Suaramuslim.net – Sepekan ini ramai isu buzzer. Yang disoal adalah anggaran. Dana APBN dipakai untuk membiayai operasi buzzer. Sejumlah institusi terlibat.
Infonya 90,45 miliar. Sangat kecil jika diukur dari prosentase APBN. Tapi, cukup besar jika melihat keadaan pertumbuhan ekonomi minus 5,32 persen.
Di saat rakyat sedang sulit karena efek pandemi covid-19 dan defisit APBN mencapai 3,38 persen, buzzer mendapatkan suntikan dana 90,45 M.
Sebenarnya bukan soal besar atau kecil dana itu. Ada persoalan yang lebih mendasar.
Pertama, apa manfaat buzzer buat bangsa ini? Kedua, ini lebih serius, ada dampak yang cukup mengkhawatirkan akibat operasi buzzer.
Menjawab pertanyaan pertama, kalau ada manfaat dari operasi buzzer, itu manfaat buat siapa? Yang pasti bukan untuk negara. Bukan pula untuk bangsa. Sesuai dengan desain operasinya, buzzer dipakai untuk menghadapi lawan politik penguasa dan orang/kelompok yang kritik penguasa.
Buzzer bekerja untuk kepentingan penguasa, lebih dari kepentingan untuk negara. Karenanya, tak memiliki institusi dan kelembagaan khusus. Maka, anggarannya pun nempel ke program-program kementerian dan institusi lainnya.
Fokus buzzer adalah menangkis segala bentuk kritik terhadap program dan kebijakan pemerintah.
Stigmatisasi makar, bahaya khilafah, Islam garis keras, ekstremisme dan radikalisme adalah bagian narasi yang terus dikelola oleh para buzzer untuk membunuh karakter dan gerakan kelompok yang diidentifikasi sangat kritis kepada pemerintah.
Swiping, intimidasi dan persekusi oleh kelompok swasta berseragam juga seringkali menjadi bagian dari operasi buzzer. Tentu, ada anggarannya sendiri. Gak ada anggaran, gak akan jalan.
Operasi buzzer diduga menjadi salah satu sebab utama kegaduhan sosial dan politik selama ini. Sejumlah aktor yang selalu muncul ketika datang kritik kepada pemerintah adalah bagian dari salah satu model operasi buzzer yang selalu membuat kegaduhan situasi politik di negeri ini. Lu lagi.. Lu lagi… Orang-orang itu aja.
Kalau dilihat aktornya, macam-macam jenis buzzer. Dari yang ecek-ecek, buzzer kelas kampung yang hanya cukup diprovokasi, hingga yang paling canggih dan profesional. Kalau sudah berurusan dengan IT, maka buzzer yang diterjunkan dan beroperasi adalah dari kalangan profesional.
Sebagaimana yang dialami oleh sejumlah deklarator KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) beberapa waktu lalu. Ada sejumlah akun deklarator diretas, rapat webinar diganggu, nomor WA dikloning, dst.
Anggaran 90,45 M sesungguhnya terlalu kecil jika dibandingkan dengan dampak dan potensi social-destruction yang diakibatkan oleh operasi buzzer. Yaitu potensi konflik sosial-horizontal. Hubungan antar kelompok dan agama dirusak. Kehidupan sosial dan berbangsa menjadi tak nyaman.
Kegaduhan selama ini sumbernya bukan ada tidaknya kaum radikal dan makar, tapi problem utamanya adalah adanya kelompok-kelompok bayaran yang bekerja secara sistemik menggaungkan isu radikalisme dan makar. Dari sinilah potensi konflik sangat menghawatirkan.
The Park Sawangan Depok
23 Agustus 2020
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa