus harian terus meningkat.

Justru pemerintah yang menjadi pemicu peningkatan grafik kasus harian tersebut karena mengabaikan kontrol, kebijakan PSBB lemah, anggaran kesehatan tidak memadai, test covid-19 sejak awal sedikit, prioritas di lapangan lebih pada ekonomi. Negara lain di ASEAN (Malaysia, Thailand, Vietnam) dan banyak negara lainnya sudah mampu mengendalikan masalah pokok covid-19 ini. Kebijakan mengatasi Pandemi di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tersebut terlihat sangat buruk.

3. Pemerintah dengan kasus harian yang parah ini tetap merasa yakin bisa menyelesaikannya, tidak ada perasaan bersalah, “confidence” naif.

Kebijakan tidak berubah, tetap seperti biasanya sehingga tidak ada tanda-tanda kasus harian covid-19 akan menurun. Dengan kegagalan yang kasat mata dalam kebijakan mengatasi pandemi ini, maka pemerintah selayaknya meminta maaf kepada rakyat Indonesia.

Pidato kenegaraan presiden tidak memperhatikan aspek kegagalan ini dan masih menganggap kebijakan pemerintah berada pada jalur yang benar (on the right track), sudah dianggap efektif berhasil, lebih hebat pertumbuhannya dibandingkan Singapura, Vietnam dan lainnya.

4. Sumber masalah pokok dari ekonomi tidak bisa dikendalikan karena pemerintah mengabaikan kebijakan kendali pandemi covid-19 ini.

Dengan keyakinan, pandemi akan beres dengan sendirinya, maka kebijakan pemerintah lebih memilih mendorong ekonomi dengan kucuran dana yang jauh melebihi anggaran kesehatan. Strategi kebijakan ini seperti mengisi ember bocor karena masalah dasar kebocorannya tidak diatasi dengan baik. Pilihan kebijakan ini terjadi karena pengaruh bisikan yang tidak bertganggung jawab dengan mengabaikan pilihan kebijakan yang rasional.

5. Pemerintah memprediksikan pertumbuhan ekonomi tahun depan bahkan bisa mencapai 5,5 persen.

Angka patokan ini diambil dari mimpi yang tidak rasional karena tidak mungkin dicapai dengan kondisi ember bocor seperti sekarang ini. Masalah covid-19 di Indonesia jauh panggang dari api, sama parahnya dengan Filipina. Tidak ada tanda-tanda kasus harian Covid di Indonesia akan menurun. Kebijakan yang tidak sistematis, serabutan seperti ini memperlihatkan ketidakpastian, kapan kasus covid-19 di Indonesia akan melandai.

6. Sejak awal pemerintah pusat menyerahkan kebijakan dan implementasi pengendalian covid-19, PSBB atau pelonggaran PSBB lebih banyak diserahkan kepada pemerintah daerah.

Pemerintah pusat hanya memberi atau tidak memberi persetujuan PSBB kepada pemerintah daerah. Seperti diketahui bahwa pemerintah daerah mempunyai sumber daya dan dana yang sangat terbatas. Anggaran DAU dan DAK pada umumnya 80-90 persen habis untuk rutin. Dana ini, secara sembrono bahkan oleh Satgas diakui juga sebagai dana dalam rangka Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Peranan pemerintah pusat yang kecil di lapangan adalah sumber kegagalan dalam kebijakan mengatasi pandemi covid-19 ini, seperti terlihat pada kasus harian terjangkit covid-19 yang terus meningkat.

Jakarta, 17 Agustus 2020
Didik J. Rachbini Ekonom/Pendiri INDEF

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment