Sinergi Dakwah Perut dan Dakwah Mulut

Sinergi Dakwah Perut dan Dakwah Mulut

Tahapan Dakwah dalam Islam
Ilustrasi lelaki berjalan. (Foto: voa-islam.com)

Suaramuslim.net – Dakwah adalah jalan kemuliaan seseorang baik di sisi Allah maupun di tengah-tengah manusia. Allah swt memberikan pilihan jalan hidup pada hamba-Nya, apabila manusia menginginkan menjadi umat yang terbaik maka pilihlah jalan dakwah. Yaitu jalan yang dilalui oleh para Nabi dan Rasul untuk mengajak manusia pada ketaatan kepada Allah, untuk selalu mengerjakan kebaikan serta mencegah manusia dari jalan kesesatan yang dapat menghancurkan dirinya.

Peran dakwah adalah cara menjadi umat terbaik, demikian yang diserukan oleh Allah. Sebagaimana dalam Firman-Nya:

كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ وَلَوۡ ءَامَنَ أَهۡلُ ٱلۡكِتَٰبِ لَكَانَ خَيۡرٗا لَّهُمۚ مِّنۡهُمُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَأَكۡثَرُهُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ

Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik. (Ali Imran: 110).

Dakwah bil hal dan dakwah bil lisan

Upaya mengajak manusia pada jalan Allah dapat dilakukan dengan beragam cara dan pendekatan.

Ada dari para pendakwah yang melakukannya dengan cara mengajak secara lisan (dakwah bil lisan) dan ada pula yang dilakukannya melalui tindakan nyata (dakwah bil hal).

Di antara kedua pendekatan ini tentu memiliki plus minusnya. Pada dakwah secara lisan, melalui berbagai bentuk ceramah di atas panggung dengan mengumpulkan banyak massa atau melalui pengajian-pengajian baik offline maupun online tentu akan mampu mengantarkan pada pengetahuan umat dan pemahaman atas agama ini.

Sementara dakwah bil hal sebagai suatu pendekatan dakwah yang lebih mengutamakan praktik nyata dan keteladanan di tengah-tengah umat dalam berbagai aspek kehidupan. Baik dalam aspek pengembangan ekonomi umat, pemberdayaan sosial budaya, seni dan sebagainya yang dilalukan secara nyata dengan mendampingi umat dalam keseharian.

Apabila kita telusuri perjalanan dakwah Rasulullah saw dalam beragam sirah nabawiyah, maka akan kita jumpai dakwah yang dilakukan Nabi adalah dengan berinteraksi langsung bersama masyarakat, hidup bersama mereka, melakukan berbagai aktivitas membersamai masyarakat.

Dalam interaksi yang membersamai itu, terjadi dialog, masyarakat bertanya atas berbagai persoalan dan nabi menjelaskan berbagai persoalan pula sebagaimana realitas yang dilalui dan dihadapinya bersama umat. Sehingga tidak ada satupun persoalan yang dihadapi masyarakat secara nyata itu terlewatkan dari perhatian dan arahan kenabian. Sempurnalah agama ini dalam mengatur kehidupan umat manusia.

Dapat kita temui, berbagai ajaran Islam sangat menekankan kepedulian pada persoalan keumatan. Sebagaimana sabda Nabi:

عن ابي ذر قال. قال رسول الله: يَا أَبَا ذَرٍّ ، إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً ، فَأكثِرْ مَاءهَا ، وَتَعَاهَدْ جيرَانَكَ . رواه مسلم .

Dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Wahai Abu Dzarr, jika engkau memasak masakan berkuah, maka perbanyaklah kuahnya dan perhatikanlah tetanggamu.” (Muslim).

Demikian pula dalam hadis yang lain tentang salam:

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه  قَالَ: [قَالَ] رَسُولُ اَللَّهِ  صلى الله عليه وسلم لِيُسَلِّمْ اَلصَّغِيرُ عَلَى اَلْكَبِيرِ, وَالْمَارُّ عَلَى اَلْقَاعِدِ, وَالْقَلِيلُ عَلَى اَلْكَثِيرِ  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah yang kecil memberi salam pada yang lebih tua, hendaklah yang berjalan memberi salam pada yang sedang duduk, hendaklah yang sedikit memberi salam pada yang banyak.” (Muttafaqun ‘alaih)

Demikian pula larangan nabi tentang akibat mengurangi timbangan dalam bermuamalat:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا فَقَالَ مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي (روه مسلم)

“Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?” Sang pemiliknya menjawab, “Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat melihatnya? Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami.” (Muslim No.102 ).

Pertanyaannya, bagaimana mungkin Rasulullah menjelaskan sesuatu yang sangat detail dan aplikatif seperti ini jika beliau tidak melakukan interaksi langsung dalam masyarakat?

Artinya dakwah Nabi adalah dakwah bil hal fil waqi’ (dakwah tindakan dalam realitas). Model dakwah yang seperti inilah yang dirasakan langsung dampak perubahannya dalam masyarakat. Umat tidak hanya disuguhi wacana dan pikiran-pikiran semata, melainkan langsung terjun dalam realitas keumatan dan melakukan interaksi serta keterlibatan langsung dalam kehidupan mereka serta ikut menyelesaikan persoalan kesehariannya.

Dakwah perut

Demikian pula saat masyarakat sedang dilanda kelaparan, butuh makan, pekerjaan tidak ada, sebagai dampak wabah pandemi ini maka tentu dakwah tidak boleh berhenti.

Dakwah harus terus berjalan, para dai harus terjun ke masyarakat untuk mendampingi dan membersamai mereka dalam suka dan duka.

Seorang dai harus benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai solusi, memberikan jalan keluar dan membantu masyarakat dalam menyelesaikan persoalan kehidupan yang sedang mereka hadapi.

Tentu dalam realitas yang demikian urusan perut lebih utama daripada urusan lainnya. Umat tidak cukup hanya diberikan wejangan yang bersifat konseptual dan wacana belaka namun harus dibuktikan secara nyata dengan terlibat langsung memberikan solusi “pemenuhan perut” mereka.

Di sinilah butuhnya sinergi kedua pendekatan dakwah ini. Sekalipun “dakwah perut” akan lebih berdampak daripada semata dakwah mulut. Artinya seorang dai harus benar-benar terlibat langsung dalam masyarakat mencarikan solusi bersama urusan perut mereka.

Apabila perut mereka telah terpenuhi dan kenyang, maka apa pun yang disampaikan oleh mulut akan mudah diikuti.

Demikian pula yang dilakukan oleh para penyampai agama Islam di bumi nusantara ini. Mereka langsung terjun dalam menyelesaikan urusan keseharian masyarakat dengan penuh kepedulian dan tanggungjawab sehingga dapat diterima dengan mudah dan terjadilah perubahan besar di nusantara ini. Benarlah kata bijak mengatakan, action speaks loader than word.

Penuhi perut mereka, maka mereka akan bersedia mengikuti ke mana kaki akan melangkah. Al insaan abdul ihsan. Selamat berdakwah perut.

6 Juni 2020
Akhmad Muwafik Saleh
Pengasuh Pesantren Mahasiswa Tanwir al Afkar, Dosen FISIP UB, Motivator Nasional, Penulis Buku Produktif, Sekretaris KDK MUI Provinsi Jawa Timur.
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment