Road to Vote

Road to Vote

Nur Elya Anggraini, Koordinator Divisi Humas dan Hubungan Antar Lembaga Bawaslu Provinsi Jatim dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (15/4/19) .
Nur Elya Anggraini, Koordinator Divisi Humas dan Hubungan Antar Lembaga Bawaslu Provinsi Jatim dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (15/4/19) .

SURABAYA (Suaramuslim.net) – Pada 17 April 2019, Indonesia akan menggelar puncak pesta demokrasi karena masyarakat akan memilih para calon anggota dewan legislatif DPR RI, DPD RI dan DPRD, serta akan memilih calon presiden dan wakil presiden. Pemilihan umum ini akan dilakukan secara langsung dan serentak dilaksanakan di seluruh Indonesia.

Dalam pesta demokrasi Rabu 17 April 2019 ini saatnya seluruh rakyat membuat perubahan. Menyumbangkan suara pada Pemilihan Umum yang berarti ikut berpartisipasi dalam demokrasi.

Bagaimana Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Jawa Timur (Jatim) melakukan pengetatan pengawasan, dan terus mewaspadai praktik money politics jelang pencoblosan? Bagaimana pula kesiapan KPU Jatim jelang pencoblosan dan bagaimana Bawaslu menjaga Pemilu 2019 agar bersih dari praktik kecurangan? Berikut hasil wawancara Suaramuslim.net bersama Bawaslu dan KPU Jatim.

KPU: Masyarakat Harus Aktif

Komisioner KPU Jatim Nurul Amalia dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (15/4/19) melalui sambungan telepon mengatakan, masa kampanye sudah selesai dan tidak ada waktu lagi untuk menjual diri bagi para kandidat. Yang perlu dipersiapkan pemilih hari ini adalah memastikan terdaftar di Tempat Pemungutan Suara (TPS) mana dan tidak salah tempat melakukan hak pilih. Selain itu, pemilih yang sudah masuk Daftar Pemilih Tetap (DPT) tidak perlu menunggu C6 untuk datang di TPS.

“C6 hanya pemberitahuan saja bukan penentu. Jadi jangan jadikan patokan. Tapi kalau warga yang sudah terdaftar silakan membawa identitas untuk melakukan pencoblosan, Selama ini yang dipahami masyarakat jika tidak dapat C6 berarti tidak bisa menggunakan hak pilih. Namun afdhalnya, sebelum 17 April pemilih bisa meminta form ini ke KPPS,” tutur Nurul.

Nurul menjelaskan, bagi pemilih yang sudah terdaftar di DPT maka bisa menggunakan hak pilihnya mulai dari jam 07.00-13.00. Sementara yang tidak terdaftar di DPT tetap, pindahan atau DPK bisa menggunakan hak pilih pada jam 12.00-13.00 atau satu jam terakhir.

“Kenapa satu jam terakhir? Dikarenakan tidak tersedia surat khusus bagi daftar pemilih khusus (DPK), sehingga harus menggunakan sisa-sisa surat suara yang ada di TPS. Tetapi, bagi masyarakat yang sampai saat ini belum mendapat C6 ada 2 kemungkinan, pertama, masih dalam proses pengantaran petugas. Kedua, tidak terdaftar di DPT,” ujarnya.

Nurul berharap, pemilih harus aktif, ketika sudah terdaftar di DPT maka masyarakat bisa meminta C6 pada petugas yang bersangkutan. Bisa terjadi saat pembagian, rumah kosong, C6 tidak dapat ditinggal karena saat pemberian harus ada penghuninya.

“Ada model baru pemilih khusus yaitu pemilih pindahan. Surabaya diserbu pemilih tambahan rata-rata mahasiswa dan pekerja, karena tidak ada TPS khusus untuk pemilih pindahan, akhirnya mereka diarahkan ke TPS sekitar wilayah mahasiswa berdomisili dengan jumlah lebih dari 300 pemilih,” jelasnya.

Namun Nurul menegaskan tidak bisa bagi warga melakukan pindah pilih pada hari H pencoblosan. Karena penyelenggara juga membutuhkan waktu menyediakan logistik agar pemilih bisa menggunakan haknya.

“Secara teori yang sudah melakukan pindah memilih sudah tersedia surat suara, namun secara praktik tidak memungkinkan pergerakan pemilih diikuti surat suara. Misal ada pindah memilih dari warga Papua ke Surabaya jadi tidak langsung otomatis ada surat suara. KPU membutuhkan waktu H-7,” tandasnya.

Bawaslu: Tolak Politik Uang

Sementara itu, Nur Elya Anggraini, Koordinator Divisi Humas dan Hubungan Antar Lembaga Bawaslu Provinsi Jatim dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (15/4/19) mengatakan, semua jenis kampanye selama masa tenang sudah tidak diperbolehkan. Hal itu mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, masa tenang adalah masa yang tidak dapat digunakan untuk melakukan aktivitas kampanye pemilu.

“UU Pemilu itu mengatur sejumlah hal yang dilarang dilakukan peserta pemilu ataupun media sosial, media massa dan lembaga penyiaran selama masa tenang,” paparnya.

Elya menyebut, ribuan alat peraga kampanye peserta Pemilu 2019 di Kota Surabaya, sejak Ahad dini hari (14/4/19) ditertibkan petugas gabungan yang terdiri dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Satpol PP, Linmas, Polri, TNI dan lainnya.

“Jadi mulai pukul 00.00 WIB Ahad dini hari hingga saat ini masih berlangsung penertiban, terus bergerak menertibkan ribuan APK (alat peraga kampanye) di sejumlah titik,” ucapnya.

“Total APK di Jatim mencapai jutaan, apalagi yang berada di tiang-tiang listrik, serta berada di ketinggian. Jadi untuk masyarakat jika ada APK yang masih menempel mohon bersabar karena kami masih menertibkan itu,” katanya.

Selain penertiban APK, Elya juga mengatakan kesulitan mengawasi aktivitas di media sosial karena ada beberapa teritori yang tak bisa disentuh oleh lembaganya. Salah satunya yang tak bisa disentuh oleh Bawaslu adalah pelanggaran yang dilakukan oleh akun-akun yang tak didaftarkan sebagai akun resmi tim pemenangan seperti WhatsApp, Facebook dan Twitter.

“Jadi bawaslu agak kesulitan untuk memastikan dan menindak pelanggaran kampanye di masa tenang oleh warga biasa. Ajakan di media sosial oleh warga agak sulit ditindak, kecuali dia peserta tim kampanye atau pelaksana kampanye,” ungkapnya.

“Soal kampanye di medsos ini yang paling krusial karena hoaks, black campaign, isu SARA itu di situ semua penyebarannya. Memang untuk proses penegakan hukumnya, Bawaslu tidak bisa sendiri, harus bekerja sama dengan masyarakat untuk peduli,” lanjutnya.

Terkait Patroli Pengawasan Anti Politik Uang, Elya menjelaskan Bawaslu melakukan patroli pada hari tenang untuk mencegah terjadinya praktik politik uang di pemilu tahun 2019. Modus politik uang pun kini beragam. Mulai dari yang konvensional dengan cara langsung memberikan ampop, transfer pulsa hingga dijanjikan umrah. Ada juga yang melakukan dengan cara memperbanyak relawan, sehingga uang yang diberikan disebut sebagai dana operasional.

“Politik uang ini racun yang merusak pemilu, politik uang ini sampah. Jangan sampai kemudian motivasi orang memilih di masa pemilu nanti hanya karena diberi uang atau dijanjikan sesuatu,” jelasnya.

Kompleksitas Pemilih Rasional

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Trunojoyo Madura Dr. Surochiem Abdussalam dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (15/4/19) melalui sambungan telepon saat ditanyakan tentang maraknya politik uang mengatakan, jika hasrat politik kita turunkan menjadi politik selera rendah, seketat-ketatnya regulasi yang dibuat Bawaslu maka akan ada berbagai cara untuk menerobos larangan itu. Benteng terakhir sekuat-kuatnya regulasi adalah kesadaran setiap masyarakat,” jelasnya.

Surochiem menyebut, dalam setiap pergerakan pemilu angka swing voters dan undecided voters selalu dinamis. Tetapi semakin rasional pemilih kecenderungan untuk menjadi swing voters masih relatif tinggi. Hal itu bukan berarti penyelenggara kurang sosialisasi. Namun semakin seseorang menjadi pemilih rasional maka semakin kompleks yang ia pertimbangkan.

“Wajar jika swing voters dan undecided voters dan pergerakan turunnya relatif lambat, karena tidak mudah memenangkan kontestasi di Indonesia khususnya bagi mereka yang akan mempertimbangkan aspek rasional menjadi faktor utama,” paparnya.

Menurut Surochiem, hasil survei Surabaya Survey Center menyebutkan efektifitas money politics hanya 19,8 persen. Artinya dari 100 amplop yang dibagi ke masyarakat, yang benar-benar diterima dan dipilih masyarakat hanya 20 amplop. Sedangkan 80 lainnya tidak efektif atau mereka terima uangnya tapi tidak memilih orangnya.

“Melihat data itu, rasanya pemilu saat ini jauh lebih bersih. Tapi yang namanya calon legislatif hasrat untuk berkuasa kadang-kadang melebihi rasionalitas. Jadi, meskipun efektifitas rendah, politik uang tetap mereka pakai untuk menjaring suara padahal keberhasilannya rendah,” paparnya.

Menurut Surochiem, caleg yang menggunakan money politics itu tidak percaya diri dan mempunyai mental pedagang. Meskipun tidak efektif tetapi sampai saat ini semua masih sibuk melakukan politik uang, itu menandakan pemilu bersih masih belum meresap dalam pikiran elite politik.

“Hampir 42 persen orang akan menerima politik uang dan memilih calon lain. Semakin hari masyarakat bisa rasional untuk menyadari betapa pentingnya pemilu bersih dan menghukum calon yang curang,” tandasnya.

Reporter: Dani Rohmati

Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment