Sikap Kita Terhadap Uighur, Minoritas Muslim di Ladang Minyak Cina

Sikap Kita Terhadap Uighur, Minoritas Muslim di Ladang Minyak Cina

Sikap terhadap muslim Uighur
Dosen Hubungan Internasional Universitas Airlangga Surabaya Siti Rahmawati Susanto, Ph.D dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (21/12)

Suaramuslim.net – Muslim Uighur kini tengah mendapat sorotan dari dunia luar. Kelompok minoritas di China ini disebut kerap mendapatkan perlakuan kejam dari pemerintah China. Seperti disiksa dan dibina secara paksa untuk patuh dan loyal terhadap komunisme di atas agama.

China mengklaim serangan tersebut berasal dari ekstremis Uighur. Alhasil mereka etnis muslim diburu dan ditangkap dengan dalih direhabilitasi di pusat pendidikan. Tak jarang pembelajaran dilakukan dengan kekerasan. Mereka di paksa menghafal lagu Tiongkok dan mengikuti kuliah partai komunis China. Itu dilakukan agar muslim Uighur tunduk sepenuhnya pada komunis.

Kebijakan Diskriminasi terhadap Muslim Uighur

Dosen Prodi Hubungan Internasional Universitas Airlangga Siti Rahmawati Susanto, Ph.D  dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (21/12) membenarkan  Pemerintah daerah Xinjiang menerapkan apa yang disebut pusat pelatihan kejuruan detention camps bagi Muslim Uighur. Orang-orang yang ditahan ini dijadikan tenaga kerja paksa gratis atau murah untuk pabrik-pabrik.

“Yang itu disesuaikan dengan arah kebijakan pembangunan China, untuk meningkatkan ekspor sebesar-besarnya,” ungkapnya.

Sebetulnya, menurut Irma tidak hanya persoalan force labor tetapi pemerintahan China melakukan indoktrinasi dengan mengambil sebuah isu “Vocational training” pendidikan vokasi yang diklaim sebagai langkah peningkatan ekonomi China dan sudah dilakukan pemimpin Mao Zedong, merupakan tokoh penggerak revolusi komunis yang menjadi bapak pendiri Republik Rakyat China.

“Tetapi yang terjadi bukan hanya Vocational training dengan sebuah pleasure dan juga ditengarai terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Isu ini terdengar di Indonesia baru-baru ini saja, namun sebetulnya sudah beberapa bulan lalu terjadi,” tuturnya.

Xinjiang urat nadi perdagangan dunia

Irma menjelaskan, melihat dari jumlah demografi  penduduk ada sekitar 10 suku di Xinjiang yang mayoritas menganut agama Islam, wilayah ini memiliki ekonomi khusus yang berbeda dengan wilayah lainnya dengan jumlah penduduk 22-26 Juta dan suku Uighur yang paling mayoritas. Selain itu, Cadangan minyak dan gas terbesar Republik Rakyat Cina (RRC) ada di sini, khususnya di Xinjiang bagian selatan (Tarim Basin), tempat Muslim Uighur sejak dulu tinggal menetap

“Sebenarnya ini menunjukkan bahwa masyarakat di wailayah Xinjiang sudah kosmopolit, berbagai macam suku, agama , suku dan mereka hidup harmonis. Kemudian ada sebuah dinamika politik baru,”

Irma menilai, meskipun muslim di wilayah Xinjiang mayoritas tetapi jika dikaitkan dengan seluruh yang ada di People’s Republic of China, mereka jumlahnya sangat sedikit sekali. Sehingga ini menjadi tidak logis mereka yang mayoritas harus takut dengan minoritas yang hanya berjumlah belasan juta.

“Menurut saya pribadi, ini tidak logis, bagaimana bisa jumlah penduduk yang semasif itu di China, yang paling besar seluruh dunia harus takut terhadap 12 juta orang. Dan itu sebetulnya jika ada sebuah tata kelola yang sangat demokratis diantara kedua belah pihak tidak akan timbul prasangka,”

Namun, menurut pandangan Irma, Penanganan Xinjiang jika dikelola baik akan menjadi salah satu sisi positif Negara PRC untuk menjadi Negara super power. Hal itu dikarenakan China sudah menjadi salah satu bagian ekonomi dunia.

“Dan ternyata dalam masalah human rights ada fenomena ini, meskipun benar jika orang berbeda selalu akan mempunyai stigma tersendiri, padahal tidak selalu seperti itu, jika dikelola dengan baik, saya kira status Negara super power akan beralih ke China. Tetapi ini belum selesai dan akan menjadi sorotan Internasional, ”

Langkah Pemerintah Indonesia

Irma mengatakan, yang seharusnya dilakukan Pemerintah Indonesia tetap berpegangan kepada politik luar negeri bebas aktif yang berlandaskan pancasila dan UUD 45, maka Indonesia harus terlibat secara aktif dalam penegaan perdamaian Internasional terlepas apapun yang ada dibelakangnya.

“Jika misalkan Indonesia terjerat bantuan asing, seharusnya itu tidak menjadi keberatan Indonesia dan tetap melantangkan tentang perlindungan hak minoritas. Kita sudah ada presedennya bagaimana Presiden Soekarno menyebut go to hell with your eid, tidak takut-takut, Harusnya itu dibuktikan oleh Indonesia sehingga tidak terbelenggu dengan tekanan,” jelasnya.

Irma menyebut, strategi yang harus dilakukan Indonesia yaitu menjadi pionir dari proses penjagaan dan perdamaian di dunia, apalagi posisi Indonesia sangat kuat karena Indonesia menjadi anggota tidak tetap dewan anggota keamanan PBB, dan ini memiliki porsi yang cukup besar untuk telibat.

“Selain itu, apalagi saya melihat secara personal Ibu Reto Marsudi melakukan shuttle diplomacy terhadap kasus Myanmar kemarin. Jadi beliau ikut mendorong secara aktif pemerintah Myanmar mengurangi intensitas kekerasan di Myanmar, dan seharusnya Ibu Menteri melakukan hal yang sama kepada muslim Uighur,”

Selain itu, dari pemerintah pusat dapat melakukan persuasi, artinya meskipun Indonesia sedang menjalani kerjasama dengan Pemerintah China, seharusnya kerjasama ini didasarkan rasa saling menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan jangan sampai menjadi penghalang bagi hubungan kerjasama yang sudah dilakukan.

“Terkait dengan penyerangan ke Palestina 2014 yang dilakukan pemerintahan Internasional dengan langkah BSD (Boycott, Divestment, Sanctions) jadi memboikot dan meberikan sangsi terhadap produk yang ada serta menarik seluruh investasi sehingga menggangu stabilitas. Saya tidak tau apakah pemerintah berani melakukan langkah ini, semua akan kembali kepada pemerintah pusat,” pungkasnya.

Reporter: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment