Suaramuslim.net – Suatu saat saya jumpai seorang yang dari penampilannya cukup meyakinkan, menggunakan mobil dengan taksiran yang cukup mahal, berdasi dan tiba-tiba membuka kaca pintu mobilnya dan membuang tisu habis pakai ke jalan.
Di lain waktu saya jumpai pula, pelajar putri dengan dandanan yang menunjukkan seragam sekolah tertentu, berboncengan tiga di jalanan, yang lagi ramai juga dibincangkan di beberapa media sosial, foto sekelompok orang sedang melaksanakan ibadah di Tanah Haram, Makkah Al Mukarromah, sambil menjalankan tawaf mereka mendendang lagu-lagu bahkan ada yang menampilkan sambil melantunkan puji-pujian kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Adakah yang salah dari mereka? Tentu jawabannya tidak ada yang salah dari apa yang dilakukan oleh mereka, sebab mereka tidak merugikan orang lain. Mereka melakukan itu karena memang banyak alasan rasional yang bisa dikemukakan. Mereka yang membuang tisu di jalan melalui pintu kaca mobil bisa beralasan bahwa tidak ada larangan membuang tisu di jalan, toh nanti kan ada tukang pembersih jalan. Saya kan sudah bayar pajak yang salah satunya dipergunakan untuk membiayai kebersihan jalan. Pelajar yang berboncengan tiga di jalan, juga bisa beralasan bahwa mereka melakukan itu karena menolong temannya agar tidak berjalan kaki, karena sudah keburu terlambat. Sedang mereka yang bertawaf sambil berdoa dan melantunkan lagu-lagu kecintaan terhadap bangsa dan negaranya dan pujian sambil berdendang merupakan bentuk kecintaannya terhadap negara.
Hidup memang memerlukan standar, sehingga dengan standar itu ukuran benar dan salah bisa diterapkan. Tapi sejatinya sebagai manusia yang beragama dan berbudaya, di atas standar kebenaran hukum ada yang disebut kebenaran etika, tingkah laku beradab. Tingkah laku beradab dilakukan bukan hanya persoalan benar dan salah, tapi apakah sesuatu itu boleh dilakukan jika tidak berdasarkan pertimbangan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang berlandaskan Ketuhanan. Sehingga ukuran kebenaran itu tidak hanya berdasarkan logika tetapi juga berdasarkan rasa. Sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah bahwa sesungguhnya di dalam diri manusia ada segumpal daging, itulah yang disebut dengan ” Qalbu “, Apabila Qalbu itu baik maka baiklah semua yang dilakukan, sebaliknya bila jelek, maka jeleklah yang dilakukan.
Di atas ilmu ada adab, begitulah Imam Malik rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy,
التعلم الأدب قبل أن تتعلم
“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”
Habib Umar bin Hafidz pernah berkata, “Orang yang tinggi akhlaknya walaupun rendah ilmunya lebih mulia daripada orang yang tinggi ilmunya tapi kurang akhlaknya.”
Akhlak itulah sejatinya yang menjadi misi kenabian,
(وَ فِي رِوَايَةٍ: صَالِحَ) إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأََخْلَاقْ
“Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (dalam riwayat yang lain: menyempurnakan kebagusan akhlaq).” (HR. Al Bukhari)
Lalu bagaimana akhlak bisa dibentuk?
Hujjatul Islam al Imam al-Ghazali di dalam kitab Ihya’ Ulumiddin menyatakan bahwa akhlak yang baik bisa terbentuk dari tiga faktor, yaitu:
1. Watak
Watak manusia asal mulanya terbentuk dari bawaan sejak lahir (fitrah) atau turunan kedua orang tuanya. Orang tua sangat berperan dalam pembentukan karakter seorang anak. Pepatah mengatakan,”buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.” Maksudnya, watak seorang anak tidak akan berbeda jauh dari orangtuanya.
2. Kebiasaan
Ketika seseorang melakukan kebiasaan yang baik, maka orang tersebut akan mempunyai akhlak yang baik juga. Sebaliknya, jika melakukan kebiasaan yang tidak baik, maka akhlak orang tersebut akan punya kecenderungan tidak baik. Sebuah pernyataan mengatakan:
اَلْعَادَةُ إِذَا غَرِزَتْ صَارَتْ طَبِيْعَةً
“Kebiasaan yang dilakukan terus menerus akan menjadi sebuah watak (karakter)”.
3. Pendidikan
Akhlak seseorang dapat terbentuk dengan siapa dia berteman dan berinteraksi. Apabila ia berinteraksi dengan orang yang baik, ia akan menjadi baik. Begitu juga sebaliknya, karena ia akan mendapat pembelajaran dari orang-orang yang ada di sekelilingnya, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada karakeristik orang tersebut.
Nah akhirnya kita bisa memotret bahwa pendidikan merupakan hal yang amat penting, pendidikan yang hanya menekankan pada kemampuan logika tanpa mempertimbangkan rasa, akan berpotensi menjadi manusia yang nir adab, sebaliknya pendidikan yang mengembangkan logika dan rasa akan menjadikan anak didik menjadi manusia yang “respect” dan “resposibility”, manusia yang bisa memperlakukan orang lain dengan ukuran ukuran etika, sehingga anak-anak akan bertanggung jawab terhadap dirinya dan masyarakatnya.
Doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lainnya,
اللَّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفُ عَنِّى سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ
“Allahummahdinii li ahsanil akhlaaqi laa yahdi li-ahsanihaa illa anta, washrif ‘anni sayyi-ahaa, laa yashrif ‘anni sayyi-ahaa illa anta [artinya: Ya Allah, tunjukilah padaku akhlak yang baik, tidak ada yang dapat menunjukinya kecuali Engkau. Dan palingkanlah kejelekan akhlak dariku, tidak ada yang memalinggkannya kecuali Engkau].” (HR. Muslim no. 771, dari ‘Ali bin Abi Tholib)
Selamat beraktifitas, semoga Allah menjaga Akhlak kita, Aamiin. (Surabaya, 1 Maret 2018)