Menguak Akar Keterpurukan Umat Islam Indonesia

Menguak Akar Keterpurukan Umat Islam Indonesia

Fatwa MUI tentang Islam Jama'ah
Ilustrasi laki-laki bersorban membawa tasbih.

Suaramuslim.net – Keterpurukan umat Islam Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan merupakan hasil dari proyek penjajahan baru melalui serangkaian rekayasa nekolimik. Hal ini dilakukan melalui tiga instrumen utama.

Instrumen pertama adalah nasionalisme yang telah melahirkan Republik Indonesia serta proses sekulerisasinya. Instrumen kedua adalah pemaksaan konstitusi IMF pada Konferensi Meja Bundar yang menjatuhkan RI ke dalam jeratan utang ribawi. Instrumen ketiga adalah sistem persekolahan paksa massal sebagai jebakan budaya untuk menyiapkan syarat budaya bagi bangsa yang terjajah.

Nasionalisme yang melahirkan negara RI sesungguhnya merupakan instrumen pencegah kebangkitan kekhalifahan/kepemimpinan Islam. Sekulerisme yang menjadi motor utama nasionalisme merupakan jantung proses deislamisasi Nusantara. Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 walaupun tampaknya pertanda berakhirnya penjajahan Belanda, namun sesungguhnya adalah peresmian atas akhir kekhalifahan Islam di Nusantara. Belanda tidak pergi begitu saja.

Sekalipun Pembukaan UUD45 dan batang tubuhnya adalah bagian dari kreasi besar para ulama, namun kekuatan-kekuatan nekolimik sekuler senantiasa melakukan upaya terus menerus untuk menggagalkan perwujudan UUD45 dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bahkan hingga hari ini, melalui BPIP, Pancasila sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan seolah-olah masih ada secara de jure, namun batang tubuhnya dalam konstitusi sudah dibongkar secara radikal melalui serangkaian amandemen menjadi UUD2002. Negara musyawarah telah diganti oleh negara one man one vote. Apalagi dalam praktik, pemilihan langsung cabang eksekutif merupakan pengkhianatan terbuka atas sila ke-4 Pancasila. MPR lumpuh dan Presiden bukan lagi mandatarisnya yang nyaris tidak perlu mempertanggungjawabkan apapun kebijakannya.

Pembegalan atas Pembukaan UUD 1945 ini meluas hingga pengaturan ekonomi yang membuka hampir semua pintu bagi kepentingan asing untuk menguasai berbagai sumber kekayaan masyarakat dan negara. RUU Omnibus law yang kini dibungkus dengan nama “Cipta Kerja” sesungguhnya adalah RUU “Cipta Jongos.”

Di samping itu, sistem keuangan ribawi hasil kesepakatan Konferensi Meja Bundar 1949 merupakan upaya perampokan kekayaan nasional secara sistematik dan legal. Hal ini dilakukan melalui institusi perbankan yang melegalkan bunga dan uang kertas yang kemudian disandarkan bukan pada emas tapi pada uang kertas asing, terutama US Dollar. Setiap Presiden AS adalah khalifah de facto sejak akhir PD II hingga hari ini.

Adalah riba yang menjatuhkan bangsa ini ke dalam kemiskinan tiada akhir, dan sumber daya alam yang terkuras habis dan rusak. Lalu kemiskinan berkepanjangan itulah yang melahirkan jiwa miskin sebagai akar korupsi. Kemiskinan tidak memungkinkan kita memajukan kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Penguasaan sektor keuangan oleh kelompok elite tertentu menjelaskan ketimpangan pendapatan luar biasa yang berpotensi menjadi bom waktu.

Allah swt dan Rasul-Nya telah menyatakan perang atas riba. Siapa pun yang hidup dalam riba pasti koruptif pertanda kalah. KPK sebagai lembaga pencegahan korupsi telah dilemahkan sejak awal oleh riba, dan kini pemberantasannya dilemahkan oleh UU KPK yang terbaru. Pemberantasan korupsi di kalangan penegak hukum semakin melemah, sementara korupsi di kalangan tentara hingga kini tak tersentuh KPK.

Instrumen berikutnya adalah persekolahan paksa massal, terutama sejak Orde Baru. Kebijakan penanaman modal asing memerlukan kebijakan pendidikan yang diarahkan bagi kepentingan penyiapan tenaga kerja terampil. Pendidikan selanjutnya direduksi secara terstruktur, sistemik dan masif sebagai persekolahan paksa massal.

Sistem pendidikan nasional hingga hari ini bukanlah instrumen pencerdasan kehidupan bangsa, tetapi instrumen untuk menyiapkan buruh yang cukup terampil untuk menjalankan pabrik-pabrik, sekaligus cukup dungu untuk dipekerjakan bagi kepentingan investor, terutama investor asing.

Persekolahan paksa massal yang menjadikan belajar sebagai proses konsumtif sekaligus menyiapkan budaya utang. Bersama televisi, sekolah adalah institutional duo yang menyiapkan sebuah masyarakat buruh untuk kepentingan industrialisasi besar-besaran di Pulau Jawa sejak Orde Baru hingga hari ini.

Proses ini sekaligus merupakan proses deagrokulturisasi, dan demaritimisasi yang menyebabkan gelombang urbanisasi besar-besaran di kota-kota besar di Jawa dan pelemahan sektor pertanian. Tidak saja pemuda-pemuda Jawa yang pergi meninggalkan kampung halamannya di kawasan-kawasan pertanian, dan pesisir, tapi juga pemuda-pemuda luar Jawa yang menjadikan kota-kota besar di Jawa itu sebagai masa depannya.

Persekolahan paksa massal itu telah menggusur masjid dan pesantren sebagai pusat-pusat kecerdasan umat Islam. Keluarga pun sebagai madrasah pertama dan utama mengalami degradasi serius. Bahkan pesantren yang sebelumnya merupakan benteng kemandirian dan perlawanan atas penjajahan, melalui UU Pesantren akan ikut “disekolahkan” menjadi instrumen teknokratik bagi kepentingan investasi asing dan sekulerisasi.

Kemiskinan dan kedunguan massal itulah yang memungkinkan kebangkitan oligarki partai politik di jagad kehidupan berbangsa dan bernegara selama lima tahun terakhir ini. Semua cabang pemerintahan di eksekutif, legislatif dan yudikatif, serta media massa dan kampus telah kehilangan kemampuannya untuk melakukan check and balances sehingga Jokowisme berkembang subur di atas Ngabalinisme dan Fajrulisme yang menyebar cepat bak nCovid19.

Sementara itu, elite tentara makin dipertanyakan kesetiaannya pada negara dan konstitusi serta keberpihakannya pada rakyat karena kehilangan jiwa Sapta Marga. Tidak saja demokrasi mati, tapi juga reformasi.

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment