Suaramuslim.net – Contoh ideal dalam menerapkan ketaatan adalah dari generasi terbaik pertama yaitu sahabat-sahabat nabi. Dari mereka, ada banyak contoh ketaatan yang bisa diteladani. Di sini, akan diberikan dua contoh bagaimana ketika “taat” berhadapan dengan nalar atau akal sehat manusia.
Kisah pertama adalah mengenai Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Abdu Khair mengisahkan, suatu saat Ali pernah berujar, “Seandainya agama itu (sekadar) nalar atau pendapat, maka bagian bawah khuf (alas kaki dari kulit) lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya. Sungguh, aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap bagian atas khuf-nya.” (HR. Abu Daud)
Hadits yang disahihkan Syekh Al-Bani ini, tidak saja menggambarkan bahwa masalah agama bukan sekadar menggunakan logika, karena memang logika manusia terbatas. Lebih dari itu, secara implisit menjelaskan ketaatan para sahabat. Bagi Ali bin Abi Thalib misalnya, yang dijadikan acuan dalam ketaatan adalah apa yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ketika dalam pandangan manusia “taat” -seolah- bertentangan dengan akal sehatnya yang serba terbatas, maka yang dimenangkan di sini adalah ketaatan. Abu Turab Ali radhiyallahu ‘anhu tentu mengedepankan ketaatan daripada pendapatnya sendiri. Beliau pun mengusap bagian atas khuf, sesuai perintah nabi. Ia sadar, bisa jadi pendapatnya logis, tapi ketaatan pada perintah Rasulullah jauh lebih utama. Karena, mungkin logika syariat belum terjangkau oleh akalnya yang serba kurang dan terbatas.
Cerita lain dikisahkan oleh Abis bin Rabi’ah. Suatu ketika, ia melihat Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pergi menuju Hajar Aswad. Diciumlah batu mulia itu. Menariknya, setelah mengecupnya Al-Faruq radhiyallahu ‘anhu berkomentar, “Sungguh aku tau sebenarnya kamu (hanya) sebuah batu yang tidak bisa membahayakan atau memberi manfaat. Sekiranya aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menciummu, maka aku tidak (akan) menciummu.” (HR. Bukhari)
Sebagaimana Ali (yang melihat dari sisi logika), menurut nalar Umar radhiyallahu ‘anhu, Hajar Aswad sejatinya hanyalah seonggok batu yang tidak membahayakan dan memberi manfaat. Kalau pun memberi manfaat atau bahaya, tak lepas dari perkenan Allah subhanahu wata’ala, kerena Dialah sumber pemberi manfaat dan bahaya. Meski demikian, sebagai wujud ketaatan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bapak Hafshah ini tetap mengerjakannya tanpa kurang sedikit pun.
Kedua kisah tersebut menggambarkan bahwa “taat” melampau logika atau akal sehat, meski ini bukan bermaksud menafikan akal sama sekali. Setiap perintah dan larangan dari Allah subhanahu wata’ala sejatinya mengandung kemaslahatan bagi manusia. Jika pun nalar masih belum bisa menjangkau atau memahaminya, bukan menjadi penghalang untuk tetap mengedepankan ketaatan. Di sinilah kelebihan para sahabat secara global dibandingkan dengan generasi-generasi sesudah mereka.
Dengan sudut pandang seperti ini, maka kita akan gampang memahami model ketaatan tiada tanding semacam Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Baginya, apa saja yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya, maka wajib ditaati. Ketika orang-orang kafir Quraisy mencemooh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam di hadapan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mengenai peristiwa Isra Mi’raj, dengan enteng bapak ‘Aisyah ini menjawab, “Kalau itu berita bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka benar adanya.”
Logika “ketaatan” Abu Bakar memang melampaui yang lainnya. Menurutnya, selama itu dari Allah dan Rasul-Nya maka itu pasti benar dan logis. Jika akal manusia belum sampai, bukan perintah dan kebenarannya yang dipermasalahkan, tapi justru ketaatan yang harus tetap dijalankan. Mudah-mudahan seiring dengan berjalannya waktu, ketaatan yang diistiqomahkan, akan membawanya kepada pemahaman yang sebelumnya belum dijangkau akal sehat manusia.
Di mata air Al-Kautsar kelak, sebagaimana yang termaktub dalam hadits-hadits sahih seperti: Bukhari, Muslim dan lainnya, siapakah yang ditunggu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminum air dari telaga di akhirat ini? Apakah orang pandai, jenius, kaya raya dan berbagai macam ukuran mentereng dunia? Ternyata, kata kuncinya satu, yaitu: taat. Hanya orang-orang yang taatlah, yang mendapat kehormatan meminum air surga ini. Sedangkan orang-orang yang durhaka, pandai memanipulasi ketaatan, atau orang yang terlihat taat tapi hatinya tidak murni taat (laiknya orang munafik), maka akan terusir dan tidak akan mungkin mencicipinya. Wallahu a’lam.
Oleh: Mahmud Budi Setiawan, Lc
Editor: Oki Aryono
*Alumnus Universitas Al Azhar Mesir