Bisnis Islami Berkemajuan

Bisnis Islami Berkemajuan

Bisnis Islami Berkemajuan

Suaramuslim.net – Bisnis merupakan instrumen penting dari ekonomi. Umat membutuhkan ekonomi yang kuat. Tidak bisa diperoleh kecuali dengan bisnis. Prioritas muslim terhadap bisnis islami perlu didorong, namun tetap tidak lepas dari koridor Islam.

Allah subhanahu wa ta’ala telah memberikan arah dan motif kepada hamba-Nya untuk berbisnis. Yakni dengan adanya etika dan aturan yang adil. Tidak “membunuh” satu pihak dan “menghidupi” pihak yang lain. Sama-sama untung jika untung dan rugi jika rugi. Muslim mempunyai kiblat dalam berbisnis. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam berbisnis dengan berdagang yang dilakukan sejak kecil bersama pamannya, Abu Thalib. Dari Makkah menuju Syam, hingga bertemu dengan wanita sekaligus saudagar bernama Khadijah.

Setiap Rasulullah berdagang dengan barang dagangan dari Khadijah, Rasulullah pulang dengan keuntungan. Dan tidak ada hasil penjualan yang berkurang. Sehingga dipercayakan seluruh barang dagangnya dibawa oleh pemuda al amin tersebut.

Dari teladan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam di atas ada beberapa nilai: kejujuran, kesungguhan, dan apa adanya. Tiga hal itu yang menjadikan bisnis lebih beradab. Tidak ada usaha sekadar mencari untung tanpa nilai.

Nilai pertama, kejujuran. Nilai esensial ini tidak bisa dihilangkan dari bisnis. Kejujuran menjadi tonggak awal sebuah kepercayaan tetap berlangsung. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mewanti-wanti, harus menjelaskan kepada pembeli bila ada aib pada barang dagangnya.

‘Uqbah bin Amir radiallahu ‘anhu meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bahwa beliau bersabda, ”Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya dan tidak halal bagi seorang muslim untuk menjual sesuatu yang ada aibnya kepada orang lain kecuali ia menjelaskan aib tersebut kepadanya.”(HR. Ibnu Majah).

Pembeli lebih menghargai kejujuran dari penjual. Meski kadang mereka tidak jadi membeli setelah tahu aib dari barang. Namun kesan jujur itu yang membuat pembeli kembali lagi.

Pada riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,”Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu jualan yang mempunyai aib kecuali ia menjelaskan aibnya.” (HR. Al Quzwani)

Teranggap penipuan jika aib yang ada suatu barang tidak dijelaskan kepada pembeli. Rasulullah mengingatkan kepada umatnya,”Barangsiapa berbuat curang (menipu) kami, maka ia bukan dari golongan kami.” Sebuah ancaman tegas “bukan golongan kami” bentuk pengusiran dari golongan nabi. Diasingkan dan tidak teranggap merupakan siksaan di atas siksaan itu sendiri. Keadaan seperti ini menjadi siksa perasaan. Jauh lebih menyengsarakan dari siksaan tubuh kemudian mati.

Ibnu Taimiyyah secara tegas menyatakan betapa aib dalam barang dagangan harus diutarakan. Hal ini termaktub dalam Al Ikhtiyaaraat, “Haram hukumnya menyembunyikan aib pada barang dagangan. Demikian pula jika ia memberitahu aib yang ada pada barang, namun tidak menyebutkan kadar aib yang ada padanya.”

Nilai kedua, kesungguhan. Niat setengah-setengah dalam bisnis membuat bisnis tidak maksimal. Potensi gagal menjadi lebih besar. Yang berujung kebangkrutan. Meski Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam membawa barang dagangan orang lain, beliau serius menjual dengan segala keahlian dalam berdagang. Tidak ada rasa malas. Terbukti pada keuntungan yang selalu didaptkan setiap pulang.

Bentuk kesungguhan yang lain berupa kesungguhan dalam menjaga amanah orang yang sudah percaya. Kepercayaan ini merupakan harga mahal. Tidak bisa dibangun selain dengan kejujuran juga dengan kesungguhan untuk tetap komitmen. Dan ini membutuhkan keseriusan.

Bisnis tidak sekadar untung dan rugi semata. Ada nilai-nilai akhlak yang disertakan. Juga menjaga ukhuwah dengan sesama pejual dan pembeli. Jika sudah demikian, ta’awun tercipta dengan sendiri.

Nilai ketiga, apa adanya dengan tidak melakukan sumpah (palsu). Ini menjadi peringatan khusus dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengenai jual beli dengan sumpah. Selain tidak mendatangkan keberkahan, sumpah juga mendatangkan penyesalan orang lain. Ujung-ujungnya merasa tertipu atau terhipnotis. Allah mengingat dari perbuatan tersebut dengan sebuah ancaman.

“Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berbicara pada mereka dan tidak (pula) akan melihat kepada mereka pada hari Kiamat dan tidak (pula) akan menyucikan mereka. Bagi mereka Adzab yang pedih” (QS. Ali-Imran: 77). Ancaman yang diterima dengan dibiarkan oleh Allah saat di akhirat. Betapa merana orang tersebut.

Rasulullah saw mengingatkan ummatnya agar menjauhi sumpah dalam jual beli. Menunjukkan betapa rendah nilai Allah jika harus dikaitkan dengan jual beli.“Dengan melakukan sumpah palsu, barang-barang memang terjual tetapi hasilnya tidak berkah.” Tujuan dari jual beli sebuah keberkahan.

Berkemajuan

Nilai-nilai keislaman sudah meliputi. Maka selanjutnya nilai tersebut jangan terlihat kaku. Perlu perlakuan khusus. Mengingat aturan agama jika tidak seimbang dalam memahami akan terkesan kaku.

Sikap berkemajuan perlu dikembangkan. Tidak hanya mengakomodir aturan agama yang ketat tapi juga perubahan jaman juga perlu diakomodir.

Pertanyaan sekarang, apa itu berkemajuan? Berkemajuan merupakan sikap yang mampu mengakomodir perubahan zaman namun tetap berlandas pada sebuah nilai. Modernitas tetap relijius.

Bisnis yang dimau untuk ummat. Mengarah kepada kesejahteraan bersama. Fokus  untung. Beretika. Bersahaja. Peduli sesama.

Kontributor: Muslih Marju *
Editor: Oki Aryono

*) Guru SD Inovatif Aisyiyah Kedungwaru.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment