Keluarga, Fondasi Regenerasi Umat Manusia

Keluarga, Fondasi Regenerasi Umat Manusia

fungsi regenerasi keluarga
Misbahul Huda bersama isteri, anak, dan cucu-cucunya. (Dok. pribadi)

Suaramuslim.net – Fungsi utama keluarga sebagai fondasi regenerasi umat manusia, menjadi arus utama parenting prophetic ala nabi. Keluarga yang bisa mewujudkan impian Rasulullah saw, yaitu “masuk surga bersama umatnya yang banyak”.

Tak pelak lagi, pada masyarakat umum ikut terbangun persepsi bahwa keluarga sukses itu adalah keluarga kecil yang mapan secara ekonomi, mempunyai status sosial tinggi dan berprestasi dalam karier atau bisnis. Anak-anaknya juga pintar secara akademik, langganan juara, lemarinya berjejer penuh dengan piala, bisa kuliah di universitas ternama, anaknya berhasil hidup mapan dengan status sosial terhormat. Tidak salah, tetapi tidak cukup!

Keluarga sukses, menurut hemat penulis, dilihat dari seberapa besar kemampuan keluarga memerankan fungsinya sebagai fondasi sosial terkecil dalam melahirkan generasi penerus yang sukses pula.

Untuk tujuan itu, para pakar parenting mensyaratkan beberapa kompetensi dasar.

Pertama, keluarga sukses adalah keluarga yang mampu menghadapi masalah- masalah kehidupan, baik ketika di ‘puncak’ kejayaan maupun saat terpuruk di ‘dasar’ kegagalan, lengkap dengan konsekuensi sosial dan finansialnya.

Kedua, keluarga sukses haruslah terdiri dari seorang lelaki yang piawai menjadi suami dan ayah, serta wanita yang piawai sebagai istri dan ibu. Keduanya piawai dan berkemampuan dalam melahirkan generasi sukses.

Apa itu generasi sukses? Memotret kisah sukses Nabi Muhammad saat masih muda, kiranya lebih pas untuk menggambarkan generasi sukses yang menjadi idaman setiap keluarga. Generasi sukses yaitu generasi yang berkemampuan untuk mandiri, baik secara finansial, spiritual maupun sosial, sekaligus mampu menghadapi masalah-masalah pelik pada zamannya.

Jadi, generasi yang sukses tidak cukup dengan menjadikan anak-anak yang berprestasi akademik atau pintar secara intelektual, kaya secara finansial dan terpandang status sosialnya. Ciri anak mandiri itu adalah mereka yang paling banyak memberi dan berkontribusi di tengah lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Seperti sabda Nabi: “Sebaik-baik manusia (manusia paling sukses) adalah yang paling banyak manfaatnya bagi sesama manusia”.

Anak yang mandiri itu tidak menjadi ”parasit” dalam kehidupannya. Manusia ”parasit” akan selalu menjadi beban bagi masyarakat. Sepanjang hidupnya selalu bergantung dan menjadi beban orang lain, terutama keluarganya. Agar ananda cepat mandiri, dia memerlukan beberapa bekal di antaranya: akhlakul karimah (budi pekerti mulia), kemampuan komunikasi yang baik, kemampuan berpikir logis dalam memecahkan masalah, dan kompetensi teknis yang memadai sesuai dengan zamannya.

Kriteria sukses mandiri dan standar kompetensinya selalu kami tanamkan  pada anak-anak dalam pelbagai kesempatan. dalam tulisan, kala ceramah di mushola rumah, berdakwah, berdiskusi atau ketika menasihati. Ketika mereka sudah sarjana dan tampak cukup dewasa, saya desak untuk berani segera berkeluarga. Jangan terlalu lama membujang, kata nenek “berbahaya”.

Pendek kata, kami arahkan anak-anak memilih calon ibu atau calon ayah (menantu) yang piawai melahirkan generasi cucu yang lebih baik dari ayah-bundanya dan juga lebih hebat ketimbang kakek-neneknya. Hasilnya terlihat nyata, anak-anak berani berkeluarga (menikah) pada usia yang relatif muda, rata-rata usia 25 tahun.

Jiwa pemberani ‘nikah muda’ sepertinya mewarisi ayahnya. Banyak yang tidak percaya ketika saya memasuki usia ke 53 tahun, sudah punya tiga menantu dan dua cucu yang lucu-lucu. Padahal rasanya belum pe-de dipanggil ‘eyang kakung’, pe-de nya dipanggil pak de.

Jika proses perbaikan kualitas regenerasi ini terjadi berkesinambungan maka percepatan perbaikan karakter umat dan mental bangsa ini akan berlangsung signifikan.

Jangan Hambat Kemandirian

Guru yang mencoba mengajar tanpa membangkitkan dulu keinginan belajar pada muridnya adalah laksana menempa besi dingin tanpa dipanasi (Horace Mann).

*Diambil dari buku “Bukan Sekadar Ayah Biasa” karya Misbahul Huda. Buku yang bercerita bagaimana pengalaman ayah hadir dalam pengasuhan anak.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment