Hukum Praktik Murabahah di Bank Syariah

Hukum Praktik Murabahah di Bank Syariah

Hukum Praktik Murabahah di Bank Syariah
Ilustrasi kartu ATM

Suaramuslim.net – Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia setelah melihat bahwa masyarakat banyak memerlukan bantuan penyaluran dana dari bank berdasarkan pada prinsip jual beli. Dalam rangka membantu masyarakat guna melangsungkan dan meningkatkan kesejahteraan dan berbagai kegiatan, Bank Syariah perlu memiliki fasilitas Murabahah bagi yang memerlukannya. Oleh karena itu, DSN perlu menetapkan fatwa tentang Murabahah untuk dijadikan pedoman oleh Bank Syariah.

Mengingat 

  1. Firman Allah Surat Al-Baqarah: 275

“…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”

  1. Firman Allah Surat Al-Maidah:1

“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu…”

  1. Hadis Nabi SAW

Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka.” (Al-Baihaqi, Ibnu Majah, dan Shahih menurut Ibnu Hibban).

  1. Hadis Nabi riwayat Shuhaib

“Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradlah (mudlarabah), dan mencampur gandum dengan kacang untuk keperluan rumah tangga bukan untuk dijual.”

  1. Hadis Nabi riwayat At-Tirmizi

“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”

  1. Hadis Nabi riwayat Jamaah

“Penundaan (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman…”

  1. Hadis Nabi riwayat An-Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad

“Penundaan (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan memberikan sanksi kepadanya.”

  1. Hadis Nabi riwayat Abd Al-Raziq dari Zaid bin Aslam

“Rasulullah saw. ditanya tentang ‘urban (uang muka) dalam jual beli, maka beliau menghalalkannya.”

  1. Riwayat tentang praktek urban yang dilakukan oleh Nafi bin Abd Al-Haris sebagai berikut

“Ia (Nafi’) membeli untuk Umar rumah penjara dari Shafwan bin Umayyah seharga 4000 dirham. Jika Umar setuju, jual beli dilanjutkan; namun, jika Umar tidak setuju, Shofwan berhak mendapat 400 dirham.”

  1. Ijma mayoritas ulama tentang kebolehan jual beli dengan cara Murabahah (Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, juz 2, hal. 161; lihat pula al-Kasani, Bada’i as-Sana’i, juz 5 hal. 220-222).
  1. Kaidah fikih menegaskan 

“Pada dasarnya, segala sesuatu, perbuatan, perkataan, dan kegiatan adalah boleh sepanjang tidak ada dalil yang mengharamkannya.”

Memperhatikan 

Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional pada hari Sabtu, tanggal 26 Dzulhijjah 1420 H/1 April 2000.

Memutuskan Fatwa Dewan Syariah Nasional Tentang Murabahah

Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syariah:

Pertama:

  1. Bank dan nasabah harus mengadakan akad murabahah yang bebas riba.
  2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariat Islam.
  3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.
  4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
  5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.
  6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini. Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
  7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
  8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.

Kedua:

Murabahah kepada nasabah terbagi menjadi dua macam:

  1. Disertai kewajiban dengan ketentuan
  1. Jika bank menerima permintaan nasabah akan suatu barang atau aset, ia harus membeli aset yang dipesan tersebut. Bank juga harus menyempurnakan jual beli yang sah dengan pedagang barang tersebut.
  2. Bank menawarkan aset itu kepada nasabah yang harus menerimanya karena janji yang mengikat secara hukum. Kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.
  3. Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
  4. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
  5. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
  6. Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka
  • Bila nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga.
  • Bila batal membeli, uang muka tersebut akan menjadi milik bank.

2.Tanpa disertai kewajiban dengan ketentuan

  1. Nasabah meminta pihak bank untuk membelikan sebuah barang/aset. Permintaan ini dianggap sebagai keinginan untuk membeli, bukan penawaran.
  2. Bank membeli barang bagi dirinya melalui transaksi jual beli yang sah dengan pedagang.
  3. Bank harus menawarkan kembali kepada nasabah sesuai janji pertama. Hal ini dianggap sebagai tawaran dari bank, bukan permintaan nasabah.
  4. Nasabah memiliki pilihan membeli atau menolak barang tersebut.

 

Ketiga:

Jaminan dalam Murabahah

  1. Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya.
  2. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.

Keempat:

Utang dalam Murabahah

  1. Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada bank.
  2. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
  3. Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan utangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.

 

Kelima:

Penundaan pembayaran dalam murabahah

  1. Seorang nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian utangnya.
  2. Jika ia menunda dengan sengaja, bank dapat mengambil tindakan sebagai berikut; mengambil prosedur hukum pidana yang diperlukan, mengambil prosedur perdata untuk mendapatkan kembali piutang tersebut.

Keenam:

Bangkrut dalam Murabahah

Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan utangnya, bank harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment