Suaramuslim.net – Sebagai umat zaman akhir sudah seharusnya tidak ada rasa galau lagi dalam memperbaiki diri. Karena umat yang hidup di zaman akhir ini, dapat dengan mudah mencari cara dalam memperbaiki diri. Salah satunya dengan belajar sejarah dan meneladani para ulama atau pemimpin yang lahir sebelum kita.
Ulama Teladan dari Generasi Teladan
1. Al Imam Yahya bin Sa’id Al-Anshari rahimahullah (wafat th. 143 H.) berkata, ”Para ulama adalah orang-orang yang memiliki kelapangan dada dan keleluasaan sikap, dimana para mufti selalu saja berbeda pendapat, sehingga (dalam masalah tertentu) ada yang menghalalkan dan ada yang mengharamkan. Namun toh mereka tidak saling mencela satu sama lain.” (Tadzkiratul Huffadz : 1/139 dan Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlih 393).
2. Al-Imam Yunus bin Abdul A’la Ash-Shadafi rahimahullah (170 – 264 H.), salah seorang murid dan sahabat Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, berkata, ”Aku tidak mendapati orang yang lebih berakal (lebih cerdas) daripada Asy-Syafi’i. Suatu hari pernah aku berdiskusi (berdebat) dengan beliau, lalu kami berpisah. Setelah itu beliau menemuiku dan menggandeng tanganku seraya berkata, ‘Hai Abu Musa! Tidakkah sepatutnya kita tetap bersaudara, meskipun kita tidak sependapat dalam satu masalah pun? (tentu diantara masalah-masalah ijtihadiyah).” (Siyaru A’lam An-Nubala’ : 10/16-17).
3. Para ulama salaf, dan salah satunya adalah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah (150 – 204 H.), berkata, ”Pendapatku, menurutku, adalah benar, tetapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat orang lain, menurutku, adalah salah, namun ada kemungkinan benar.”
4. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (661 – 728 H.) berkata, ”Seandainya setiap kali dua orang muslim yang berbeda pendapat dalam suatu masalah itu saling menjauhi dan memusuhi, niscaya tidak akan tersisa sedikitpun ikatan ukhuwah diantara kaum muslimin.” (Majmu’ Al-Fatawa : 24/173).
5. Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah (97 – 160 H.) berkata, ”Dalam masalah-masalah yang diperselisihkan diantara para ulama fiqih, aku tidak pernah melarang seorang pun diantara saudara-saudaraku untuk mengambil salah satu pendapat yang ada.” (Al-Faqih wal Mutafaqqih : 2/69).
6. Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur rahimahullah (95 – 158 H.), atau Harun Ar-Rasyid rahimahullah, pernah berazam untuk menetapkan kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik rahimahullah (97 – 179) sebagai kitab wajib yang harus diikuti oleh seluruh umat Islam. Namun Imam Malik rahimahullah sendiri justru menolak hal itu dan meminta agar umat di setiap wilayah dibiarkan tetap mengikuti madzhab yang telah lebih dahulu mereka anut.” (Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlih : 209-210, Al-Intiqa’ : 45).
7. Khalifah Harun Ar-Rasyid rahimahullah (148 – 193 H.) berbekam lalu langsung mengimami shalat tanpa berwudhu lagi (mengikuti fatwa Imam Malik). Dan Imam Abu Yusuf rahimahullah (113 – 182 H.) – murid dan sahabat Abu Hanifah rahimahullah – pun ikut shalat bermakmum di belakang beliau, padahal berdasarkan madzhab Hanafi, berbekam itu membatalkan wudhu (Majmu’ Al-Fatawa : 20/364-366).
8. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah (164 – 241 H.) termasuk yang berpendapat bahwa berbekam dan mimisan itu membatalkan wudhu. Namun ketika beliau ditanya oleh seseorang,”Bagaimana jika seorang imam tidak berwudhu lagi (setelah berbekam atau mimisan), apakah aku boleh shalat di belakangnya?” Imam Ahmad pun menjawab, ”Subhanallah! Apakah kamu tidak mau shalat di belakang Imam Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah (14 – 94 H.) dan Imam Malik bin Anas rahimahullah?” (karena beliau berdualah yang berpendapat bahwa orang yang berbekam dan mimisan tidak perlu berwudhu lagi) (Majmu’ Al-Fatawa : 20/364-366).
9. Imam Abu Hanifah rahimahullah (80 – 150 H.), sahabat-sahabat beliau, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, dan imam-imam yang lain, yang berpendapat wajib membaca basmalah sebagai ayat pertama dari surah Al-Fatihah, biasa shalat bermakmum di belakang imam-imam shalat di Kota Madinah yang bermadzhab Maliki, padahal imam-imam shalat itu tidak membaca basmalah sama sekali ketika membaca Al-Fatihah, baik pelan maupun keras. (lihat: Al-Inshaf lid-Dahlawi : 109).
10. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah shalat shubuh di masjid dekat makam Imam Abu Hanifah rahimahullah dan tidak melakukan qunut (sebagaimana hasil ijtihad dan madzhab beliau), dan itu beliau lakukan ”hanya” karena ingin menghormati Imam Abu Hanifah. Padahal Imam Abu Hanifah rahimahullah telah wafat sekian puluh tahun sebelumnya, tepat pada tahun Imam Asy-Syafi’i rahimahullah lahir (lihat: Al-Inshaf : 110).
11. Diceritakan dari Imam Abu Ya’la Al-Hambali rahimahullah (380 – 458 H.) bahwa, pernah ada seorang ulama fiqih (penuntut ilmu fiqih) yang datang kepada beliau untuk belajar dan membaca kitab fiqih berdasarkan madzhab Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah. Beliau (Imam Abu Ya’la rahimahullah) bertanya tentang negeri asalnya, dan iapun memberi tahukannya kepada beliau. Maka beliaupun berkata kepadanya, “Sesungguhnya penduduk negerimu seluruhnya mengikuti madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, lalu mengapakah engkau meninggalkannya dan ingin beralih ke madzhab kami?” Ia menjawab, “Saya meninggalkan madzhab mereka karena saya senang dan tertarik pada Anda.”
Selanjutnya Imam Abu Ya’la rahimahullah berkata, “Ini tidak dibenarkan. Karena jika engkau di negerimu bermadzhab dengan madzhab Imam Ahmad rahimahullah, sedangkan seluruh masyarakat di sana mengikuti madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, maka engkau tidak akan mendapatkan seorangpun yang beribadah (dalam madzhab Ahmad rahimahullah) bersamamu, dan tidak pula yang belajar denganmu. Bahkan sangat boleh jadi justru engkau akan membangkitkan permusuhan dan menimbulkan pertentangan. Maka statusmu tetap berada dalam madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah seperti penduduk negerimu adalah lebih utama dan lebih baik.” (lihat: Al-Muswaddah Fi Ushulil Fiqhi Li Aali Taimiyah hal. 483).