Suaramuslim.net – Sudah diketahui dengan pasti bahwa bunga bank hukumnya haram dalam Islam. Namun, bagaimana jika bunga bank dimanfaatkan untuk membayarkan zakat, infaq maupun sedekah?
Para ulama sepakat bahwa harta riba tidak halal bagi seorang muslim untuk memilikinya dan dimanfaatkan sendiri. Dalam surat Ali Imran Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imraan: 130).
Meski telah diharamkan, namun ada beberapa pendapat yang berbeda terkait penyaluran harta riba tersebut. Pendapat pertama menyatakan bahwa harta riba tersebut boleh disalurkan untuk yang berhak menerima menurut syar’i. Demikian pendapat jumhur ulama dari Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambali.
Pendapat kedua menyatakan bahwa dana tersebut dijaga dan tidak boleh dimanfaatkan. Pendapat ini dinisbatkan pada Imam Syafi’i. Pendapat jumhur ulama lebih kuat. Karena harta riba bisa ada tiga kemungkinan, ditahan (dijaga), dimusnahkan atau diinfakkan. Kalau harta riba tersebut dimusnahkan, maka itu sama saja membuang-buang harta. Kalau hanya disimpan atau dijaga saja, itu juga sama saja menyia-nyiakan harta tersebut, tanpa ada guna.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda mengenai luqothoh (barang temuan), “Barangsiapa yang menemukan luqothoh maka saksikanlah pada orang yang baik, jangan sembunyikan dan menghilangkannya. Jika ditemukan siapa pemiliknya, maka kembalikanlah padanya. Jika tidak, maka itu adalah harta Allah yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki.” (HR. Abu Daud no. 1709, shahih kata Syaikh Al Albani).
Ke Manakah Harta Riba Disalurkan?
Ada empat pendapat ulama dalam masalah ini. Pendapat pertama, disalurkan untuk kepentingan kaum muslimin secara umum, tidak khusus pada orang dan tempat tertentu. Demikian pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Pendapat kedua, disalurkan sebagai sedekah sunnah secara umum, mencakup hal yang terdapat maslahat, pemberian pada fakir miskin atau untuk pembangunan masjid. Ini adalah pendapat Hanafiyah, Malikiyah, pendapat Imam Ahmad, Hambali, dan pendapat Imam Ghozali dari ulama Syafi’iyah.
Pendapat ketiga, disalurkan pada maslahat kaum muslimin dan fakir miskin selain untuk masjid. Demikian pendapat ulama Lajnah Ad Daimah Kerajaan Saudi Arabia. Tidak boleh harta tersebut disalurkan untuk pembangunan masjid karena haruslah harta tersebut berasal dari harta yang thohir (suci).
Pendapat keempat, disalurkan untuk tujuan fii sabilillah, yaitu untuk jihad di jalan Allah. Demikian pendapat terakhir dari Ibnu Taimiyah.
Ringkasnya, pendapat pertama dan kedua memiliki maksud yang sama yaitu untuk kemaslahatan kaum muslimin seperti diberikan pada fakir miskin. Lebih-lebih lagi karena sebab kemiskinan adalah karena terlilit hutang riba, maka harta tersebut sebenarnya pantas untuk mereka.
Adapun pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bukan menunjukkan pembatasan pada jihad saja, namun menunjukkan afdholiyah. Sedangkan pendapat keempat dari Al Lajnah Ad Daimah muncul karena kewaro’an (kehati-hatian) dalam masalah shalat di tanah rampasan (al ardhul maghsubah), di mana masalah kesahan shalat di tempat tersebut masih diperselisihkan. Jadinya hal ini merembet, harta riba tidak boleh disalurkan untuk pembangunan masjid.
Dalam rangka hati-hati, harta riba disalurkan untuk kemaslahatan secara umum, pada orang yang butuh, fakir miskin dan tidak boleh dimanfaatkan oleh pemilik harta riba tadi secara personal.
Kontributor: Mufatihatul Islam
Editor: Muhammad Nashir