Transisi PSBB, Anies Prioritaskan Tempat Ibadah

Transisi PSBB, Anies Prioritaskan Tempat Ibadah

Kebangkitan Umat Pasca-Covid-19
PSBB (Ils: minews.id)

Suaramuslim.net – Di tengah tekanan sejumlah pihak agar Gubernur DKI membuka mall, pasar, tempat wisata dan sejumlah gerai bisnis, Anies justru membuka tempat ibadah.

Anies menghubungi seorang ulama, salah satu pengurus aktif di Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Berbincang yang intinya minta arahan dan fatwa terkait salat Jumat.

Inilah yang benar. Pertama, agama harus dijadikan pondasi berbangsa. Komitmen beragama dapat menjadi landasan moral dalam mengelola negara.

Negara ini harus punya ruh. Dan ruh itu Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana tertuang di sila pertama Pancasila. Setelah agama, masjid, gereja dll dibuka, baru mall dan bisnis lainnya. Begitu kata Jusuf Kalla, Ketua Dewan Masjid Indonesia.

Kedua, umara (pemerintah) mestinya minta fatwa soal agama ke ulama. Jangan umara yang ngasih fatwa ke ulama. Kebalik! Jadinya ngaco. Serahkan kepada ahlinya. Atau tunggu petaka. Waduh… Ngeri.

Hari berikutnya, MUI rapat. Pro kontra dalam diskusi terkait teknis salat Jumat terjadi. Adu dalil dan argumentasi berjalan normal. Terkait salat berjarak, masjid diperluas, musala digunakan untuk salat Jumat, hingga salat Jumat dua-tiga kali di satu tempat. Akhirnya, fatwa MUI Nomor 31 Tahun 2020 keluar. Keputusannya: salat Jumat seperti biasa dengan protab covid-19. Fatwa ini yang dijadikan pegangan Anies untuk membuat kebijakan.

Agama sebagai basis Ketuhanan sebagaimana sila pertama Pancasila, harus dikembalikan fungsinya jadi pondasi bernegara. Untuk mengembalikan sila pertama jadi pondasi bernegara dan berbangsa, gak perlu harus dibuat lembaga seperti BPIH, atau UU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Ujung-ujungnya, malah konser. Orang lain ikut konser, ditangkap. Pening kepala rakyat.

Pancasila dengan lima sila itu jelas, tegas dan mudah dipahami. Rakyat ngerti, pakai banget. Berbagai upaya regulasi, formulasi dan penafsiran seringkali malah membuat rakyat bingung. Yang muncul justru Pancasila dalam berbagai versi kepentingan.

Yang dibutuhkan rakyat cuma satu: keteladanan. Kalau para pemimpin dan elit politik itu bersikap dan bertindak ala Pancasila, rakyat ngikut. Rakyat hanya ingin lihat pemimpinnya menjalankan Pancasila. Titik! Gak perlu pakai teriak-teriak “Aku Pancasila.” Itu kuno!

Bagimana cara hidup Pancasialis itu? Semua regulasi dan kebijakan mesti berorientasi untuk rakyat. Terutama pada aspek ekonomi. Bukan untuk oligarki, apalagi aseng. Kalau bicara jujur dan terukur. Kalau janji ditepati. Jaga persatuan dengan tidak menggunakan anggaran untuk buzzer. Adil dalam penegakan hukum. Ini di antara cara hidup Pancasilais. Mosok harus diajarin sih?

Dalam Pancasila, sila pertama jadi ruh dan pondasi bagi empat sila berikutnya. Tanpa sila pertama, humanity dalam sila kedua, nasionality di sila ketiga, democracy yang tertuang dalam sila keempat, dan social justice di sila kelima tak akan terwujud.

Ketuhanan tidak cukup di tempat ibadah. Tapi harus jadi ruh perundang-undangan dan kebijakan pemerintah dengan parlemen. Aspek ketuhanan di antaranya diukur dari kejujuran. Jujur gak ketika parlemen membuat undang-undang dan pemerintah menerbitkan aturan serta kebijakan.

Kemanusiaan yang adil dan beradab mesti ditunjukkan dengan tegaknya hukum dan aturan. Gak pilih-pilih berdasarkan warna politik, pri dan non-pri. Persatuan tidak memberi peluang kepada “buzzer premium” yang selama ini bikin gaduh dan merusak keutuhan berbangsa. Kerakyatan itu demokrasi yang menghargai perbedaan suara dan kebebasan berpendapat. Tak ada lagi teror, apalagi asal main tangkap. Keadilan sosial tak mengenal mana pendukung dan mana bukan. Dan ini tercapai jika ketuhanan sebagai simbol ketulusan dan kejujuran jadi landasan dasar bernegara.

Ini yang mungkin jadi alasan mengapa Anies mengawali masa transisi PSBB ini dengan membuka tempat ibadah. Ini simbolis. Pesannya: kembali ke sila pertama dalam Pancasila. Jadikan Tuhan sebagai basis untuk menjaga ketulusan dan kejujuran dalam mengelola negara. Dari sini akan muncul keadilan dan persatuan. Dua kata yang berulang-ulang diungkapkan -dan sangat digemari- oleh Gubernur DKI ini.

Tidak hanya masjid yang dibuka Anies, tetapi semua tempat ibadah. Termasuk gereja, wihara, pure dan klenteng. Kalau para pemimpin betul-betul mengelola negara berbasis Ketuhanan Yang Maha Esa, maka keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila kelima) akan terwujud.

Lalu, kapan spa dibuka? Cukup Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Pemprov DKI yang jawab. Dari 18 sektor usaha di Jakarta, sektor wisata seperti spa, gerai pijat dan karaoke dibuka paling terakhir. Belakangan! Dan tak segan untuk dicabut ijin usahanya jika disalahgunakan.

Jakarta, 7 Juni 2020
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment