Kejujuran Ka’ab Bin Malik Pada Nabi Muhammad SAW

Kejujuran Ka’ab Bin Malik Pada Nabi Muhammad SAW

Kejujuran Ka’ab Bin Malik Pada Nabi Muhammad SAW

Di antara rombongan umat muslim itu, tersebutlah Ka’ab bin Malik yang tidak ikut serta dalam keberangkatan menuju Perang Tabuk. Sebelumnya, Ka’ab bin Malik dikenal di kalangan sahabat sebagai orang yang terpercaya, golongan orang-orang yang pertama masuk Islam, dan selalu mengikuti perang bersama Nabi. Orang-orang tidak meragukan keimanannya.

Sayangnya, pada perang Tabuk ini, Kaab bin Malik ketinggalan rombongan sebab keterlambatannya dalam menyiapkan perbekalan. Anda tahu, saat Ka’ab masih bingung dalam persiapan menuju medan perang Tabuk, ternyata Nabi dan sahabat lain sudah bergegas menuju medan peperangan.

Ka’ab bin Malik pun gelisah karena keterlambatannya ini. Ia mengetahui bahwa ketika ada umat muslim yang mangkir dari perang, dan bukan disebabkan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, maka hal tersebut adalah termasuk dosa yang besar.

Dalam kegelisahannya itu, ketika keluar rumah, ia menemui bahwa yang masih berada di sekitar lingkungannya adalah orang-orang yang bermaksud mangkir dari peperangan – konon disebut kaum yang munafik – dan orang-orang lemah yang tidak mampu berperang.

Di sisi lain, seusai perang, Rasulullah SAW baru menyadari bahwa Ka’ab bin Malik tidak ikut serta dalam perang Tabuk itu. Ia menanyakan pada para sahabat,

“Kemanakah Ka’ab bin Malik?”

Kemudian ada yang mengatakan, konon seorang sahabat dari Bani Salimah, mempertanyakan jangan-jangan Ka’ab ini mementingkan dirinya sendiri. Tapi langsung ia dimarahi oleh sahabat Muadz bin Jabal ra.

“Perkataanmu buruk sekali! Tidak pantas kau katakan itu atas Ka’ab bin Malik!”

Ka’ab menjadi resah saat ia tahu bahwa ia tertinggal dan absen dari perang. Hal yang ia resahkan, adalah bagaimana ia akan berujar pada Nabi tentang keadaan yang menimpanya. Sempat ada hasrat berbohong, tapi ia urungkan.

Setibanya Nabi di Madinah, lalu menunaikan sembahyang sebagaimana beliau amalkan seusai perang, orang-orang yang tidak mengikuti perang mendatangi beliau dan menyampaikan alasan-alasan mereka. Kurang lebih ada delapan puluh orang. Nabi menerima alasan mereka, dan mengatakan bahwa beliau menyerahkan urusan kebenaran dalam hati mereka dengan Allah. Ka’ab bin Malik pun menjadi rikuh.

Ia beranikan diri mendatangi Nabi, lantas berkata dengan jujur,

“Sejujurnya Nabi, tidak ada yang menghalangi saya untuk mengikuti perang. Saya rela mendapat hukuman atas kesalahan yang telah saya perbuat. Daripada saya mendapat murka Allah atas alasan-alasan yang saya perbuat, lebih baik saya mendapat hukuman darimu, Nabi,”

Mendengar pengakuan yang tulus itu, Nabi menerimanya. Namun karena beliau tahu bahwa kesalahan yang diperbuat Ka’ab bin Malik adalah kesalahan yang besar, maka beliau memutuskan untuk menunggu jawaban dari Allah. Rupanya selain Ka’ab bin Malik, ada dua sahabat lainnya yang mengalami hal serupa, dengan alasan yang sama dengan Ka’ab bin Malik.

Beberapa hari kemudian, Nabi memerintahkan para sahabat untuk tidak mengajak bicara Ka’ab bin Malik dan dua sahabat lainnya itu sebagai bentuk hukuman. Tentu saja bagi mereka bertiga, hal itu terasa menyesakkan perasaan. Dalam riwayat, Ka’ab bin Malik berusaha bertingkah biasa, namun bagaimanapun ia merasakan tekanan yang berat saat diabaikan oleh sahabat-sahabat lainnya. Ia sempat berjumpa seorang sahabat, lantas bertanya,

“Tidak tahukah engkau bahwa aku ini sungguh mencintai Allah dan Rasul-Nya?”

Sahabat itu menjawab, “Hanya Allah dan Rasul-Nya yang mengetahui tentang hal itu,”

Ka’ab bin Malik semakin kesulitan. Kemudian pada hari keempat puluh, Nabi menambahkan bahwa Ka’ab bin Malik dan dua sahabat lainnya yang tidak ikut perang tersebut diminta untuk tidak mendekati istri-istri mereka. Tak terasa, hukuman itu terjadi sampai lima puluh hari. Pada hari kelima puluh itu, Ka’ab bin Malik melakukan salat sebelum fajar, lantas mengadukan masalahnya kepada Allah.

“Ka’ab!” Terdengar suara Nabi memanggil. Ka’ab bin Malik terkejut.

“Sungguh, ampunan Allah sudah tiba untuk kalian bertiga!” terang Rasulullah berseri-seri. Kemudian Rasulullah menyebutkan tiga ayat dari surat At Taubah, yaitu ayat 117 sampai 119 yang menjelaskan tentang ampunan Allah untuk mereka bertiga.

Ka’ab merasakah bahagia yang tak tertanggungkan. Kejujurannya berbuah manis, meski ia harus menanggung konsekuensi atas alasan yang ia sampaikan akibat keterlambatannya mengikuti perang.

Diriwayatkan bahwa alasan keteledoran mereka itu, bukanlah bermaksud untuk berpaling dari kewajiban perang, sehingga Allah mengampuni mereka bertiga. Setiap kejujuran memang sering berimbas pahit, namun bagaimanapun, ia adalah sikap berani mempertanggungjawabkan kesalahan.

Tulisan ini telah dimuat di nu.or.id.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment