Suaramuslim.net – Lahirnya banyak politisi Islam di bumi pertiwi di satu sisi perlu disyukuri. Namun, apakah kuantitas itu beriring dengan kualitas keilmuan memadai? Misalnya, mengenai syarat mengamalkan politik Islam. Sudahkah wawasan tentang masalah ini sudah dimiliki oleh para politisi Islam sehingga tidak keluar dari jalur syariat?
Syekh Abdul ‘Āl Ahmad dalam buku “al-Madkhal ilā al-Siyāsah al-Syar’iyyah” (1993: 71-100) menjelaskan 3 syarat agar politik Islam bisa diamalkan.
1. Jika sesuai dengan (hukum) syariat Islam
Maksudnya, adalah tak bertentangan dengan prinsip-prinsip atau dasar-dasar umum syariat Islam. Seperti: Saddu Dzaraa`i (mencegah suatu perbuatan agar tak menimbulkan kerusakan), Urf (Adat), Musyawarah, adil, menolak mudharat dan lain sebagainya.
2. Hukumnya tidak menyalahi dalil-dalil syariat
Hukum yang ditegakkan tidak menyalahi dalil-dalil syariat secara rinci (Al Quran, Hadits, Ijma dan Qiyas) yang menetapkan syariat secara umum dan tetap untuk manusia di setiap kondisi, zaman, tempat dan masyarakat.
Syarat ini terpenuhi dengan dua syarat:
(1) Tidak terdapat dalil secara rinci, khusus (baik dari Al Quran, Sunnah, Ijma dan Qiyas) mengenai peristiwa yang menyangkut masalah hukum. Dengan demikian, maka hukum yang diistinbath dianggap (terhitung) sebagai politik Islam.
Sebagai contoh:
Abu Bakar mengumpulkan Al Quran pada satu mushaf, Umar membangun dewan dan administrasi negara, Utsman menyuruh mengumandangkan azan pertama di hari Jumat di tempat tinggi dan Imam Ali yang membedakan saksi yang melihat secara langsung dengan yang sekadar mendengar adalah contoh yang masuk bagian politik Islam (as-Siyâsah asy-Syar’iyyah).
(2) Ada dalil secara rinci dan khusus dalam nash mengenai peristiwa yang menyalahi hukum secara zahir (lahiriah) bukan hakikat (subtansial). Artinya, dalil yang tidak dimaksudkan untuk berlangsung selamanya, namun terikat pada kondisi tertentu.
Sebagai contoh:
Apa yang dilakukan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pada masa kekhilafaannya yang tak memberi zakat kepada orang-orang mualaf, tidak bisa disebut melanggar syariat. Karena Umar memahami, ayat mengenai orang mualaf yang mendapat zakat bukanlah syariat umum yang harus dilakukan pada setiap waktu dan tempat. Waktu itu, alasan ini ditetapkan pada awalnya karena umat Islam masih lemah dan membutuhkan sokongan mereka.
Contoh lainnya:
Pada masa Utsman, unta yang hilang dan ditemukan orang tak dibiarkan begitu saja sebagaimana masa-masa sebelumnya –sebagaimana anjuran nabi—tapi dipungut dan diumumkan di publik. Jika yang punya mengetahuinya maka segera dikembalikan. Namun jika tidak, maka dijual dan uangnya disimpan di Baitul Mal hingga datang pemiliknya. Maka apa yang dilakukan Utsman bukan berarti menyalahi nash hadits nabi, tapi beliau melihat bahwa illah (sebab) yang disampaikan oleh nabi itu tidak berlaku secara umum. Kondisi di waktu Utsman sudah berubah. Jika dua syarat itu tak terpenuhi, maka syarat kedua tidak berlaku dan bukan termasuk politik Islam.
3. Harus dalam koridor atau batasan yang adil
Tidak terlalu kurang dan tidak berlebihan, tetapi pertengahan (proporsional). Ini adalah bagian dari ajaran Islam secara umum. Islam adalah agama wasath (pertengahan). Keberadaanya selalu berada di tengah-tengah di antara orang yang pahamnya terlalu kiri atau lebih ke kanan. Prinsip keseimbangan menjadi bagian penting dari nilai yang tekandung di dalamnya. Demikian pula dalam ranah politik.
Jadi, politik Islam bisa diamalkan ketika: sesuai dengan hukum Islam, tidak menyalahi dalil-dalil syariat dan harus dalam koridor atau batasan yang adil. Wallāhu a’lam.