Wiyoyo Ketupat, Sunan Kalijaga, dan Siasat Islamisasi

Wiyoyo Ketupat, Sunan Kalijaga, dan Siasat Islamisasi

Hari raya ketupat
Ketupat (Foto: doyanresep.com)

Suaramuslim.net – Mulai hari Ahad ini, ibu-ibu di desa kami sedang mempersiapkan bingkai tempurung ketupat. Mereka sedari pagi sibuk berbelanja janur, tali rafia, beras, daun pandan, dan kayu untuk menanak ketupat.

Biasanya hal itu dilakukan satu pekan pasca hari raya Idulfitri, mulai pagi hari mereka akan berjejer membuat tungku untuk mengepulkan apinya dan mulai menanak ketupat.

Meski tahun ini agak berbeda setelah ada pandemi Corona, tetap saja, meskipun sedikit, masih ada beberapa ibu yang mengepulkan api di atas tungkunya.

Islam mensyariatkan ada dua lebaran dalam satu tahun: hari raya Idulfitri dan Iduladha. Namun bagi orang Indonesia, khususnya Jawa, ada satu hari raya yang menjadi bagian tradisi untuk dilaksanakan: hari raya Ketupat. Orang Jawa bilang Wiyoyo Kupatan.

Sejarah Hari Raya Ketupat

Menurut salah satu sumber, tradisi Kupatan sudah ada di Nusantara sejak masa Hindu dan Budha. Tradisi ini diangkat dari tradisi pemujaan Dewi Sri. Ia dinisbahkan sebagai dewi pertanian dan kesuburan, pelindung kelahiran dan kehidupan, kekayaan dan kemakmuran.

Dewi Sri merupakan dewi tertinggi dan terpenting bagi masyarakat agraris. Ia dimuliakan sejak masa kerajaan kuno seperti Majapahit dan Pajajaran. Dalam pengubahsuaian itu terjadi desakralisasi dan demitologisasi.

Dewi Sri tak lagi dipuja sebagai dewa padi atau kesuburan tapi hanya dijadikan lambang yang direpresentasikan dalam bentuk ketupat yang bermakna ucapan syukur kepada Tuhan.

Setelah Wali Songo, khususnya Sunan Kalijaga berdakwah di bumi Nusantara, tradisi syukuran itu tidak dihilangkan, hanya saja diakulturasikan dengan nilai-nilai keislaman, diperkenalkanlah dua istilah: Bakda Lebaran dan Bakda Kupat.

Bakda Lebaran dipahami sebagai prosesi pelaksanaan salat Idulfitri hingga tradisi saling kunjung dan memaafkan sesama muslim, sedangkan Bakda Kupat dimulai sepekan sesudah Lebaran.

Menurut H.J. de Graaf, dalam buku Malay Annal, ketupat adalah simbol perayaan hari raya Islam pada masa pemerintahan Demak. Pada awal abad ke-15, Kesultanan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah.

Kesultanan Demak membangun kekuatan politiknya sembari menyiarkan agama Islam dengan dukungan Wali Songo, salah satunya dakwahnya Sunan Kalijaga.

Ketika menyebarkan Islam ke pedalaman, Wali Songo melakukan pendekatan budaya agraris, mereka beranggapan, tempat adalah unsur keramat dan berkah sangatlah penting untuk melanggengkan kehidupan.

Maka tidak heran jika yang dipakai untuk ketupat adalah janur. Graaf menduga kulit janur kelapa yang telah dibuang lidinya itu menunjukkan identitas budaya pesisir yang dipenuhi banyak pohon kelapa.

Siasat Islamisasi Hari Raya Ketupat

Sunan Kalijaga menganalogikan hari raya Ketupat sebagai bagian mengakui kesalahan dalam empat tindakan. Dalam bahasa lain agar Ngaku Lepat dan Laku Papat. Ngaku lepat artinya mengakui kesalahan. Laku papat artinya empat tindakan.

Laku papat artinya empat tindakan dalam perayaan Lebaran. Empat tindakan tersebut adalah Lebaran, Luberan, Leburan dan Laburan.

Lebaran memiliki arti usai atau berakhir, yang menandakan selesainya masa berpuasa dalam bulan Ramadan dan kesiapan menyongsong kemenangan. Luberan bermakna meluber atau melimpah. Sebagai simbol ajaran bersedekah untuk kaum miskin.

Leburan maknanya adalah habis dan melebur. Maksudnya pada momen Lebaran, dosa dan kesalahan kita akan melebur. Laburan berasal dari kata labur atau kapur. Maksudnya supaya manusia selalu menjaga kesucian lahir dan batin satu sama lain.

Ketupat menjadi simbol “maaf” bagi masyarakat Jawa, yaitu ketika seseorang berkunjung ke rumah kerabatnya, mereka akan disuguhkan ketupat dan diminta untuk memakannya. Apabila ketupat tersebut dimakan, secara otomatis pintu maaf telah dibuka dan terhapuslah segala yang pernah khilaf.

Teguh Imami
Pegiat Museum Muhammadiyah

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment