Tradisi Orang Probolinggo Jelang Berangkat Haji

Tradisi Orang Probolinggo Jelang Berangkat Haji

Tradisi Orang Probolinggo Jelang Berangkat Haji
Calon jemaah haji melambaikan tangan kepada keluarga dan pengantar. (Dokumentasi pribadi)

Suaramuslim.net – Senin, 8 Juli 2019 yang lalu bapak dan ibu mertua mulai berangkat haji. Bakda salat Dhuhur beliau berdua diantar menuju kantor Pemkot kota Probolinggo. Setibanya di sana, saya saksikan ratusan orang Probolinggo memadati ruas jalan di depan kantor pemkot. Sekitar lebih dari 3 bus Pandawa 87 dikawal mobil aparat kepolisian dan mobil petugas kesehatan keluar pintu gerbang kantor pemkot.  Dari kota Probolinggo bertolak ke asrama haji di Sukolilo, Surabaya. Di sana menginap semalam sebelum hari berikutnya diterbangkan ke Arab Saudi.

Syarifatul Mahmudah, ibu mertua saya jebolan pesantren ternama di Jombang. Sebagian keluarga ibu mertua yang berasal dari Kencong, Jember turut serta melepas keberangkatan beliau. Keluarga ibu mertua yang rata-rata orang pesantren punya tradisi jelang berangkat haji.

Pertama, menggelar tasyakuran (selamatan). Kalau di Malang tasyakuran digelar usai menunaikan ibadah haji, maka di kediaman ibu mertua digelar jelang keberangkatan. Tasyakuran digabung pertemuan “Bani Sahlan”.  Tidak sekadar beramah tamah antara keluarga dari Probolinggo, Kencong (Jember), Kabupaten Malang, Situbondo hingga keluarga asal Tuban. Dalam pertemuan ini diawali dengan membaca surah Yasin, dilanjutkan istighosah dan menyimak tausyiah.

Kedua, meminta doa kepada pemuka agama. Jelang berangkat ke kantor pemkot, bapak dan ibu mertua meminta sesepuh keluarga, Kiai Achmad Bajuri untuk memimpin doa di kediaman rumah. Dibuka dengan salawat kepada Rasulullah SAW, mengirim al fatihah untuk arwah leluhur (tawassul). Saat sesi tawassul saya diam saja, tidak baca al-fatihah sama sekali. Tak berselang lama ditutup dengan doa pendek: “Astawdi’ullaha diinaka, wa amaanataka, wa khowaatiima ‘amalik”. Yang bermakna, “Aku menitipkan agamamu, amanahmu, dan perbuatan terakhirmu kepada Allah”. Tenang saja ini bukan bid’ah. Pasalnya doa ini tercantum dalam hadis yang diriwayatkan At Tirmidzi.

Ketiga, sungkeman. Meminta maaf dan memohon restu kepada orang tua, saudara kandung dan ipar yang lebih tua. Sungkeman bukan bid’ah, ia ‘urf shahih. Tak ada bedanya dengan sungkeman saat menjalani prosesi pernikahan dan hari lebaran.

Keempat, mengumandangkan adzan. Di kediaman rumah ibu mertua tak ada kumandang adzan, pasalnya akan digelar di kantor Pemkot. Sepintas oleh sebagian para pengantar jemaah haji dianggap tambahan (baca: bid’ah), akan tetapi ada dasar hukumnya. Merujuk artikel karangan KH Munawir Abdul Fatah dalam laman nu.or.id (20/10/2009), Abu Bakar dan Ar-Rudbari dari Ibnu Dasah, ia berkata: “Ibnu Mahzum menceritakan kepadaku dari Ali dari Aisyah, ia mengatakan: Jika seorang mau pergi haji atau bepergian, ia pamit kepada Rasulullah, Rasul pun mengadzani dan mengomati.” (Shahih Ibnu Hibban).

Terkait adzan, saya dapat cerita dari salah satu kerabat ibu mertua, bahwa pada era wali kota sebelum-sebelumnya tidak ada prosesi semacam ini. Baru ada ketika kota Probolinggo dipimpin habib Hadi Zainal Abidin.  Beliau ini putra dari Habib Muhammad bin Ali Al-Habsyi pendiri dari Pesantren Riyadlus Sholihin di Probolinggo. Beginilah kontribusi nyata orang pesantren dalam “islamisasi” di daerah yang ia pimpin. Wallahu a’lam.*

*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment