Tragedi kemanusiaan: Olahraga dan perlindungan pada perempuan dan anak di area publik

Tragedi kemanusiaan: Olahraga dan perlindungan pada perempuan dan anak di area publik

Suaramuslim.net – Pertama-tama saya ucapkan duka cita yang mendalam dari lubuk hati yang paling dalam kepada seluruh keluarga yang anggota keluarganya menjadi korban dari penanganan pasca pertandingan Arema VS Persebaya di Stadion Kanjuruhan Malang. Semoga Allah SWT memberikan kesabaran atas duka cita kehilangan anggota keluarga pada tragedi 1 Oktober 2022 kemarin.

Banyak ulasan dari berbagai perspektif dan kompetensi masing-masing yang memberikan opini. Tapi hingga tulisan ini saya buat, perspektif dari sisi perlindungan terhadap perempuan dan anak di wilayah publik belum ada.

Dinas PPPA Jawa Timur mencatat, 17 anak meninggal dunia, 7 anak masih dirawat.

Ada 25 orang perempuan yang menjadi korban (sumber: daftar nama korban tragedi Kanjuruhan, rilis 2 Oktober 2022 jam 13.00) dari keseluruhan korban 174 orang berdasarkan data BPPD Jawa Timur jam 14.00 sebagaimana dikutip dari media online Tribunnews.

Innalillahi wa inna ilaihi rojiun

Jumlah korban perempuan dan anak yang sedemikian banyaknya, membuka mata kita bagaimana memitigasi korban perempuan dan anak di area publik.

Banyaknya korban perempuan dan anak di area publik olahraga yang seharusnya menjunjung sportivitas, yang seharusnya menjadi arena pembelajaran dan menumbuhkan semangat untuk berprestasi bagi anak, akhirnya meninggalkan trauma yang sangat besar bagi perempuan dan anak, baik saksi mata langsung maupun yang menyaksikan dari rumah.

Bahkan mungkin setelah ini, tidak banyak ibu yang mengizinkan anak-anaknya berprestasi di jalur olahraga khususnya sepak bola. Sungguh trauma yang merugikan kita semua.

Selain unjuk prestasi dan unjuk kemampuan, penyelenggara pertandingan sepertinya abai pada unsur “Perlindungan pada Perempuan dan Anak di Area Publik” sebagaimana di UU No. 11 tahun 2005 tentang pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya serta UU No. 17 tahun 2007 tentang rencana pembangunan jangka panjang nasional 2005-2025 serta Permen PPPA No. 13 tahun 2020 tentang perlindungan perempuan dan anak dari kekerasan berbasis gender dalam bencana.

Abai ini, adalah sejak perencanaan, pra pelaksanaan, pelaksanaan dan pasca pelaksanaan kegiatan olahraganya. Inilah yang seharusnya disuarakan oleh para organisasi perempuan baik di tingkat lokal Jawa Timur maupun di tingkat nasional.

Hak-hak publik perempuan dan anak yang diabaikan oleh panitia dan pelaksana yang berujung hilangnya nyawa.

Saya berharap, ke depannya, setiap penyelenggara olahraga, entah itu PSSI, KONI dan payung organisasi olahraga lainnya, pada jenis olahraga apapun, pada tahap perencanaannya dapat melibatkan perempuan yang paham tentang perlindungan pada perempuan dan anak di sektor publik.

Hal ini penting sekali mengingat, bahwa ajang olahraga (apapun) yang diselenggarakan pertandingannya di ruang publik dan disaksikan secara langsung oleh publik secara luas, harusnya memiliki program mitigasi ini.

Organisasi penyelenggara olahraga memiliki tanggung jawab sosial untuk terus melakukan edukasi pada para supporternya tentang apa, mengapa dan bagaimana dukungan mereka pada cabang olahraga dan pada para atlet yang sedang bertanding.

Organisasi kepanitiaan pelaksanaan pertandingan olahraga, sudah selayaknya dibuat “flat organization” yang artinya sejak perencanaan hingga pelaksanaan tidak membuat organisasi berjenjang menjulang tinggi yang menyulitkan ketika harus melakukan pengambilan keputusan.

Ruang stadion berkapasitas 38K kursi dan jumlah tiket terjualnya 42K dengan exit door yang kurang memadai, dan kurang tepatnya handling seorang supporter yang terlanjur turun di lapangan serta penyemprotan gas air mata di sisi tribun, menurut saya pribadi, karena organisasi kepanitiaan yang terlalu berjenjang inilah yang membuat panitia penyelenggara tidak mudah mengambil keputusan ketika bibit-bibit suasana chaos mulai terdeteksi.

Organisasi kepanitiaan yang berjenjang membuat panitia pelaksana di lapangan gelagapan ketika harus berhadapan dengan situasi chaos. Mereka juga pasti akan mendapatkan kemarahan dari pimpinannya pasca tragedi tersebut.

Sungguh tidak mudah menangani situasi chaos ketika para pelaksana harus melapor dan minta petunjuk apa dan bagaimananya.

Sedari awal, ketika membentuk tim panitia, harusnya dibuat tim yang anggotanya agile dan berorientasi pada orang, pada kemanusiaan dan tetap berorientasi pada profitabilitas yang menguntungkan penyelenggara.

Memang tidak mudah membentuk tim panitia seperti ini, tapi kedepannya harus disuarakan, digaungkan agar tidak terjadi tragedi kemanusiaan di arena olahraga.

Terakhir, olahraga dan sportivitas seperti keping mata uang, tidak bisa dipisahkan. Edukasi ini harus terus dilakukan oleh negara. Bahkan mungkin harus masuk dalam kurikulum pendidikan. Sehingga tertanam dalam benak anak didik untuk hal ini.

Untuk trauma panjang dari tragedi ini, sejatinya ini menjadi tanggung jawab bersama, dan kesadaran bahwa tragedi terjadi akibat kesalahan ini dan itu, mengakui kesalahan adalah hal yang seharusnya dilakukan. Bukan melemparkan ke sana ke mari. Akui, dan lalu kita benahi bersama agar tragedi tidak terulang kembali.

2 Oktober 2022
Salam Takzim
Evi Sufiani
Koordinator Presidium MD Forhati Surabaya
Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan, dapat memberikan hak jawabnya. Redaksi Suara Muslim akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment