Visi Tidak Mengenal Usia

Visi Tidak Mengenal Usia

Visi Tidak Mengenal Usia
Ilustrasi kaki memanjat satu per satu batu di wall climbing.

Suaramuslim.net – Mengapa visi-misi harus dibuat, ditulis dan ditempel? Hal itu penting agar kita bisa fokus mengarahkan niat dan energi kita ke satu titik tujuan (concentration in one direction). Visi yang ditulis, bisa menjadi pengingat setiap kegiatan pengembangan diri kita dari waktu ke waktu. Bahkan bisa menjadi dokumen sederhana untuk mengevaluasi, sampai di mana gerak perubahan yang telah kita canangkan. Jangan sampai perubahan yang sudah kita proklamirkan berjalan di tempat, melambat dan tidak kunjung move on.

Kepada anak-anak selalu saya ingatkan, jangan pernah berhenti untuk mengevaluasi apa pun yang sudah pernah kalian impikan. Ketika si bungsu Fauzan ingin kuliah di Jepang, maka tidak hanya saya “iya” kan, tetapi dari waktu ke waktu saya tanyakan berapa toefl-nya, di mana kurangnya? Reading, writing atau conversation-nya. Seberapa sungguh-sungguh tentang mimpinya untuk kuliah di negeri Sakura itu, sampai di mana bahasa Jepangnya dan lain-lain.

Jika ternyata beberapa rencana perbaikan terjadi deviasi, maka saya besarkan hatinya untuk tidak berkecil hati apalagi frustasi. Lakukanlah perubahan perencanaan seperlunya dengan relaksasi. Bisa jadi deviasi terjadi bukan karena kesalahan program perubahan, tetapi hanya karena salah memilih prioritas.

Karenanya, anak-anak saya ajak berdiskusi agar terbiasa bekerja dan beraktivitas dengan cerdas, terutama dalam hal memilih prioritas. Pada intinya kami berpesan untuk memilih kegiatan yang signifikan: “Pilihlah aktivitas yang paling memberikan dampak terbesar bagi kemajuan hidup kita pada aspek spiritual, intelektual, emosional dan fisik operasional. Jangan beraktivitas asal-asalan, asal ada dan atau asal jalan. Hidup kita terlalu singkat untuk dibuat mainan.”

Ketika kultum juga saya ingatkan: “Umur kita semakin menua, energi kita habis namun jangan sampai menjadi dewasa namun tidak menjadi apa-apa, bukan karena tidak berbuat, tetapi karena gagal membedakan mana hal-hal prinsip dalam kehidupan yang perlu diprioritaskan dan mana pernik-pernik kehidupan yang hanya dan boleh menjadi selingan.”

Anak-anak saya ajak belajar cerdas, sebagaimana Steve Jobs yang juga selalu menyusun prioritas dalam aktivitas kehidupannya. Steve Jobs (1955-2011) CEO Apple yang karya-karyanya memimpin industri IT dunia, berpesan: Remembering that I’ll be dead soon is the most important tool I’ve ever encountered to help me the big choices in life. (Mengingat bahwa saya akan segera mati, adalah alat penting dalam membantu saya memilih pilihan- pilihan penting (prinsip) dalam kehidupan ini).

Pertimbangan spiritualitas (baca: ingat mati) menjadi kata kunci Steve Jobs untuk cerdas memilih prioritas. Dengan mengingat bahwa dirinya akan segera mati, seolah-olah Steve Jobs hendak memastikan bahwa apa yang hendak diputuskan dan dikerjakan setiap hari, bisa dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan. Dengan cara itu, ia terus maju dan sukses dalam kehidupan bisnisnya.

 Tak ada Tua untuk Visi

Ayah harus memberi teladan. Termasuk bagaimana ayah juga selalu mempunyai visi hidup, berapa pun usianya, bahkan meskipun sudah pensiun.

Banyak yang mengira bahwa visi itu diperlukan hanya untuk anak kita, bagi yang muda yang berkarya atau yang sedang galau dalam menggapai cita-cita dan mimpinya. Paling tidak itulah yang dirasakan oleh karyawan Telkom Indonesia, ketika saya memberi pelatihan Spirituality in Work (SiW) bab visi, beberapa ibu-ibu protes: “Bapak terlambat memberikan materi visi, kami menjadi karyawan Telkom ini tinggal 3 kali puasa dan 3 kali lebaran (seperti Bang Thoyib), buat apa mempunyai visi?”

Saya jawab, justru ibu perlu membuat visi pensiunan agar waktu luang saat pensiun lebih berarti dan punya nilai.

Padahal sebenarnya visi berlaku dan baik juga untuk siapa saja, di usia berapa pun juga. Hidup tanpa visi, ibarat Anda naik taksi tanpa tujuan. Kemungkinannya ada dua; pertama, Anda akan diajak berputar-putar keliling kota dan dikembalikan ke posisi semula. Habis waktu, habis biaya (ongkos taksi) tapi tidak ke mana-mana. Kemungkinan kedua, Anda akan diantar ke RS Jiwa, he he.

Wahai ayah, jika kemudian tiba-tiba harus di-PHK dan pensiun dini janganlah panik dan kehilangan kendali, jadikanlah momentum tersebut untuk reorientasi, tentu harus diniati dengan kesungguhan hati. Kesungguhan reorientasi visi dari commission oriented to mission oriented.

Keberanian bersikap itu akan mampu mengubah masalah purna tugas menjadi berkah, yaitu tekad memperbaiki kualitas spiritual kita.

Ketika tiba-tiba saya diminta resign dari grup Jawa Pos di usia 50 tahun, dengan alasan ideologis, secara khusus istri dengan polosnya berpesan: “Abah..! Jadikan momentum untuk reorientasi visi, umur sudah 50 tahun, mau cari apa lagi? Jatah umur yang tersisa sudah tak banyak lagi, cobalah mulai kerja/usaha bisnis sendiri yang ada dan kental dengan urusan akhirat. Jangan cari duit aja.”

Ungkapan sederhana itu semula saya dengarkan sambil lalu, tanpa ada perhatian khusus. Beberapa malam saran itu mengganggu pikiran, dan ternyata saran tersebut menjadi inspirasi bagi saya secara pribadi untuk memulai berbenah diri. Ada suntikan energi sebagai starting point untuk naik secara spiritual sekaligus berbagi semangat dengan pembaca. Suatu malam terinspirasi membuat proposal hidup 50-70 tahun, yang penuh dengan muatan gerak spiritual meski tidak melupakan keuntungan finansial.

Jika momentum itu datang, manfaatkan sebaik mungkin jangan lah disia-siakan. Karena kesempatan tidak datang kedua kali.

Visi untuk Valensi

Kebanyakan dari mereka yang berhenti dari bekerja atau pensiun dini, mindset-nya langsung merasa menjadi pengangguran. Karena sudah terbangun mindset seolah-olah bekerja itu hanya milik ‘orang kantoran.’ Dianggap bekerja jika berangkat pagi pulang petang menuju kantor atau pabrik yang rutin dengan gaji bulanan.

Kalaupun faktanya memang banyak nganggurnya, maka sikapilah dengan positif, bahwa pensiun dari kerja ka nto ra n bera rti te rsedianya kesempatan untuk melakukan transformasi naik kelas spiritualitas kita. Isilah hari-hari longgar kita dengan kesibukan yang produktif dan kontributif, meski tidak menjadi ‘orang kantoran’ lagi.

Jika kerja di kantor mendapat kompensasi gaji, maka kerja level kedua ini mendapatkan imbalan nilai atau valensi (meminjam istilah Jamil Azzaini). Catatan nilai hasil kontribusi kita, oleh Allah yang Maha Adil itu akan dikembalikan dalam bentuk rezeki, kesehatan dan kebaikan keluarga di dunia maupun pahala di akhirat kelak. Dan nilai terbaik menurut Allah, adalah manusia yang paling kontributif untuk sesamanya, apa pun dan di mana pun kesibukannya, tidak mesti sebagai pekerja.

Kemudian kita dapat mengamati bahwa target-target hidupnya bisa dia raih dengan baik. Namun yang lebih penting keberadaannya punya dampak yang besar dan signifikan kepada lingkungannya.

Bagaimana Melakukannya?

Putuskanlah mulailah sekarang untuk menjadi pribadi yang bermanfaat bagi siapa pun dalam hidup ini. Lalu, disiplinkanlah hidup kita dengan memberikan nutrisi yang teratur yang dibutuhkan oleh pikiran kita berupa ilmu, yang menjadi sebab bagi kokohnya hati dan jiwa kita berupa ibadah, yang akan membuat tubuh kita sehat berupa makanan dan olah raga yang teratur.

Kemudian kalkulasilah potensi Anda, apa yang bisa kita kontribusikan bagi sesama. Ilmukah, uangkah, tenagakah? Kalau jumlah yang kita miliki belum cukup untuk dibagi, itu artinya kita harus segera mencarinya dan menambahkannya. Tetapi jika sudah melebihi ukuran yang kita butuhkan maka mari kita bagikan pada sesama.

Penulis mencoba melakukannya; malam hari setelah keputusan berhenti kerja itu langsung kami putuskan membuat Visi-Misi 50-70 tahun, dengan tema besar Qur’an Centrum. Saya tulis lengkap dengan target waktu dan kuantum, dan saya tempelkan di depan meja tulis yang setiap saat bisa terlihat.

Visi-misi 50 yang baru tersebut, lebih menekankan being-mood dan valensi dengan berkontribusi, bukan lagi having-mood (ambisi memiliki materi), antara lain: menjadi penceramah atau motivator spiritual, mendirikan lembaga pelatihan berbasis spiritual, mendirikan penerbitan dan percetakan Al Qur’an dan melahirkan buku-buku bermutu, yang mengupas kekayaan samudera Al Qur’an.

Tertulis juga visi melanjutkan mimpi mendirikan ma’had yang dilengkapi dengan hafiz dan optimasi kompetensi (life skill) para hufaz. Menjadi mentor atau konsultan bagi pebisnis muslim start-up, untuk mengamalkan ilmu leadership dan manajemen, dengan talkshow di radio dan pendampingan. Juga, bertekad ingin menghimpun komunitas potensial untuk sinergi gerakan dakwah dan pemberdayaan ekonomi umat

Bagaimana hasilnya? Hasilnya ternyata luar biasa, bisa merawat semangat dan kegiatan lebih terarah. Hal paling penting dengan visi pensiunan ini adalah memberi teladan kepada anak-anak bahwa visi tidak mengenal usia, hidup harus mempunyai arah dan tujuan. Jangan asal jalan dan tanpa arah.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment