Suaramuslim.net – Seusai khidmah ngantor di Maktab Markazi Hai’ah Ash Shofwah di kawasan Gayungsari Surabaya, saya pun bergegas menuju Sentra Dakwah Haromain di kawasan Ketintang Surabaya. Saya menyengaja kesana untuk membincang rencana Dauroh Shihafiyah Hai’ah Ash Shofwah yang diamanahkan kepada Hawariy Cabang Surabaya.
Setibanya di Ketintang, saya menjumpai suasana yang berbeda dari biasanya. Beberapa jamaah Haromain memadati pelataran dhalem (rumah) kediaman Abi Ihya’.
“Sebentar lagi, Ustadz Abdul Shomad yang dari Riau itu mau datang kesini. Mau sowan ke Abi. Antum di sini saja, sekalian ketemu beliau”, ucap Ustadz Moedji, Ketua Hawariy Cabang Surabaya yang juga sivitas Sentra Dakwah Haromain.
Ternyata betul. Usai sholat Maghrib, Ustadz Abdul Shomad datang bersama rombongannya, disambut tetabuhan rebana para santri, ditingkahi alunan Sholawat Badar. Abi Ihya yang sejak beberapa menit sebelumnya sudah menunggu, langsung merangkul Ustadz Abdul Shomad dan mempersilahkan masuk ke dhalem beliau.
“Saya sangat bahagia sekali dengan moment perjumpaan ini,” ucap Ustadz Abdul Shomad kepada Abi Ihya mengawali perbincangan.
Yang menarik dari momentum perjumpaan ini adalah selama berbicara di hadapan Abi Ihya, Ustadz Abdul Shomad selalu merunduk dan jarang sekali menengadahkan pandangannya, utama kepada Abi Ihya. Sikapnya sangat tawadhu’ kepada ulama. Selain itu, selama matur kepada Abi Ihya, ustadz muda dengan berjuta followers ini lebih banyak menggunakan bahasa Arab fushah sehingga mudah dipahami.
“Sudah lama saya merindukan perjumpaan dengan Abi Ihya. Saya mendengar nama Abi Ihya dari Habib Muhammad bin Alawi al-Atthos waktu di Kuching Sarawak Malaysia,” tanpa canggung Ustadz Shomad pun memanggil KH. Muhammad Ihya Ulumiddin dengan sebutan Abi, sebagaimana kami para santri memanggil beliau guru kami.
“Tahun 2002, semasa saya masih kuliah di Mesir, saya berangkat menunaikan ibadah haji. Lalu ada teman yang mengajak ke Rushaifah. Sowan kepada seorang ulama ternama, Sayyid Muhammad bin Alawi al-maliki al-Hasani. Dari pertemuan dengan Syaikh Al Maliki itu, saya langsung kagum dengan ulama ini. Alim, tampan, dan dermawan”, cerita Ustadz Shomad.
Sejak saat itu, lanjutnya, “saya langsung mencari kitab-kitab karya Sayyid Maliki. Saya baca semuanya, mulai dari kitab Mafahim Yajibu An Tushahhah, dan beberapa kitab karya beliau yang lainnya.” Ustadz spesialis tanya jawab ini terus bercerita tapi tetap tawadhu‘, jarang sekali menatap wajah Abi Ihya.
“Kemudian beberapa waktu yang silam, saya berkunjung ke kota Kuching Serawak Malaysia. Di sana saya bertemu dengan seorang Habib yang juga murid dari Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki, yaitu Habib Muhammad bin Alawi al-Atthas. Dari Habib ini saya mendapat ijazah Wirid Rotibul Atthas,” tutur Ustadz Abdul Shomad.
“Saat itu, Habib Muhammad bin Alawi al-Atthos bercerita bahwa Sayyid Maliki memiliki banyak santri. Namun ada satu santri kesayangan Sayyid Maliki, namanya KH. Muhammad Ihya Ulumuddin. Beliau tinggal di Surabaya. Abi Ihya itu sekarang menjadi Ketua Himpunan Alumni Abuya Al Maliki. Habib Muhammad al-Atthos pun menceritakan banyak hal tentang keistimewaan Abi Ihya yang tidak mungkin saya sampaikan kepada publik. Sayapun penasaran dan ingin sekali bertemu dengan Abi Ihya, santri kesayangan Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas Al Maliki Al Hasani…” begitu lancarnya Ustadz Abdul Shomad bercerita tentang Abi Ihya. Semua yang hadir terpana diliputi penasaran, apa gerangan yang telah disampaikan oleh Habib itu tentang keistimewaan Abi Ihya. Namun Ustadz Abdul Shomad tetap tak mau mengungkapkannya.
“Setiap kali saya Alfaqir mengunjungi suatu tempat, saya selalu meminta doa dan nasehat kepada para Ulama, habaib, Kiai, dan Tuan Guru. Karena,
كم من مشهور في الارض ومستور في السماء
“Berapa banyak orang yang terkenal di bumi. Terkenal di youtube. Memiliki banyak followers. Tetapi tidak ada artinya di hadapan para malaikat.”
“Maka sebelum saya Alfaqir meninggalkan majelis ini, saya ingin meminta taushiyah dan doa dari Abi Ihya,” dengan rendah hati Ustadz Abdul Shomad merayu Abi Ihya. Walaupun semula Abi Ihya enggan, dan mengembalikan kepada Ustadz Abdul Shomad, namun akhirnya Abi Ihya berkenan memenuhi permintaan ustadz muda dari Riau ini.
“Abuya Sayyid Muhammad al-Maliki sering berwasiat kepada kami agar selalu berdoa untuk diberikan kejujuran (ash-Shidqu), keikhlasan, dan roghbah (semangat). Karena Ar-roghbah ini termasuk al-Ismul A’dzam, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, “Wa ilaa Robbika farghab.” Maka setiap da’i harus jujur, ikhlas, dan semangat (roghbah),” Abi Ihya memberi wejangan kepada Ustadz Abdul Shomad layaknya sedang menasehati santrinya sendiri.
“Dalam memperjuangkan Ahlussunnah Wal Jamaah itu, butuh sosok pendobrak, sebagaimana Bung Tomo yang menjadi pendobrak melawan penjajah. Dan Antum adalah Bung Tomo-nya Ahlussunnah Waljamaah…!” Abi Ihya begitu antusias menyampaikan pesan ini kepada Ustadz Abdul Shomad. Seperti sedang menaruh harapan besar akan keberlangsungan Ahlussunnah Wal Jamaah kepada da’i muda alumni Al Azhar ini.
Kendati demikian, Ustadz Abdul Shomad tidak lantas berbesar kepala. Dengan irama lirih, ia menjawab sanjungan Abi Ihya dengan kalimat yang luar biasa.
المشهور بدعوة المستور
“Kami yang terkenal itu berkat doa para ulama yang bersembunyi,” jawab ustadz lulusan Maroko ini dengan penuh tawadhu’.
Senja itu, saya bersyukur bisa menghadiri moment perjumpaan yang luar biasa. Antara Ustadz Abdul Shomad dengan guru kami, Abi KH. Muhammad Ihya Ulumuddin. Pertemuan yang tidak saya bayangkan sebelumnya. Meskipun berlangsung secara tiba-tiba dan tanpa terencana, namun memiliki bekas yang sangat mendalam. Saya bisa mendulang banyak ilmu dari guru kami dan dari dai muda ini.
Sepanjang perjalanan pulang sekitar 8 km dari Ketintang menuju Ketabang Ondomohen Surabaya, saya hanya bisa mendoakan Ustadz Abdul Shomad sebagaimana doa yang dibacakan oleh Abi Ihya saat memegang tangan Ustadz Abdul Shomad di ujung pertemuan senja itu.
اللَّهُمَّ كَمَا اَنْعَمْتَ فَزِدْ، وَكَمَا زِدْتَ فَبَارِكْ، وَكَماَ بَارَكْتَ فَأَدِمْ، وَكَمَا أَدَمْتَ فَلاَ تَسْلُبْ
“Ya Allah, berilah tambahan nikmat yang telah Engkau karuniakan. Berikan keberkahan atas nikmat yang telah Engkau tambahkan. Berilah kelanggengan atas nikmat yang telah Engkau berkahi. Jangan Kau cabut nikmat yang telah Engkau langgengkan, ya Allah. Amin.”
Oleh: Umar Faruq
Ketua Pusat Hawariy Ash Shofwah Al Malikiyyah
*Ditulis pada Sabtu senja di Surabaya, 07 April 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net