Saatnya Rekonstruksi Sisdiknas

Saatnya Rekonstruksi Sisdiknas

Saatnya Rekonstruksi Sisdiknas
Ilustrasi bangku sekolah.

Suaramuslim.net – Setelah belajar di rumah, Covid-19 berhasil memaksa pembatalan Ujian Nasional 2020. Hemat saya, ini kesempatan emas untuk meningkatkan kinerja pendidikan nasional dengan merekonstruksi Sistem Pendidikan Nasional once and for all yang selama ini dimonopoli secara radikal oleh persekolahan.

Gurita persekolahan telah melumpuhkan Sisdiknas seperti gula darah yang menimbulkan diabetes. Persoalan kita bukan kekurangan sekolah, tapi justru terlalu banyak sekolah dan terlalu lama mengurung warga muda di dalamnya. Salah satu yang membuat sekolah tampak penting adalah Ujian Nasional yang ikut menentukan kelulusan atau seleksi masuk persekolahan di jenjang berikutnya.

Kebijakan dan praktik pendidikan nasional selama ini telah secara diam-diam diselewengkan oleh persekolahan. Alih-alih menjadi instrumen yang membebaskan dan memerdekakan jiwa, persekolahan telah menjadi instrumen indoktrinasi paksa massal secara terstruktur dan sistemik untuk penyiapan buruh yang cukup terampil untuk menjalankan mesin-mesin, sekaligus cukup dungu untuk sabar bekerja bagi investor, terutama investor asing.

RUU Omnibus Law Cipta Kerja adalah pelegitimasian praktik persekolahan semacam ini.

Ki Hadjar Dewantara sudah mewasiatkan bahwa pendidikan ditopang oleh 3 pilar: keluarga, masyarakat, dan perguruan. Artinya, pendidikan itu harus dipikul bersama oleh ketiga pilar itu. Seperti Kaki Tiga yang kokoh, pendidikan kita saat ini adalah Kaki Satu yang pincang, yaitu persekolahan. Keluarga dan masyarakat dianggap tidak kompeten melaksanakan pendidikan. Propaganda persekolahan oleh pemerintah sendiri telah melumpuhkan keluarga dan masyarakat untuk ikut mendidik warga muda.

Pada saat belajar dipaksa harus di rumah, penyakit persekolahan masih menjangkiti masyarakat sehingga belajar di rumah hanya memindahkan pelajaran di sekolah ke rumah melalui internet. Padahal belajar di rumah punya tugas dan tujuan yang berbeda yang tidak akan pernah mampu dilakukan oleh guru profesional bersertifikat di sekolah.

Di rumah, warga muda memperoleh kesempatan untuk belajar mengembangkan kompetensi-kompetensi hidup yang jauh lebih penting: tanggungjawab, keberanian, kesanggupan berkorban, kesetiaan dan kepedulian.

Di masyarakat, warga muda belajar bermasyarakat untuk hidup berdampingan secara damai dalam kemajemukan. Banyak sekolah saat ini justru menjadi instrumen segregasi sosial masyarakat, bukan instrumen untuk meningkatkan kohesivitas masyarakat. Sekolah dan kampus justru sering menjadi tempat terbaik untuk menyombongkan diri.

Pendidikan dasar sebaiknya diserahkan pada keluarga dan masyarakat melalui pusat-pusat kegiatan belajar yang diorganisasikan secara mandiri dengan kurikulum yang luwes sesuai bakat, minat dan potensi lokal (terutama potensi agromaritim) di sekitar warga muda hidup. Pendidikan selanjutnya memberikan keterampilan produktif untuk bekerja mandiri agar mampu hidup layak dan bermartabat sebagai warga negara dewasa.

Kampus tidak boleh diposisikan sebagai kelanjutan pendidikan menengah. Kampus hanya merekrut calon mahasiswa dengan bakat akademik dan sudah mandiri secara sosial. Banyak kampus saat ini didirikan untuk menutup-nutupi kegagalan pendidikan sebelumnya untuk menghasilkan warga muda yang mandiri, bertanggung jawab, sehat dan produktif.

Gunung Anyar 24 Maret 2029

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment