Suaramuslim.net – Pemuda sering diistilahkan dengan kata “syaabun”. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari, disebutkan bahwa di antara tujuh kelompok yang akan mendapatkan naungan Allah subhanahu wa ta’ala pada hari ketika tak ada naungan, selain naungan-Nya, adalah syaabun nasya’a fii ‘ibaadatillaah (pemuda yang tumbuh berkembang dalam pengabdian kepada Allah ta’ala).
Berikut biografi singkat 5 tokoh muslim yang sudah seharusnya kita teladani sebagai seorang muslim.
Imam Syafi’i (150-204 H/767-820 M)
Imam Syafi’i rahimahullah hidup dalam kondisi melarat dan miskin sejak ia kecil. Tak hanya itu, ia juga yatim. Namun, akhirnya –berkat tangan dingin ibunya– Syafi’i menjadi murid yang menonjol di antara kawan-kawannya, bahkan ia mengajari teman-temannya ketika guru berhalangan hadir.
Sejak kecil beliau adalah tipe anak yang sangat antusias dalam menuntut ilmu. Kondisi sulit yang mendera, tidak membuatnya patah arang dalam menuntut ilmu. Sebagai contoh, suatu hari saat ia tak memiliki kertas untuk menulis pelajaran, ia rela menulis pelajaran dengan tulang-tulang kering yang dikumpulkan ibunya.
Tulang-tulang kering itu ia bawa ke sekolah ketika itu usianya masih tujuh tahun. Bahkan di usia yang sama sudah hafal Al Qur’an sejak usia tujuh tahun. Ia hafal kitab al-Muwattho` Imam Malik ketika berusia sepuluh tahun. Bahkan ketika dewasa kelak, ia menjadi Imam Besar yang kemudian melahirkan madzhab Syafi’i.
Dari Imam Syafi’i pemuda bisa belajar mengenai kegigihan dalam menuntut ilmu, serta tidak menyerah dengan setiap kesulitan yang menderanya. Bahkan kesulitan-kesulitan itu dijadikan sumbu yang memantik kesuksesan.
Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H/780-855 M)
Kepopulerannya menjadi salah satu imam besar empat madzab, setelah izin Allah, itu juga tidak lepas dari tangan dingin seorang ibu. Ia tidak terlahir dari orang yang berada, bahkan –sebagaimana Imam Syafi’i– ia tumbuh sebagai anak yatim. Tapi kondisi yang amat berat itu tidak lantas membuatnya menyerah.
Beliau sudah hafal Al Qur’an ketika berusia 10 tahun. Tak hanya itu, ketika berusia 10 tahun, mempunyai kebiasaan bangun sebelum shalat Fajar (Shubuh) untuk segera pergi ke masjid yang jauh dari rumahnya untuk mendengarkan pelajaran dari syaikh masjid agar bisa mendapat tempat duduk.
Kelak ketika dewasa Ahmad akan menjadi Imam besar dan berpengaruh. Ilmunya bukan saja dinikmati sendiri, ilmunya bermanfaat bagi orang yang banyak. Bahkan, yang bisa diteladani dari beliau oleh para pemuda muslim selain kegigihan dalam menuntut ilmu, beliau adalah sosok yang teguh pendirian. Keteguhannya dalam memegang pendiriannya, menyebabkan beliau mengalami penyiksaan dari penguasa, namun itu tidak mampu meruntuhkan keteguhannya.
Imam Bukhari (194-256 H/810-870 M)
Kehidupan Imam Bukhari juga tidak kalah menderita di kala kecil. Ia sejak kecil hidup dalam kondisi yatim. Ia hanya tinggal bersama ibunya. Penderitaan itu ditambah dengan musibah lain yang tak kalah beratnya, matanya buta ketika kecil. Namun, ibunya kemudian terus berdoa akan kesembuhan anaknya, dan akhirnya dikabulkan sehingga bisa melihat kembali.
Kisah Imam Bukhari begitu menarik. Belum sampai usia sepuluh tahun ia sudah hafal Al Qur’an, banyak hafal hadits, menguasai bahasa Arab dan lain sebagainya. Tak sampai di situ, ibunya mengirimnya ke berbagai tempat yang disinyalir sebagai tempat menimba ilmu.
Kelak ketika besar ia menjadi amirul mukminin fi al-hadits (pemimpin ulama hadits).
Bahkan kitabnya yang fenomenal, ‘jâmi`u al-shâhîh’ diakui oleh ulama hadits sebagai kitab tershahih setelah Al Qur’an. Bukhari lahir di daerah yang jauh dari tempat pertama kali Islam lahir, tapi peran dan kontribusinya begitu besar dan luar biasa dalam membela kemurnian sunnah.
Dari Bukhari pemuda Islam bisa belajar mengenai optimisme, antusias menuntut ilmu, dan pantang menyerah. Meski bukan dari Arab, ternyata kita juga berpeluang besar berkontribusi untuk Islam sesuai dengan potensi yang dimiliki.
Shalahuddin Al-Ayyubi (532-589 H/1138-1193 M)
Sosok ini bukan saja dikenal dalam dunia Islam, di Barat pun kisahnya begitu populer, terkhusus terkait Perang Salib. Shalahuddin Al-Ayyubi, dikenal sebagai pembebas Mesir dari cengkeraman Dinasti Syi’ah Fathimiyah dan Pembebas Al Quds dari dominasi orang Kristen. Masih banyak lagi sebenarnya kehebatan sosok legendaris ini.
Tapi, yang perlu diungkap dalam tulisan singkat ini adalah bahwa kegemilangan yang dicapainya bukanlah keberhasilan instan. Sejak muda, sosok Shalahuddin dikenal pemberani dan cerdas. Sebagai contoh, pada tahun 549 H (1154 M) bersama Asaduddin Syirkuh (Sang Paman) dan Nuruddin Mahmud Zanki mempu menunjukkan kepiawaiannya dengan memenangkan pertempuran merebut Damaskus (Dewi, 2009: 34). Saat itu, usianya baru enam belas tahun. Suatu usia yang masih kategori SMA kalau zaman sekarang, tapi prestasinya begitu cemerlang.
Tak hanya itu, yang menarik dari sosok Shalahuddin adalah selalu bersinergi dengan ulama. Inilah yang menjelaskan bahwa salah satu kunci kemenangan Shalahuddin –setelah izin Allah- adalah berkat tangan dingin ulama yang selalu disertakannya dalam tampuk kekuasaannya.
Dari Shalahuddin pemuda Islam bisa belajar mengenai keberanian, keluhuran budi, gelora perjuangan dan harmoni bersama ulama.
Muhammad Al-Fatih (1432-1481 M)
Muhammad Al-Fatih menjadi Khalifah saat berusia 16 tahun. Pada saat usia 21 tahun, beliau bisa menaklukkan Kontantinopel yang sejak delapan abad berusaha dibebaskan dari cengkeraman Romawi Timur, namun pada masa Al-Fatihlah jantung pertahanan Romawi Timur itu bisa ditaklukkan.
Al-Fatih termasuk pemuda hebat yang berpikir out of the box. Sebagai contoh, saat hendak menyerang Konstatinopel, beliau memiliki ide untuk menjalankan kapal dari daratan. Ide ini, meski melibatkan tenaga fisik yang banyak, tapi pada faktanya terhitung sangat efektif. Terbukti, serangan yang tidak pernah dipikirkan sebelumnya oleh musuh ini menuai hasil gemilang. Selain itu, Al-Fatih adalah figur pejuang yang dekat dengan ulama dan rajin beribadah.
Dari Al-Fatih, pemuda muslim bisa belajar tentang maksimalisasi potensi masa muda, kepemimpinan, etos ibadah dan ide-ide cemerlang. Itulah di antara lima tokoh prestisius yang perlu diteladani.
Sebagai penutup, penulis akan mengangkat kisah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Suatu saat, sahabat agung berjuluk Al-Faruq ini menyodorkan pertanyaan kepada para sahabat, “Apa angan-angan kalian?” Di antara mereka ada yang berangan emas sepenuh rumah yang akan diinfakkan di jalan Allah. Sedangkan yang lain berangan-angan seisi rumah berisi mutiara, intan permata yang bisa aku infakkan dan sedekahkan di jalan Allah. Beliau terus bertanya sampai akhirnya mereka pun bingung dan bertanya, “Kami tidak tahu apa yang engkau maksudkan, wahai Amirul Mukminîn’.
Akhirnya beliau menjawab, “Aku mengangan-angankan laki-laki seperti Abû ‘Ubaidah bin al-Jarrâh, Mu’âdz bin Jabal, dan Sâlim pembantu Hudzaifah yang siap dimintai pertolongan untuk menegakkan kalimat Allah.” (Al-Kandahlawi, 1999: II/500)
Benar angan-angan Umar, umat Islam saat ini butuh pemuda-pemuda tangguh dan hebat yang siap berjuang demi Islam. Dalam lembaran sejarah umat Islam, teladan-teladan pemuda hebat begitu melimpah, tinggal kita sendiri mau atau tidak meneladani mereka.
Oleh: Mahmud Budi Setiawan, Lc
Editor: Oki Aryono
*Tim Konten AQL Ustadz Bahtiar Nasir dan alumnus Universitas Al Azhar Mesir