Suaramuslim.net – Wahai putraku, bersikaplah lemah lembut, senang akan kebaikan, banyak berfikir, sedikit berbicara kecuali dalam hal kebenaran, banyak menangis dan sedikit bersenang-senang. Janganlah kamu banyak bercanda, berteriak dan mencela. Apabila kamu diam, maka diamlah dalam berfikir dan apabila kamu berbicara maka berbicaralah dengan hikmah. (Nasihat Lukman kepada putranya)
Dalam mendampingi tumbuh kembang buah hati, tidak jarang kita dihadapkan dengan sikap dan polah tingkah yang sangat menguras tenaga serta emosi dalam jiwa. Terkadang mereka dapat dengan mudah kita tenangkan namun tak jarang pula mereka tetap tak mau diajak kompromi hingga rasa lelah mendera jiwa raga kita. Saat itulah terkadang amarah menjadi jalan pintas untuk menghentikan ‘kenakalan’ buah hati.
Dalam sebuah penelitian mengatakan bahwa apabila pengalaman yang dialami seorang anak penuh kasih sayang, penghormatan dan keceriaan maka akan membuat limbik otak anak menjadi lebih aktif. Ia akan mengeluarkan neotransmiter yang akan mengaktifkan korteks. Korteks adalah kemampuan seseorang untuk bisa berfikir, beranalisis dan bertindak kreatif. Namun bila seorang anak mengalami pengalaman menyedihkan stressful environment maka akan mempengaruhi fungsi limbik otak sehingga mengeluarkan zat neotransmiter yang mengaktifkan batang otak reptil. Dimana nantinya anak akan berkembang menjadi pribadi agresif, pemarah dan penuh curiga.
Kita mungkin melihat anak dapat segera diam dan patuh dengan perintah kita. Namun pernahkah kita berfikir bahwa anak merasa nyaman dengan cara yang kita sampaikan? Tidakkah kita berfikir bahwa rasa tidak nyaman, kemarahan yang diam-diam mereka pendam karena tak bisa mengungkapkan tersebut tetap akan mereka bawa hingga kelak dewasa?
Dalam suatu riwayat pernah suatu ketika Rasulullah menggendong seorang balita. Tiba-tiba saja balita tersebut buang air kecil, sang ibu yang mengetahui hal itu langsung mengangkat anaknya dengan kasar. Lalu apa kata sang nabi? Air kencing di baju ini akan mudah dibersihkan namun luka di hati sang anak akibat kekasaran sang Ibu akan tetap ia bawa sampai mereka dewasa.
Lalu apakah kita tidak boleh menghukum anak? Rasulullah Saw bersabda: ”Muliakanlah anak-anak kalian dan perbaikilah budi pekertinya.” (HR. Ibnu majah)
Berdasarkan hadist tersebut Rasulullah lebih dahulu menganjurkan kepada para orang tua untuk memuliakan, menghormati, mengasihi baru kemudian mendidik mereka agar memiliki budi pekerti yang baik.
Pendidikan anak pada dasarnya di bagi menjadi tiga tahap. Yaitu tujuh tahun pertama anak seumpama raja, tujuh tahun kedua anak ibarat seorang tahanan perang dan tujuh tahun berikutnya anak bagaikan sahabat untuk kita.
Pertama, inilah langkah awal kita menanam pondasi pada diri anak. pada tujuh tahun pertama anak lebih mudah belajar dari apa yang mereka lihat dari pada apa yang mereka dengar. Maka teladan dari orang tua serta orang-orang sekitar sangat diperlukan. Selain itu kita juga dapat menguatkan terbentuknya akhlak yang baik melalui cerita berhikmah yang kita sampaikan dengan penuh kasih sayang.
Kedua, inilah awal kita mengenalkan peraturan dan pentingnya disiplin kepada anak. Oleh karena itu Rasulullah juga menganjurkan untuk mulai mengajarkan sholat kepada anak pada umur 7 tahun. Disiplin terbagi menjadi 2 yaitu disiplin preventif dan korektif. Disiplin preventif adalah upaya menggerakkan anak mengikuti dan mematuhi peraturan yang berlaku. Sedangkan Disiplin korektif adalah upaya mengarahkan anak untuk tetap mematuhi peraturan.
Orang tua juga perlu membuat kesepakatan bersama anak akan akibat apa yang akan mereka terima bila disiplin menjalankan peraturan atau melanggar peraturan. Hukuman yang diberikan ketika anak melanggar seharusnya berkaitan dengan tindakan yang dilanggarnya. Misalnya anak mengotori lantai, maka meminta anak untuk membersihkan adalah solusinya. Itulah yang dinamakan konsekuensi logis. Sebelum memberikan konsekuensi logis kepada anak, kita harus terlebih dahulu menjelaskan dengan tepat perilaku apa yang diharapkan untuk dilakukan anak serta alasan-alasan kenapa harus melakukannya. Kemudian baru menjelaskan konsekuensi yang harus siap diterima anak jika mereka melanggar. Dalam menentukan konsekuensi itu pun juga harus berdasarkan kesepakatan bersama anak.
Apabila anak menunjukkan perubahan perilaku yang lebih baik dan tetap konsisten menerapkan disiplin terhadap peraturan yang disepakati maka ada baiknya kita memberi penghargaan kepada mereka. Menurut Peterson, penghargaan yang baik untuk anak adalah penghargaan yang diberikan untuk merayakan prestasi yang telah dicapai dan menghargai keberhasilan anak. Tetapi tidak menjadikannya sebagai kebanggaan semu. Artinya kita harus tetap merawat hati anak agar tetap rendah hati dan terus memiliki semangat dalam memberikan upaya terbaik yang dia miliki.
Ketiga, di tujuh tahun ketiga dan selanjutnya inilah, saatnya kita memposisikan diri sebagai sahabat anak. Yang seharusnya lebih banyak mendengarkan dari pada memberi aturan ataupun perintah. Kita hargai setiap pendapat anak. Baru bila kita dapati ada sesuatu yang harus diluruskan, kita komunikasikan dengan hangat bersama mereka layaknya seorang sahabat. Menurut Dr Buisteln anak biasanya memberikan tanggapan yang lebih baik bila diberi senyum dan diajak berbicara dengan sikap yang hangat.
Kalau kita pikir lebih dalam, sebenarnya orangtua mana yang suka menghukum dan memarahi anak? Tentu setiap orang tua menginginkan kebaikan untuk buah hati mereka. Namun tanpa kita sadari harapan itu justru tertangkap oleh anak sebagai bentuk ancaman yang belum tentu mudah mereka maafkan. Bahkan bisa jadi ketika kita telah menua pengabaian adalah cara mereka untuk membalasnya.
Tak mudah memang meredam emosi di tengah lelahnya fisik dan hati. Tapi sesuatu yang indah memang sering kali didapat karena perjuangan yang tak mudah. Sebagaimana kutipan dari nasihat Lukman di atas maka diamlah dalam berfikir dan apabila kamu berbicara maka berbicaralah dengan hikmah. Semoga Allah memberi kemampuan, agar kita menjadi orang tua yang lebih baik. Wallahu’alam bi shawab.
Oleh: Santy Nur
Editor: Muhammad Nashir