Suaramuslim.net – Apakah yang terbayang di dalam benak kita, kalau mendengar terjebak pada posisi offside pada permainan sepak bola?
Bayangan kita adalah posisi kita sudah baik tetapi menyalahi aturan permainan yang ada, melebihi garis pertahanan yang dibuat oleh lawan, kalau tidak sedang menerima umpan bola, posisi itu tidak akan disemprit oleh wasit, tapi kalau sedang menerima umpan bola, pastilah akan diperingatkan oleh wasit dengan kibaran bendera dan peluitnya.
Narasi hidup itu selalu berbalut aturan laku, di dalam aturan laku tidak cukup dengan tata aturan yang hanya bersudut hitam putih, benar salah dan boleh tidak.
Diantara persoalan laku itu, ada yang disebut dengan etika. Itulah yang dipaparkan oleh Imam Malik ketika berpamitan kepada ibunya, “Aku akan pergi belajar”, lalu ibuku berkata, “Kemarilah anakku”, “Pakailah pakaian ilmu”, setelah itu ibuku memakaikan aku Mismarah (suatu jenis pakaian), kemudian meletakkan peci di atas kepalaku dan memakaikan sorban di atasnya, lalu beliau berkata, “Pergilah kamu belajar”, selain itu beliau juga berpesan, “Pergilah kepada Rabi’ah, pelajari adabnya sebelum engkau pelajari ilmunya”.
Etika atau saya menyebutnya adab adalah peluit pengingat agar kita tidak offside dalam menjalani laku. Bukankah tidak semua yang baik menurut kita, lalu bisa diterima dengan baik oleh orang lain.
Dibutuhkan sebuah nilai bersama agar apa yang baik menurut kita baik, juga baik menurut orang lain.
Nilai yang mempersamakan itulah yang disebut dengan adab. Apa yang Anda bayangkan bila niat baik kita memberi bantuan orang lain, tapi di saat kita memberi bantuan lalu kita menyempatkan menggunakan kata-kata yang mengusik perasaan penerima bantuan? Tentu penerima bantuan akan tersinggung, dan bisa jadi pemberian kita juga akan ditolak.
Nah dalam niat baik harus disertai dengan cara yang baik, pemberian kita harus dilakukan dengan cara yang santun tidak melanggar nilai-nilai kemanusiaan dan rasa yang kita anut.
Hari ini saya terpaksa “memperkosa” perasaan saya untuk belajar memahami dua panutan kita, Gubernur Jawa Barat, Kang Aher dan Gubernur Jawa Timur, Pak Dhe Karwo.
Beliau berdua adalah tokoh yang mumpuni kalau boleh dibilang mereka ini adalah pendekar dalam pemerintahan dan pengelolaannya.
Kalau dalam strata ahli pembuat keris, mereka ini sekelas empu. Artinya tidak ada yang patut diragukan, kalau beliau berdua sedang “bersabda”, pastilah diniatkan untuk sebuah kebaikan bagi rakyatnya.
Meski beliau berdua adalah ahlinya, bukankah beliau berdua adalah makhluk khalifah yang disebut manusia, sehingga masih kadang masuk dalam posisi offside yang berujung pada penolakan terhadap “kepentingan baik” yang beliau ingin terapkan. Manusia tempatnya salah dan dosa.
Niat baik beliau berdua hari ini, ibarat sebuah permainan. Beliau berdua sudah dalam posisi yang baik, tapi begitu mereka saling memberi umpan, mereka berada dalam posisi yang dilanggar, melampaui batas garis permainan. Mereka “offside”.
Kang Aher dan Pak Dhe Karwo kehilangan kendali logika sehatnya, sehingga logika liarnya menari-nari dan terlepas dari tali kendali yang dipegang pak kusir. Pak kusirpun berteriak-teriak menghentak, mencoba menenangkan dan mempermainkan tali kendalinya.
Kang Aher dan Pak Dhe Karwo, sejatinya apa yang panjenengan inginkan itulah yang setiap hari kami perjuangkan, hidup berdampingan, tanpa prasangka, berbaur, saling menyapa dan saling bertenggang rasa.
Sehingga dengan cara itu, hidup akan jadi damai dan terhindar dari keinginan bertikai.
Tapi tahukah kalian, bahwa apa yang sekarang ada di benak kami adalah kami sudah hidup rukun, kami tak punya dendam, kami bisa hidup berdampingan, sehingga sejatinya kami tak butuh pengakuan, kami hanya butuh ruang untuk menjalankan.
Kang Aher dan Pak Dhe Karwo, apa yang panjenengan kuatirkan, percayalah bahwa kami rakyat sejatinya sudah tak pernah mempersalahkan apa yang dipersoalkan oleh sejarah, kami ingin membangun sejarah kami sendiri tanpa harus ada syak wasangka dan campur tangan.
Pemberian nama-nama jalan yang sudah kami namakan, sesungguhnya akan membangun luka baru bagi sejarah yang sedang kami bangun ini.
Nah apa yang panjenengan lakukan sekarang ini memang sebuah langkah bagus dan baik, tapi bukankah itu berarti panjenengan sedang menaburkan tulisan lain yang tak ada kaitannya dengan sejarah yang sedang kami bangun.
Dan bagi kami itu artinya akan terjadi pengkaburan sejarah kami. Kami yakin, Kang Aher dan Pak Dhe Karwo, pasti memahami bahwa setiap nama pasti punya makna dan punya sejarah.
Kami sejatinya bersama anda Kang Aher dan Pak Dhe Karwo dalam membangun keadaban yang saling menghargai dan hidup berdampingan, tapi kali ini kami merasakan posisi Kang Aher dan Pak Dhe Karwo dalam posisi offside, meski panjenengan sekarang berada posisi yang baik dengan niat baik, tapi posisi panjenengan mendirikan gagasan baik itu berada pada tempat yang tidak semestinya.
Membuat nama jalan baru dengan mengubah jalan yang sudah ada, akan dimaknai oleh masyarakat sebagai tindakan offside melanggar kepatutan sejarah yang dirangkai oleh masyarakat.
Kami akan berlapang dada dan bersama panjenengan dalam membangun sejarah baru Indonesia, sejarah baru Sunda dan Jawa Barat serta sejarah Jawa Timur.
Sejarah baru yang dibuat dengan memberi nama jalan baru, atau kalau kami boleh sarankan, ubahlah nama-nama jalan dan komplek perumahan yang tak punya kaitan sejarah dengan kearifan lokal yang kita anut.
Kang Aher dan Pak Dhe Karwo, kami ingin mendengar suatu saat nama-nama seperti Grand Pakuwon berubah menjadi komplek perumahan Tandes Sejahtera, Riverside Hill berubah menjadi komplek perumahan Pinggir Kali, Ciputra World menjadi komplek perumahan Gunung Sari, begitu juga nama-nama jalan suatu saat kami ingin memdengar Anda berdua mengubah jalan-jalan yang tidak menunjukkan kearifan lokal daerah yang Anda pimpin, seperti nama-nama jalan yang sok kebarat-baratan dan “keminggris” menjadi nama jalan yang melambangkan kearifan lokal, disanalah kami bersama Anda.
Kang Aher dan Pak Dhe Karwo, maafkan kami rakyatmu yang terpaksa hari ini meniup peluit peringatan bahwa kalian sedang offside, kalian kami harapkan kembalilah pada posisi permainan yang benar sebelum rakyatmu mengkartu kuningkan atau bahkan mengkartu merahkan.
Kami adalah rakyat yang mencintai kalian, oleh karena itulah kami tidak ingin kalian salah. Kami tidak ingin kalian melanggar adab dan mempertuhankan logika.
Kang Aher dan Pak Dhe Karwo, hormat kami untuk Anda, karena kami yakin Anda berdua adalah orang tua yang baik bagi anak-anaknya, bagi rakyatnya, sehingga pastilah kalian akan mendengarkan…
Selamat pagi Kang dan Pak Dhe. (Ditulis di Surabaya, 9 Maret 2018)
* Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net