Menyikapi ongkos demokrasi yang mahal dengan adil

Menyikapi ongkos demokrasi yang mahal dengan adil

Usai Orde Dusta
Ilustrasi ambisi kekuasaan

Suaramuslim.net – Sandiaga Uno mengakui, bahwa dalam perhelatan Pilpres 2019, ia mengeluarkan dana sekitar Rp1 triliun. Pengeluaran itu telah dilaporkan dan bisa dipertanggungjawabkan. Angka Rp1 triliun itu sama dengan seribu miliar rupiah. Di Kota Depok, angka Rp1 triliun sudah cukup untuk membangun satu pesantren dengan kapasitas huni sekitar 5.000 santri.

Tahun 2024 ini, pemerintah dan DPR sudah menyepakati, anggaran Pemilu sebesar Rp76 triliun. Itu anggaran dari kas negara. Tentu belum termasuk anggaran kampanye masing-masing calon anggota legislatif dan calon presiden. Sebutlah, semuanya dalam kisaran ratusan dan mungkin ribuan triliun.

Pada pemilu 2019 lalu, seorang sahabat saya, calon anggota DPR pusat, pernah berlaga di daerah pilihan Jawa Tengah. Ia berkisah, dana yang dia siapkan sebesar Rp500 juta, seperti tidak berbekas. Ia pun gagal melangkah ke Senayan. Untuk pemilu 2024, konon kabarnya, pasaran biaya untuk satu calon anggota DPR pusat, sekitar Rp10 miliar.

Seorang konsultan media sosial pernah bercerita kepada saya, bahwa ada seorang calon anggota DPR pusat yang menyiapkan anggaran Rp1 miliar, hanya untuk program kampanyenya, khususnya untuk media sosial. Di zaman serba internet dan dominasi media sosial saat ini, peran media sosial bagi pembentukan opini publik sangat besar.

Walhasil, sudah dimaklumi, bahwa ongkos demokrasi memang sangat mahal. Terutama pasca masuknya era reformasi. Tahun 2004 dimulai Pilpres secara langsung untuk pertama kali. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih sebagai Presiden RI. Tahun 2009, SBY kembali terpilih. Para tokoh reformasi merumuskan Presiden hanya boleh menjabat maksimal dua periode.

Tahun 2014 dan tahun 2019 Joko Widodo terpilih sebagai Presiden RI. Tahun 2024 kembali digelar pemilihan umum, dengan ongkos yang sangat mahal. Siapa pun pengganti Presiden Joko Widodo, akan menghadapi sistem demokrasi yang berbiaya mahal, dan kekuasaan yang terdistribusi secara luas. Tidak ada satu partai yang mayoritas mutlak, sehingga memerlukan koalisi atau kerja sama dengan partai-partai lain.

Apa pun kondisinya, saat ini yang berlaku di Indonesia adalah sistem demokrasi. Para tokoh Islam sepanjang sejarah – pasca kemerdekaan – sepakat untuk terjun ke dalam sistem demokrasi dalam rangka memperjuangkan aspirasinya. Itulah salah satu saluran politik yang dimungkinkan.

Sejak Partai Politik Islam Masyumi didirikan tahun 1945, para tokoh dan pemimpin umat Islam sudah memahami hakikat demokrasi dan bersepakat untuk berjuang dalam sistem demokrasi. Para tokoh Islam itu memahami dengan baik konsepsi politik dan kenegaraan dalam pemikiran Islam.

Kitab-kitab Fiqh Siyasah, seperti al-Ahkam al-Sulthaniyah, sudah menjadi bacaan mereka. Upaya untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara juga sudah mereka perjuangkan di BPUPK dan Majelis Konstituante. Tetapi, gagasan itu belum diterima oleh banyak warga Indonesia lainnya. Maka, demi keutuhan dan keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara, para tokoh Islam memilih jalan kompromi, dengan terus melakukan dakwah tanpa henti.

Inilah model perjuangan yang memadukan idealisme dan realitas secara adil. Perjuangan umat Islam di Indonesia tidak pernah berhenti, dan dilakukan dalam seluruh aspek kehidupan: politik, ekonomi, pendidikan, budaya, komunikasi, dan sebagainya. Semua lapangan perjuangan itu memerlukan sumber daya manusia yang andal, yang sepatutnya bisa disiapkan oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam.

Politik tingkat tinggi

Politik merupakan salah satu lapangan perjuangan yang sangat berat. Bukan hanya memerlukan ongkos yang tinggi, tetapi tantangannya pun sangat berat dan keras. Kekuasaan begitu menggoda bagi banyak orang, sehingga diperebutkan banyak pihak.

Karena besarnya godaan dalam dunia politik, maka manusia-manusia yang memasuki gelanggang politik ini perlu disiapkan sebaik-baiknya. Jadi, politik pun merupakan lahan perjuangan yang memerlukan dukungan pendanaan umat Islam yang besar. Para calon anggota legislatif yang berkualitas tinggi secara ilmu dan akhlak, patut mendapat dukungan pendanaan umat.

Di sinilah perlunya para calon anggota legislatif dan kepala daerah atau presiden perlu menyampaikan program perjuangannya di legislatif atau pemerintahan. Bahwa, mereka terjun ke politik benar-benar dengan niat ibadah dan memiliki program perjuangan yang baik untuk memperjuangkan tegaknya kebenaran dan kejayaan NKRI.

Para pejuang politik itu bukan terjun untuk kepentingan pribadi. Niat, visi, dan misi mereka adalah untuk ibadah dan demi kebaikan umat dan bangsa. Untuk itu, kita berharap, adanya kerjasama, saling tolong menolong satu sama lainnya. Merujuk kepada QS al-Shaff: 4, bahwa Allah mencintai para pejuang di jalan-Nya yang berjuang dalam barisan yang rapi, laksana satu bangunan yang kokoh.

Kita perlu belajar dari banyak kasus sejarah kekalahan, kehancuran umat dan peradaban Islam. Salah satu sebab utama adalah perpecahan dan saling melemahkan satu dengan lainnya. Jika berpolitik diniatkan sebagai ibadah dan perjuangan menegakkan kebenaran, serta dilakukan dengan cara-cara yang baik, insyaAllah, akan turun pertolongan Allah.

Tidak perlu khawatir atau resah dengan kekurangan dana atau jumlah aktivisnya. Politik Islam bukan untuk menghinakan pihak lain. Politik Islam adalah satu bentuk dakwah Islamiyah yang bertujuan mengajak manusia ke jalan Allah, dengan hikmah, mauizah hasanah, dan mujadalah bil-latiy hiya ahsan. (QS An-Nahl: 125), serta untuk mewujudkan masyarakat yang penuh rahmat dan kasih sayang.

Politik tingkat tinggi seperti ini memerlukan SDM yang benar-benar hatinya bersih dari penyakit cinta dunia. Dengan itu, insyaAllah – dengan pertolongan Allah — kemenangan bisa kita raih.

Depok, 28 April 2023

Dr. Adian Husaini
Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment