Ketika Kesantunan Menjauh

Ketika Kesantunan Menjauh

Ketika Kesantunan Menjauh

Suaramuslim.net – Entah mengapa banyak orang yang suka sekali mencari kelemahan dan mengumbarnya dengan perasaan yang senang? Mereka pandai sekali kalau mencela seseorang. Entah itu bermaksud bergurau atau dengan maksud yang serius.

Dalam jagad dunia maya kita, tak banyak kita jumpai tulisan yang positif membangun, kita lebih banyak disuguhi berita dan tulisan yang lebih banyak bernuansa melemahkan bahkan menjatuhkan dan kadang tak malu meyebarkan fitnah dan berita bohong. Kadang terkesan profokatif, tapi sejatinya berisi sesuatu yang kosong dan bahkan fitnah yang tak berdasar.

Pelakunyapun juga beragam, ada yang terdidik dan ada juga yang tak terdidik dengan baik. Ukuran keterdidikan yang saya maksud adalah kemampuan mengendalikan diri untuk menghargai dan menghormati orang lain akibat sesuatu yang tidak benar lalu kita sebarkan. Karena bagi saya kemampuan mengendalikan diri dengan baik tidak hanya didapatkan dari pendidikan formal tapi lingkungan juga berperan membentuknya.

Mengapa orang suka mencela?

Mencela dalam kamus besar bahasa Indonesia berasal dari kata cela yang berarti cacat, keburukan, aib, cedera, kenistaan, noda, belang, borok, kritik.

Mencela biasanya dilakukan ketika melihat ada sesuatu yang dirasa tidak sama, mencela lebih banyak melihat dari sisi kelemahan tanpa ada solusi yang diberikan. Berbeda dengan kritik, kritik dilakukan lebih beradab, disamping memberi tahu ada kesalahan, juga diberitahu bagaimana memperbaiki kesalahan.

Mencela sering kali dilatar belakangi oleh sebuah sikap berjarak antara pencela dengan yang dicela. Jarak tersebut bisa disebabkan karena ketidaksukaan, iri dan benci. Bisa jadi pencela ini ingin memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang dilakukan oleh yang mereka cela, tapi mereka tidak mampu. Sehingga jalan yang bisa dilakukan adalah melemahkan dan menebarkan kebohongan. Pencela ingin menunjukkan dirinya lebih mampu, padahal sejatinya tidak, sehingga mencela hanya digunakan untuk menutupi kelemahan diri yang dimiliki.

Pencela biasanya memiliki sesuatu yang terselubung, karena ada ambisi pribadi yang disembunyikan, sehingga dihadapan pencela Anda tak akan pernah benar, meski Anda melakukan hal yang benar. Pencela seringkali bersikap impulsif, mereka sering memberikan argumen yang tak masuk akal dan cenderung berbohong untuk membenarkan apa yang sedang dilakukan.

Freud dalam psiko analisanya menyebutnya sebagai fiksasi, ketersumbatan pemuasan pada masa lalu. Bisa jadi pengalaman masa lalunya seringkali mengalami penundaan pemuasan. Ketika mendapatkan momentum maka dilampiaskan segalanya untuk memuaskan dirinya. Id nya tak bergerak berdasarkan superegonya. Prof Budi Darma, Begawan Sastra Indonesia menyebutnya sebagai manusia karakter tanpa persona. Manusia kosong, yang tak berisi, karena yang disampaikan adalah sesuatu yang tidak berisi dan tidak membangun hal yang positif.

Ditengah sikap yang saling melemahkan dan mencela, selayaknya kita merenungkan dan bertanya, seperti inikah hasil pendidikan yang kita dapatkan? Seperti inikah dulu orang tua kita menanamkan karakter kepada kita? Beginikah cara kita membangun peradaban yang bermartabat? Mencela hanya bisa dilakukan oleh mereka yang berkecenderungan untuk melakukan penyimpangan. Karena orang tua kita, guru kita tentu tak pernah mengajarkan yang seperti itu.

Nah kawan, pilihan sudah ditentukan, kontestasi sudah dimulai, sebagai bangsa yang beradab berlomba melakukan yang terbaik adalah sebuah keharusan. Tergantung kita semua, kita menjadi beradab atau tidak.

*Ditulis di Surabaya, 14 Agustus 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment