Sikap Tegas NU dan Muhammadiyah Terhadap Syiah

Sikap Tegas NU dan Muhammadiyah Terhadap Syiah

Sikap Tegas NU dan Muhammadiyah terhadap Syiah
Ilustrasi seseorang bertudung hitam.

Suaramuslim.net – Syiah (Rafidhah), suatu aliran yang profil dan keberadaannya tak banyak diketahui sebagian masyarakat yang awam dalam bidang Sejarah Peradaban Islam dan ilmu Kalam. Di Indonesia, kata Prof. Dr. Hasan Baharun, aliran Syiah baru dikenal secara luas pasca Revolusi Iran (1979).

Mengutip pewartaan laman tempo.co (2/9/2012), penyebarannya telah menjangkau Jakarta, Bandung, Makasar, Pekalongan, Semarang, Tegal, Jember, Malang, dan Bima. Menurut Tokoh Syiah Jalaluddin Rakhmat, kantong Syiah terbesar ada di Bandung, di tempat kedua disusul Makassar, dan ketiga adalah Jakarta.

Cikal bakal dan seberapa banyak penganut aliran Syiah tidak banyak diketahui karena menganut doktrin taqiyah, yaitu menyembunyikan jati diri dan bersikap layaknya pemeluk Islam pada umumnya. Boleh jadi dengan mengandalkan doktrin “taqiyah” mereka bisa bertahan dari resistensi massa.

“Apakah Syiah itu berbahaya?” Mungkin begitu pertanyaan yang muncul dari masyarakat awam. Untungnya, ormas Islam terbesar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Persyarikatan Muhammadiyah punya sikap tegas terhadap Syiah. Hal ini perlu diketahui masyarakat awam dan bisa menjadi pegangan mereka.

Sudah sedari awal ketika NU berdiri melalui salah satu pendiri NU telah mengingatkan bahaya Syiah sebagai paham di luar Ahlu sunnah wal jamaaah. Adalah KH Hasyim Asyari dalam Muqoddimah Qonun Asasi NU menjelaskan dengan gamblang bahwa di luar 4 imam mazhab, seperti Syi’ah Imamiyyah dan Syi’ah Zaidiyyah adalah ahli bid’ah. Sehingga pendapat-pendapatnya tidak boleh diikuti.

Tak lupa, KH Hasyim mengutip sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Apabila telah nampak fitnah dan bid’ah pencacian terhadap sahabatku, maka bagi orang alim harus menampakkan ilmunya. Apabila orang alim tersebut tidak melakukan hal tersebut (menggunakan ilmu untuk meluruskan golongan yang mencaci sahabat) maka baginya laknat Allah, para malaikat dan laknat seluruh manusia.

Dalam buku pegangan warga NU lainnya seperti Aswaja An-Nahdliyah: Ajaran Ahlussunnah wa al-Jama’ah yang Berlaku di Lingkungan Nahdlatul Ulama (2007), dengan tegas Aswaja menolak kelompok-kelompok yang menutup diri dari golongan kaum Muslimin. Seperti yang dilakukan oleh kelompok Syiah. Buku ini juga mengingatkan publik bahwa sikap menutup diri dari mayoritas umat itu juga terdapat pada kelompok LDII, sikap seperti ini bukanlah tabiat dari Aswaja An-Nahdliyah.

Sikap tegas terhadap Syiah juga ditunjukkan santri Pondok Pesantren Sidogiri dengan mengkritisi salah satu buku karangan ayahanda Najwa Shihab yang dinilai membela Syiah. Dalam buku Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah? (2007) Dijelaskan perbedaan prinsip antara Sunni dan Syiah sampai kapan pun tidak akan ada titik temu. Para santri itu merekomendasikan kepada publik bahwa ketika berinteraksi dengan penganut Syiah dalam kondisi apa pun harus mengedepankan sikap kritis dan selektif.

Lalu bagaimana dengan Muhammadiyah? Elite Muhammadiyah bersuara lantang dalam merespons aliran Syiah khususnya kala insiden Sampang menggegerkan publik pada tahun 2013.

Dinyatakan dalam majalah Tabligh edisi Jumadil Awal-Jumadil Akhir, tahun 1433 H: pertama, Muhammadiyah menolak konsep kesucian imam-imam (Ishmatul Aimmah) dalam ajaran Syiah. Kedua, Muhammadiyah meyakini bahwa Nabi Muhammad tidak menunjuk siapa pun pengganti beliau sebagai Khalifah. Kekhalifahan setelah beliau diserahkan kepada musyawarah umat. Ketiga, Muhammadiyah menolak kultus individu terhadap Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Keempat, Syiah hanya menerima hadis dari jalur Ahlul Bait, ini berakibat ribuan hadis shahih –walaupun diriwayatkan Al Bukhari-Muslim- ditolak oleh Syiah. Wallahu A’lam.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment