Suaramuslim.net – Ritual akhir tahun akademik yang berlabel Ujian Nasional (UN) akan digelar. Sesuai dengan POS Penyelenggaraan Ujian Nasional yang disusun BSNP (Badan Standar Pendidikan Nasional), ujian tersebut akan dilaksanakan pada awal April 2018. UN SMK dilaksanakan pada tanggal 2 – 5 April 2018. UN SMA dilaksanakan pada 9 – 12 April 2018. Sedangkan untuk SMP pada 23 – 26 April 2018. Oleh karena itu, bila kita sempat menengok di bilik-bilik belajar tiap sekolah, pasti hari-hari ini disibukkan dengan persiapan sukses UN.
Berbagai langkah untuk membuat anak terampil mengerjakan soal digelar. Mulai dari memforsir jam belajar di sekolah dengan pelajaran yang diujikan dalam UN saja, yang berakibat pada terpinggirkannya pelajaran lain. Selain itu, juga mengadakan beberapa kali uji coba, baik internal ataupun eksternal. Sampai pada penguatan spiritual siswa, seperti puasa, shalat hajat, istighotsah, dan doa bersama.
Usaha tersebut merupakan upaya sekolah untuk meluluskan semua siswanya dari jaring-jaring UN. Selain itu, juga untuk meningkatkan daya saing sekolah tersebut terhadap sekolah lainnya. Sebab hingga kini parameter teratas keunggulan sekolah di Indonesia masih berkutat pada hasil UN siswa. Bila hasil UN sekolah mereka jeblok, siapa yang mau mendaftar di sekolah mereka karena sekolah itu karena akan terstigma sebagai sekolah tak berkualitas. Sebaliknya, bila hasil UN Cemerlang, dapat dipastikan tahun depan sekolah tersebut tak perlu susah payah menjaring siswa dan wali murid. Nasib demikan itu terutama dialami oleh sekolah swasta.
Di satu sisi, usaha tersebut patut mendapatkan apresiasi dan dukungan. Namun, bila takdir berkata lain, ternyata ada satu atau beberapa, atau bahkan banyak siswa sekolah tersebut yang gagal UN, siapkah sekolah untuk mengatasinya? Mengatasi maksudnya memberikan pendampingan dan terapi untuk mengatasi efek psikologis imbas dari ketidaklulusan yang diderita siswa. Tidakkah mereka juga memerlukan program terapi prikologis untuk menaikkan mental mereka yang runtuh? Bila program tersebut tidak didesain sejak dini oleh sekolah, sungguh kasihan nasib siswa gagal UN.
Tulisan ini tulus mengingatkan sekolah untuk menyiapkan program terapi bagi siswa yang gagal ujian nasional. Ini sebagai langkah antisipatif apabila ada siswa mereka yang tak mampu meraih nilai minimal kelulusan. Tak dapat dipungkiri lagi, hal ini kurang mendapat perhatian dari sekolah. Umumnya, sekolah terpaku kepada persiapan sukses UN saja.
Seperti yang kita ketahui, siswa yang gagal UN akan merasakan dirinya laksana pohon tumbang. Kepercayaan dirinya akan hancur berkeping menjadi debu. Harga dirinya akan luluh lantak. Hal tersebut sedikit banyak imbas dari kondisi psikologis remaja yang biasanya masih labil. Meskipun sebelumnya mereka termasuk anak periang, bila saat pengumuman ia tak mendapatkan namanya dalam daftar kelulusan, dapat dipastikan keceriaannya akan luruh. Keceriaan akan berganti duka nestapa. Rasa malu luar biasa mendera batinnya. Mereka merasa semua mata melihat ke arah mereka dengan pandangan cemooh. Mereka merasa seolah-olah semua orang melabeli kepalanya dengan kata bodoh.
Karena itu, tak heran bila hari pengumuman UN selalu diwarnai kegaduhan. Seperti lazim dimuat di berbagai media massa. Saat pengumuman hasil UN, baik tingkat SMP maupun SMA, ada sebagian siswa yang menagis meraung-raung, pingsan, bahkan kesurupan karena gagal UN. Bahkan, nasib tragis terjadi di Klaten pada awal bulan Juni tahun lalu. Seperti dilansir media massa, seorang siswi SMP ditemukan tewas gantung diri beberapa saat setelah menerima pengumuman kelulusan. Ternyata sebab musababnya adalah dampratan sang ibu kepada korban yang tidak puas dengan nilai yang diperoleh. Sang ibu merasa nilai yang diperoleh anaknya tidak memuaskan. Tak sesuai harapannya.
Contoh kasus yang disebutkan di atas hanyalah salah satu contoh yang terjadi tahun lalu. Mengingat itu semua, tidakkah sekolah membuka mata bahwa mempersiapkan program terapi bagi siswa yang gagal UN juga sama pentingnya dengan program sukses UN? Tidakkah kejadian yang berulang setiap tahun mampu menggerakkan sekolah untuk tak hanya siap merasakan “nikmatnya sukses” saat siswa lulus UN, tetapi juga bersedia mendampingi siswa kala siswa terpuruk mentalnya karena gagal UN? Sebenarnya Dinas Pendidikan yang ada di tiap daerah mampu untuk berperan dalam mengambil tanggung jawab ini. Dinas yang mengampu urusan pendidikan daerah ini dapat mengambil langkah signifikan proporsional. Misalnya mendirikan sentra layanan psikologi bagi siswa gagal UN di daerahnya. Para psikolog yang kompeten dapat digandeng untuk mewujudkannya. Dan bergandengan tangan dengan guru BK (Bimbingan Konseling) yang biasanya ada di tiap sekolah.
Mungkin, secara naluriah guru akan berusaha melakukan pendampingan. Karena bagaimanapun siswa yang tidak lulus adalah tanggung jabnya. Namun tanpa persiapan dan program yang terencana maka langkah yang terencana, maka pendampingan yang diambil hanya akan berjalan atas intuisi dan rasa iba semata.
Tulisan ini tidaklah hendak mendiskreditkan UN sebagai biang kegoncangan psikologi siswa. Sungguh tidak. Namun hendaknya kita mampu melihat bahwa ada yang belum terjamah dalam program pendidikan kita. Khususnya berkaitan dengan penyiapan program pendampingan siswa yang gagal UN. Progam pemulihan mental mereka agar tak berduka terlalu lama. Dan segera pulih dan ceria kembali. Akhirnya, bila ini terjadi pada anak kita, masihkan kita menganggap ini tidak penting? Kepedulian adalah kata kuncinya.
Oleh: Mohammad Efendi, S.S.*
Editor: Oki Aryono
*Pendidik YLPI Al Hikmah Surabaya