Rizal Ramli: Tunda Proyek Ibu Kota Baru!

Rizal Ramli: Tunda Proyek Ibu Kota Baru!

Catatan Rizal Ramli; Jokowi Gagal dalam 4 Tahun Pemerintahan
Mantan Menteri Kordinator Kemaritiman di era Jokowi, Rizal Ramli (Foto: The Jakarta Post)

JAKARTA (Suaramuslim.net) – Pemerintah yang ngotot dengan proyek ibu kota baru dan kurang berpihaknya kepada rakyat kecil ditakutkan bisa mengeskalasi krisis ekonomi menjadi krisis politik dan sosial.

Akibat pemberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), diperkirakan petumbuhan ekonomi Indonesia akan mengalami kontraksi. Hal ini sejalan dengan prediksi berbagai lembaga dunia, misalnya Oxford Economics, memprediksi ekonomi Indonesia tumbuh minus 6,1 persen.

Tunda proyek ibu kota baru

Pengamat ekonomi politik yang juga mantan menteri di era Presiden Abdurrahman Wahid dan Joko Widodo periode pertama, Rizal Ramli menyebut sebaiknya proyek ibu kota baru dihentikan.

“Berhentikan dulu proyek-proyek yang besar-besar, nanti kalau ada uang kita mulai lagi, termasuk ibu kota baru yang gak jelas itu,” kata Rizal Ramli dalam seminar yang diadakan oleh Pascasarjana Institut Stiami bekerja sama dengan Aliansi Penyelenggara Perguruan Tinggi Indonesia (APPERTI) dan Center for Public Policy Studies (CPPS), Kamis (18/6).

Soalnya, saat ini menurutnya kita sudah masuk ke krisis ekonomi. Jika Pemerintah terkesan abai terhadap kesulitan yang dihadapi masyarakat, bukan tidak mungkin akan berkembang menjadi krisis sosial dan politik.

Tidak percaya? Rizal Ramli berkisah, pada krisis 1998 pun, pihaknya sudah meramalkan sejak 1996. Dan, ramalaannya itu dibantah oleh Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia (BI) dan pejabat lainnya saat itu.

Keberpihakan pemerintah kepada sektor riil menjadi kuncinya. Saat ini menurutnya, justru pemerintah kurang menunjukkan keberpihakan kepada usaha kecil. Dilihat dari statistik kredit perbankan misalnya.

“Dari seluruh bank kita kredit kecil hanya 17 persen, yang besar 80 persen. Ya harusnya kita geser dari 17 persen menjadi 20-25 persen dalam setahun. Karena, kalau yang besar-besar, banyak caranya dia bisa mendapatkan investasi, pinjaman luar negeri, terbitkan obligasi, dan lain-lain,” kata Rizal Ramli.

Karena menurutnya, justru pada krisis ekonomi 1998, usaha kecil dan menengah (UKM) menjadi penyelamat ekonomi. Sedangkan saat ini, UKM juga sudah terimbas krisis dan goyang. Hal ini menurutnya sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang rajin membuat utang baru.

Intinya keberpihakan kepada rakyat

Krisis hari ini dimulai dengan utang pemerintah yang kebanyakan. Antara lain lewat penerbitan surat utang. Penerbitan surat utang yang jor-joran menurutnya berimbas kepada tertariknya dana perbankan dan dana masyarakat ke surat utang itu. Alhasil, dana yang tadinya bisa diputar ke sektor riil oleh perbankan, menjadi berkurang.

Yang terjadi justru, gagal bayar di lembaga keuangan nonbank, seperti asuransi dan sekuritas. Rizal menduga, gagal bayar tadinya di Rp150 triliun, ternyata gagal bayarnya di Rp400-500 triliun. Hal ini termasuk yang terjadi di Asabri, Jiwasraya, dan lain-lain.
Bahkan, sekarang menurutnya sudah menggerogoti bank-bank tier 3.

“Sekarang mau menarik uang Rp100 juta aja susah,” ujar Rizal mengilustrasikan.

Supaya tidak dianggap sekadar mengkritik, Rizal menawarkan solusi.

“Sektor riil adalah kepala dari naga, kalau itu hancur, yang lain juga. Ini terbalik dengan ekonom neoliberal yang memilih mengetatkan anggaran, agar bisa membayar utang ke kreditor. Kalau saya, saya balik, pompa ekonomi supaya ekonomi bergerak, sehingga bisa bayar utang ke kreditor,” jelasnya.

Ia menyontohkan di era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Rizal menyarankan kepada Gus Dur untuk menaikkan gaji pegawai negeri, TNI, dan Polisi sebanyak 125 persen. Awalnya Gus Dur tidak setuju, namun setelah dijelaskan akhirnya setuju.

“Kita menaikkan gaji mereka 125 persen, pasti 99 persen mereka belanjakan, sektor riil pun bergerak kembali. Tujuannya adalah memompa daya beli golongan menengah ke bawah, berbeda dengan hari ini, yang kecil-kecil malah dikenakan pajak terus,” ucapnya.

Alhasil, GINI Index modern terendah justru terjadi di zaman Gus Dur.

“Jumlah lapangan kerja diciptakan mencapai 1,8 juta orang per tahun. Sedangkan di pemerintahan Jokowi saat ini hanya 300 ribu orang,” kata Rizal membandingkan.

Apa yang membedakannya? Menurutnya adalah keberpihakan kepada rakyat biasa.

Reporter: Chamdika Alifa
Editor: Muhammad Nashir
COPYRIGHT © 2020 Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment