Suaramuslim.net – Dunia anak-anak itu penuh kebahagiaan. Apalagi untuk anak usia dini, bermain bebas adalah kebutuhan. Anak-anak pun menyukainya. Namun demikian, tetap saja sebagai seorang manusia, selalu ada celah kesedihan yang mewarnai hari-hari mereka.
Ketika seorang ibu izin meninggalkan anaknya yang masih 1 tahun ke kamar mandi, anak bisa bersedih. Dia tak rela ibunya mandi bahkan hanya sekedar buang air kecil. Atau ketika anak berebut mainan dengan anak tetangga, lantas mainannya rusak, dia pun bersedih. Terjatuh dan kesakitan juga merupakan kejadian yang mampu membuat anak merasa sedih. Bahkan peristiwa sesederhana seperti baju anak ketumpahan air minum pun bisa membuat anak melinangkan air mata.
“Gitu aja kok nangis, sih? Cengeng itu!”
“Wah, nggak pas kali anak laki sedih begitu. Anak laki harus kuat!”
“Udah ah, nangis trus. Kan jadi jelek wajahnya. Ntar si anu biar digigt anjing, ya!”
Ehm, beberapa orang tua masih ada yang memperlakukan anaknya ketika sedih melandanya adalah seperti 3 komentar tersebut. Anak sudah jujur dan sedih karena menjatuhkan piring milik tetangga ketika arisan, orang tuanya masih menimpali dengan kata-kata yang pedas menyalahkan.
Sungguh, bukan seperti itu. Bagaimana seharusnya orang tua menghadapi kesedihan anak?
Anak sedih itu tampak dalam ekspresi wajahnya. Tatap wajah anak lantas orang tua mengikuti menirukan ekspresi sedihnya. Anak akan merasa ada teman. Anak merasa bahwa kesedihannya juga dirasakan orang tuanya. Mimik wajah anak menghilangkan mainan temannya itu sudah sedih. Terlihat ketika anak berusaha jujur ketika orang tuanya bertanya. Lantas, pantaskah orang tuanya mengeluarkan mimik marah di hadapan anaknya? Bagaimana kesedihan anak ketika mendapat perlakuan seperti itu?
Pengakuan dan penguatan kesedihan anak dengan ekspresi wajah orang tua itu penting, apalagi bagi anak usia dini. Karena bahasa yang bisa mereka pahami, ya, dari ekspresi ini.
Tentu, selain ekspresi wajah, menamai perasaan sedih anak itu juga seharusnya dilakukan orang tua.
“Ibu, rantai sepedaku patah. Aku nggak bisa main sepeda lagi!”
“Oh, iya, Nak, kamu sedih ya. Rantai sepeda patah memang tidak menyenangkan, tapi kita bisa kok memperbaikinya.”
Akui sedihnya. Lantas namai. Proses menamai ini sangat ditunggu-tunggu oleh anak-anak ketika sedih. Bahwa dia benar-benar sedih.
Nah, ketika suasana sudah lumayan mereda, maka orang tua perlu melakukan satu hal lagi agar anak bisa bersikap pula ketika kesedihan dialaminya. Ini dimaksudkan agar anak memahami bahwa ada sesuatu yang lebih agung yang bisa menghilangkan kesedihannya. Menurut riwayat Tirmidzi, dari Abu Hurairah, Rasulullah ketika ditimpa kesusahan sering kali membaca “Subhanallahil adzim”. Pernah juga Rasulullah membaca,”Yaa Hayyu Yaa Qoyyum”. Ada juga bacaan lainnya, namun dua kalimat ini secara tidak langsung sesuai dengan karakteristik anak.
Anak sangat mudah menerima pesan dalam bentuk kalimat yang pendek, jelas, tidak bertele-tele. Mengajarkan anak bacaan tersebut akan mudah diikuti anak. Selain itu, fitrah keimanan anak juga secara tidak langsung terangkat dalam bacaan ini. Bahwa Maha Suci Allah yang bisa menghilangkan kesedihan. Hanya Allah pula yang mampu mengangkat rasa sedih yang bersemayam di dalam hati. Sungguh, bahwa dengan mengingat Allah, hati akan tenang kembali.
Yaa Hayyu Yaa Qoyyum. Dahsyat benar kalimat ini. Ketika anak mengucapkan kalimat ini, anak akan merasakan betapa Allah itu mampu melakukan apa yang tak mampu dilakukan makhluk-Nya. Yang Maha Hidup dan Berdiri Sendiri, tak butuh segala sesuatu. Apa maknanya? Bahwa tidak mungkin manusia meminta pertolongan atas kesedihannya kepada manusia yang sebenarnya lemah dan bisa bersedih juga. Maka, mengajarkan anak bacaan asmaul husna ini akan mematri dalam jiwa dan akalnya, bahwa Allah lah yang bisa menghilangkan kesedihannya.
Anak bersedih? Tunjukkan kepedulian Anda dan tuntun anak Anda membaca bacaan ini. Jika belum fasih berbicara, orang tua harus siap melantunkannya di hadapan anaknya.
Ambil nafas, hembuskan perlahan, dan ucapkan bacaan yang diajarkan Rasulullah tersebut. Niscaya akan hilang rasa sedih yang berkecamuk dalam dada.
Oleh: Henny Ika Puspitarini
Editor: Oki Aryono