Kebangkitan Komunisme di Indonesia: Sebuah Tinjauan Sosiologi Pendidikan

Kebangkitan Komunisme di Indonesia: Sebuah Tinjauan Sosiologi Pendidikan

Rencana Demonstrasi 30 September Massa Belum Tampak, Jalan Semanggi Arah DPR Ditutup Polisi
Gedung DPR RI yang berada di jalan Gatot Subroto (Foto: ANTARA)

Suaramuslim.net – Beberapa hari terakhir ini, di tengah suasana Pembatasan Sosial Berskala Besar, diam-diam DPR telah menyetujui RUU Inisiatif DPR yang mengatur soal Haluan Ideologi Pancasila. Banyak tokoh organisasi massa, sejarawan, ahli hukum, cendekiawan muslim serta politisi yang menengarainya sebagai bukti terbaru kebangkitan komunisme di Indonesia. Tulisan ini bermaksud melakukan tinjauan sosiologi pendidikan untuk menjelaskan kebangkitan komunisme ini.

Pertama, kebangkitan aliran pemikiran radikal kiri atau kanan di kalangan pemuda dan mahasiswa menunjukkan gejala yang wajar sejak era Reformasi. Dan sampai derajat tertentu hal ini adalah baik. Kebanyakan mahasiswa dan pemuda saat ini yang bisa disebut mahasiswa normal adalah kelompok yang apolitis, pragmatis, jika tidak bisa disebut hedonis.

Mereka yang tertarik dengan pergulatan pemikiran kritis adalah kelompok minoritas pemuda yang berada di ujung kanan dan kiri kurva normal. Oleh karena itu wajar bila minoritas ini disebut kelompok pemikir radikal kiri atau pun kanan.

Kedua, sudah sejak Orde Baru, pendidikan yang direduksi menjadi persekolahan paksa massal telah menjadi instrumen teknokratik untuk menyiapkan tenaga kerja murah bagi kepntingan industrialisasi besar-besaran sejak UU Penanaman Modal Asing diluncurkan di paruh kedua 1960-an.

Orde Baru membuka jalan bagi pembangunan nasional yang berorientasi pertumbuhan dengan mengandalkan investasi asing. Jadi, persekolahan tidak pernah dirancang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Bangsa yang cerdas bertentangan dengan kepentingan pemerintah untuk menyediakan masyarakat buruh yang taat dan berdisiplin yang cukup terampil menjalankan pabrik-pabrik sekaligus cukup dungu untuk mau bekerja terus bagi kepentingan para investor asing. Bahkan hingga hari ini, perguruan tinggi yang menghasilkan lulusan-lulusan sarjana yang bekerja di perusahaan multi nasional dianggap perguruan tinggi yang sukses.

Bagaimana persekolahan paksa massal menjadi sekadar instrumen teknokratik bagi penyiapan tenaga kerja terampil dapat dilihat dari dominasi persekolahan paksa massal dalam sistem pendidikan nasional kita selama 40 tahun terakhir ini. Wajib Belajar diartikan sebagai wajib sekolah melalui slogan Ayo Sekolah! Tidak sekolah langsung dianggap tidak terdidik dan kampungan.

Persekolahan dihinggapi penyakit pemberhalaan pelajaran sains, teknologi, dan matematika. Sementara itu pendidikan yang melatih pikiran kritis seperti liberal arts sama sekali tidak berkembang. Pelajaran bahasa dan sejarah adalah dua pelajaran yang terpinggirkan dalam persekolahan paksa massal. IPA dianggap lebih penting dari IPS, apalagi Bahasa. Akibatnya adalah pendidikan kewarganegaraan menjadi terbelakang.

Tidak mengherankan jika kebanyakan lulusan SMA atau mahasiswa adalah rakyat yang apolitis dan tidak memiliki kompetensi sebagai warga negara yang cerdas.

Persekolahan paksa massal itulah yang menyediakan kolam massa mengambang yang tidak menyadari atau bahkan takut untuk menjadi warga negara. Banyak masyarakat yang menyangka bahwa urusan politik mereka selesai begitu keluar dari bilik-bilik suara saat Pemilu. Padahal tugas-tugas politik mereka justru dimulai sejak itu sebagai warga negara.

Dalam situasi “normalisasi” kehidupan persekolahan dan kampus itulah, sedikit pemuda dan mahasiswa yang masih memiliki kecerdasan untuk menimba ilmu-ilmu dari luar kurikulum mereka. Ini karena fitrah kepemudaan kelompok minoritas ini yang tidak bisa dipuaskan oleh proses indoktrinasi massal persekolahan.

Ini dibaca oleh organisasi-organisasi ekstra kampus yang kemudian mencoba memperkenalkan mereka dengan pemikiran baru. Karena kelompok ini tidak terlatih berpikir kritis, maka interaksi mereka dengan anasir di luar kampus dengan mudah dibelokkan ke arah indoktrinasi pemikiran-pemikiran radikal kiri atau kanan.

Ketiga, praktek pembangunan yang kapitalistik sejak Orba hingga hari ini telah menyediakan lahan subur bagi kebangkitan komunisme. Kesenjangan pendapatan, ketidakadilan yang luas, kemiskinan persisten adalah isu menarik bagi kelompok muda kiri ini.

6 Juni 2020
Rosyid College of Arts
Gunung Anyar Surabaya
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment