Lanjutan dari artikel “Santri, Jiwa Qurani dan Perjuangan Umat (1)”
Suaramuslim.net – Dengan ilmunya, santri dituntut untuk bisa menguasai pelbagai masalah. Pesan Pak Kiai adalah, orang besar bukanlah besar gelar akademiknya, bukan pula besar harta atau kedudukannya, akan tetapi mereka yang dengan kemampuan kecil mampu menyelesaikan masalah-masalah besar. Itu ukuran kedewasaannya. Oleh sebab itu, seorang santri tidak boleh kecewa terhadap kondisinya, bahkan ia tidak boleh mengecewakan atau dikecewekan. Karena bila demikian, umat yang menunggunya untuk dibimbing akan kehilangan sosok pendamping.
Diceritakan dalam Al Quran surat Al Anbiya’ ayat 87, disampaikan bahwa Allah menegur Nabi Yunus apakah beliau mengira bahwa perjuangannya akan berjalan lancar tanpa kesulitan sedikitpun. Lalu meninggalkan kaumnya tanpa seizin Allah. Maka dalam surat Ash Shaffat ayat 141 disebutkan bahwa hal tersebut terhitung dosa. Karena mengabaikan perintah Allah. Nabi Yunus pun meminta ampunan kepada Allah atas kekeliruannya, dan kembali kepada kaumnya meneruskan perjuangan dakwahnya. Kisah tadi mengajarkan bahwa dakwah tidak boleh setengah-setengah, tetapi harus kaffah. Maka, santri harus terus berjuang hingga batas akhir kemampuannya.
Ilmu yang telah ia dapat adalah anugerah Allah yang diamanatkan untuk kepentingan dakwah. Ia harus istiqomah dengan akhlak baiknya. Karena ilmu tanpa akhlak bagaikan racun yang membahayakan. Menumbuhkan kesombongan, seperti iblis yang merasa lebih hebat dari Adam ‘alaihissalam. Seharusnya ia menyadari bahwa ilmu hanyalah ujian ketakwaannya. Seperti yang dicontohkan seorang hamba Allah ketika mampu memindahkan singgasana ratu Bilqis ke istana Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, dengan begitu ia mengalahkan jin terkuat sekalipun. Al Quran menceritakan jawabannya atas pujian untuknya dengan mengatakan, “ini adalah kemuliaan yang datang dari Allah untuk mengujiku apakah aku akan bersyukur atau malah kufur dengan sombong”.
Ketakwaan dan keikhlasan itu adalah gambaran dari keimanannya yang kuat. Keimanan yang mampu mengenali segala bentuk kesyirikan. Perbedaan antara iman dan syirik harus terlihat jelas di mata santri. Penjajahan ideologi maupun fisik adalah satu diantaranya. Santri harus anti penjajahan. Begitulah pesan Pak Kiai. Sayyid Quthb pernah menyampaikan bahwa ketundukan kepada sesama makhluk adalah bentuk kesyirikan yang berarti juga penjajahan. Inilah yang harus selalu diperangi. Maka dengan perjuangannya membebaskan umat dari segala bentuk kesyirikan adalah perjuangan menuju kemerdekaan yang hakiki.
Cita-cita murni inilah yang dahulu kala dipegang teguh para ulama dalam mengusir penjajah. Bukan hanya berjuang sendirian, melainkan menggerakkan masyarakat untuk bersama berjuang. Maka santri juga harus bisa menjadi penggerak yang menggerak. Ia harus memahami bahwa dalam pergerakan ada barokah. Sekali lagi barokah dari ketakwaan yang dituju, bukan popularitas.
Begitulah santri dalam perjuangannya. Selalu berusaha menjadi mata air yang jernih lagi menyegarkan. Yang selalu mengalir dan menghidupi sekitarnya. Bukan hanya hidup tapi juga menghidupi. Jangan mencari penghidupan dengan cara mengemis. Mengemis pada mereka yang berkedudukan. Karena hanya Allah yang menjadi sandaran. Surat Al Ikhlas harus selalu dalam sanubari agar tidak terjerumus pada kekufuran. Merealisasikan cita-cita surat An Nashr agar manusia memahami dan berbondong-bondong menuju ridha-Nya. Semoga santri tetap pada jati dirinya. Menjadi matahari (sun) umat sebagai penerus cahaya ilmu dari Allah, tumbuh menjadi pohon (tree) yang kuat akarnya, meneduhkan umat dengan rindang daunnya, serta menghidupi sesama makhluk dengan kesegaran buahnya.
Wallahu a’lam bi ash showab
Kontributor: Fuad Muhammad Zein*
Editor: Oki Aryono
*Anggota Ikatan Keluarga Pondok Modern Darussalam Gontor cab. Solo Raya