Suaramuslim.net – Periwayatan hadis dikenal sebagai periwayatan berita yang paling ketat. Hal itu diatur langsung oleh Nabi dalam sabdanya yang sangat populer,
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
“Siapa yang berbohong atas namaku, silakan menempati kursinya di neraka!”
Dalam sabdanya yang lain, Nabi juga memberikan anjuran agar sebisa mungkin tidak meriwayatkan sabdanya kecuali secara tekstual, literal, apa adanya, sesuai dengan yang pernah ia dengar.
نضر الله امرءا سمع مقالتي فوعاها ثم أداها كما سمع
“Allah akan menjamin kesejahteraan seseorang yang mendengar ucapanku, lalu menjaganya, dan menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya.”
Dalam hadis tersebut dapat dipahami bahwa kode etik periwayatan hadis adalah menyampaikan secara apa adanya, tidak menambah maupun mengurangi riwayat, meskipun hanya sedikit. Itulah yang kemudian menjadi perhatian besar para ulama hadis, khususnya ulama yang memiliki perhatian lebih terhadap ilmu riwayat hadis.
Namun, pada praktiknya, tidak banyak orang yang mampu meriwayatkan hadis dengan sangat baik secara utuh seratus persen tidak ada perubahan sama sekali. Kebanyakan riwayat memiliki perbedaan, antar satu sama lain, meskipun hanya satu kata saja. Para ulama hadis hanya memberikan sedikit toleransi kepada periwayat yang menyampaikan hadis berbeda dari aslinya, meskipun hanya sedikit. Baik itu dalam bentuk penambahan (ziyadah) satu atau dua kata untuk memperjelas maksud hadis, atau dalam bentuk ringkasan (ikhtisar).
Sebagian ulama hadis ada yang melarang secara mutlak periwayatan hadis secara ringkas. Pendapat seperti ini didasarkan kepada prinsip preventif, menghindari terjadi perubahan atau panggantian makna dari yang semestinya.
Sebagian ulama yang lain memberikan toleransi periwayatan hadis secara ringkas untuk para periwayat yang memiliki kompetensi tinggi. Para periwayat yang mendapatkan keringanan itu biasanya telah teruji dengan baik. Mereka terlebih dahulu harus terbukti mampu meriwayatkan banyak beberapa hadis secara utuh, baru kemudian dapat dispensasi meriwayatkannya secara ringkas. Ini dilakukan untuk menjamin bahwa ia meriwayatkan secara ringkas itu bukan karena keragu-raguan, kelupaan, atau kekeliruan.
Meski demikian, ada pula ulama hadis yang membolehkan periwayatan hadis secara ringkas, tanpa syarat, dan bukan sebagai dispensasi. Mayoritas ulama hadis modern kemudian mencari jalan tengah dari perbedaan pendapat tersebut. Mereka tidak memutlakkan larangan ataupun kebolehan periwayatan hadis secara ringkas. Mereka menilai bahwa hukum periwayatan hadis secara ringkas adalah tergantung kondisi dan situasi, alias tafshil.
Bagi periwayat yang tidak memiliki kompetensi dalam periwayatan, baik itu kompetensi menerima hadis, kompetensi menjaga hadis, dan kompetensi menyampaikan hadis, maka dilarang keras meriwayatkan hadis secara ringkas. Ini demi menjaga orisinalitas hadis, agar tidak berubah substansinya.
Sedangkan, Bagi periwayat hadis yang memiliki kompetensi sangat bagus dalam periwayatan hadis, boleh meriwayatkan hadis secara ringkas. Ia harus menguasai redaksi dan makna hadis dengan baik. Tentunya, ia harus memiliki integritas tinggi sebagai periwayat. Dengan demikian, saat meriwayatkan hadis secara ringkas ia dapat memastikan tidak ada pesan moral, esensi atau substansi (khithab tasyri’) yang terlewatkan.
Hal terpenting ketika seorang periwayat tidak menyampaikan hadis secara literal, melainkan hanya secara maknawi, adalah disertai dengan pengakuan. Biasanya, seorang periwayat akan mengatakan, aw kama qala an-Nabi (atau seperti itulah Nabi bersabda), atau wal-lafzhu li Fulan (redaksi yang disebut di sini adalah versi si Polan). Ini menunjukkan adanya perbedaan redaksi dalam riwayat, namun maknanya tetap sama.
Begitulah cara para periwayat hadis menjaga dan melestarikan sabda dan tradisi kenabian. Ia tidak hanya menjaga pesan dan substansinya (khithab) saja, melainkan juga berusaha semaksimal mungkin menjaga redaksinya. Dengan demikian, terjagalah orisinalitas hukum, adab, etika, dan tradisi kenabian itu hingga kini. Wallahu a’lam.
Sumber: Wikihadis.id