Suaramuslim.net – Alkisah suatu ketika Nabi Musa berjalan menuju Bukit Sinai tempat ia menerima perintah-perintah Tuhan. Dalam perjalanan ia bertemu dengan seorang ahli ibadah (abid) yang sedang menjauh dari keramaian atau uzlah. Sang abid yang tahu bahwa Nabi Musa akan menghadap Allah memohon supaya ditanyakan di surga tingkat berapakah nanti akan ditempatkan di akhirat. Nabi Musa bertanya bagaimana sang abid itu begitu yakin akan masuk surga. Abid menjawab ia sudah 40 tahun mengasingkan diri dari hiruk pikuk dunia, ia tidak pernah berbuat dosa hanya berzikir dan beribadah kepada Allah.
Nabi Musa melapor kepada Allah bahwa di tengah perjalanan dia bertemu abid yang mohon jawaban di surga tingkat berapakah ia akan ditempatkan. Jawab Allah: “Sampaikan kepadanya bahwa tempatnya di neraka.”
Nabi Musa pulang dan menemui sang abid yang dengan semangat dan penuh optimisme lalu bertanya di lantai berapa tempatnya di surga. Nabi Musa lama berdiam diri karena sulit menjawab. Lalu Nabi Musa menjawab bahwa abid itu harus sabar karena akan ditempatkan di neraka.
Sang abid tak percaya dirinya yang sudah beribadah selama 40 tahun harus masuk neraka. Ia lalu berkata mungkin Nabi Musa salah dengar dan mengusulkan Nabi Musa menghadap Allah lagi dan memastikan di surga tingkat berapa ia akan di tempatkan. Nabi Musa yang berpikir mungkin dirinya salah dengar, menghadap Allah lagi.
Nabi Musa matur bahwa ia ingin kejelasan apa benar sang abid akan dimasukkan ke neraka? Allah menjawab: “Katakan bahwa tempatnya nanti di surga.” Tadinya Aku mau menempatkannya di neraka karena Aku menciptakan manusia bukan untuk bersikap egois termasuk karena alasan spiritual. Aku menciptakan manusia untuk membantu manusia lain. Abid itu bukan mendekatkan dirinya kepada-Ku tetapi melarikan diri dari kehidupan yang nyata.
“Ya Allah secepat itukah keputusanmu berubah?” Tanya Nabi Musa. Jawab Allah: “Pada saat engkau menuju ke sini lagi abid itu tersungkur dan menangis tersedu-sedu. Ia memohon kepada-Ku kalau ia ditempatkan di neraka supaya tubuhnya dijadikan sebesar neraka, supaya tidak ada orang lain yang masuk ke dalam neraka kecuali dirinya. Ketika memohon seperti itu, ia tidak egois lagi, tetapi telah mementingkan orang lain.
Ibadah Sosial
Pesan dari kisah di atas ialah bahwa ibadah ritual dan ibadah sosial tidak dapat dipisahkan, keduanya harus dijalankan. Kita tak boleh hanya menjalankan salah satunya. Banyak kita lihat orang yang rajin dan tekun menjalankan ibadah ritual tapi melalaikan ibadah sosial. Sebaliknya ada orang yang melalaikan ibadah ritual seperti salat, puasa, zakat, haji tetapi aktif dalam ibadah sosial seperti membantu kaum lemah atau ibadah sosial lain.
Ibadah ritual yang bersifat hubungan pribadi antara manusia dan Allah adalah ibadah yang pahalanya untuk diri sendiri. Sementara ibadah sosial itu sifatnya memang hubungan antar manusia tetapi juga mengandung hubungan dengan Allah.
Menarik untuk diperhatikan Islam mengatur ibadah ritual bisa diganti dengan amal sosial, sebagai contoh bahwa orang yang tidak kuat untuk berpuasa karena alasan yang benar bisa mengganti puasa itu dengan membayar fidyah. Tetapi orang yang tidak membayar zakat tidak bisa menggantinya dengan salat atau puasa.
Puasa Ramadhan sebagai ibadah ritual diharapkan memberi dampak berupa ibadah sosial bagi yang berpuasa. Dalam berpuasa kita merasakan lapar yang bersifat sementara karena setelah tiba waktu Magrib kita bisa makan dan minum. Dengan merasakan lapar bersifat sementara itu, diharapkan kita bisa merasakan beratnya rasa lapar permanen yang dirasakan orang yang tidak punya cukup uang untuk membeli makanan. Dampak yang diharapkan ialah kita mau membantu orang yang kekurangan. Namun tidak semua orang berpuasa Ramadan bisa memperoleh dampak positif itu.
Dalam surah al-Ma’un ditentukan orang yang mendustakan agama ialah orang yang mengusir anak yatim dan tidak menganjurkan (tentu juga tidak melakukan) memberi makan orang miskin. Dan juga ditentukan bahwa celakalah orang yang salat tapi melalaikan salatnya, yaitu orang yang riya (ingin dipuji) dan enggan bersedekah. Saat ini seyogyanya kita menggarisbawahi dampak positif puasa yang berbentuk kepedulian terhadap orang yang sulit memperoleh makanan.
Kondisi terkini berdasarkan data yang ada di Indonesia masih banyak rakyat bergizi buruk atau kekurangan gizi, belasan persen dari jumlah penduduk. Tampaknya banyak umat Islam yang mampu secara ekonomi belum membantu kaum kafir sebagaimana mestinya. Mungkin juga tidak banyak yang bertanya kepada dirinya sendiri apakah dia termasuk orang yang bisa disebut sebagai pendusta agama karena tidak memberi makan orang kekurangan gizi yang tinggal tidak jauh dari rumahnya.
Saya ingin mengemukakan dua fakta sebagai gambaran kondisi kita. Menurut penelitian Bank Pembangunan Islam atau (IDB) potensi zakat infak sedekah (ZIS) di Indonesia di atas 200 triliun rupiah pada 2016 dan ZIS yang terkumpul melalui lembaga amil zakat (LAZ) badan amil zakat (BAZ) berjumlah sekitar 5 triliun rupiah. Mungkin yang menyalurkan tidak melalui LAZ juga sebesar 5 triliun. Keseluruhannya sekitar 10 triliun. Dibandingkan dengan 200 triliun jumlah itu hanya mencapai 5%.
Jumlah yang pergi umrah setiap tahun mencapai 1 juta orang. Kalau 1 orang membayar 2000 dolar AS, dana untuk pergi umrah per tahun mencapai 2 miliar dolar atau sekitar 27 triliun. Ibadah umrah yang menurut saya prioritasnya ada di bawah ZIS ternyata mampu menarik dana dari rekening muslimin Indonesia hampir 3 kali lipat jumlah dana ZIS per tahun. Sekali lagi ibadah ritual lebih menarik, lebih nikmat, dan dianggap lebih utama dibandingkan dengan ibadah sosial.
Saya menduga banyak umat Islam yang belum atau tidak sepenuhnya menyadari arti penting dari apa yang saya kemukakan di atas. Kalau mereka sering diingatkan Insya Allah mereka akan tergerak untuk membantu saudara seagama atau saudara sebangsa yang mengalami kekurangan gizi dan kekurangan lain. Mungkin diperlukan suatu sistem yang membantu memudahkan muslimin untuk bisa membantu orang yang kekurangan gizi di sekitar lingkungan di mana dia tinggal.
Disarikan dari buku Memadukan Keislaman dan Keindonesiaan; Esai-esai Kebangsaan karya KH. Salahuddin Wahid, penerbit Pustaka Tebuireng: 2017.