JAKARTA (Suaramuslim.net) – Nahdlatul Ulama (NU) mendesak pemerintah Republik Rakyat Cina berhenti melakukan tindakan provokatif atas kedaulatan wilayah perairan RI yang telah diakui dan ditetapkan oleh Konvensi Hukum Laut PBB, United Nation Convention for the Law of the Sea 1982 (UNCLOS). Hal itu disampaikan langsung oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj dalam rilis yang diterima Suaramuslim.net, Selasa (7/1).
Pasalnya, Kepulauan Natuna masuk dalam 200 mil laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang telah diratifikasi sejak 1994. Dengan dasar tersebut, Kiai Said menyampaikan bahwa tindakan Coast Guard Cina yang mengawal kapal nelayan berbendera Cina di perairan Natuna sebagai bentuk provokasi politik yang tidak bisa diterima.
Cina secara sepihak mengklaim berhak atas Kepulauan Nansha atau Spratly yang masuk dalam nine dash line (sembilan garis putus-putus) pertama kali pada peta 1947. Klaim ini menjangkau area perairan seluas dua juta kilometer persegi di Laut Cina Selatan yang berjarak dua ribu kilometer dari daratan Tiongkok.
“Klaim sepihak ini menjadi pangkal sengketa puluhan tahun yang melibatkan sejumlah negara seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, Taiwan, dan Brunei Darussalam,” katanya.
Oleh karena itu, Kiai Said menegaskan bahwa Indonesia melalui pemerintahnya harus bersikap tegas dan keras, tidak boleh ada negosiasi.
“Kita harus bersikap keras. Tidak boleh kita negosiasi, lembek, tenang-tenang saja. Itu wilayah kita,” ujarnya.
NU sebagai organisasi masyarakat Islam terbesar mendukung langkah tegas pemerintah sebagai kekuatan sosial masyarakat.
“Kita dukung di belakang pemerintah dalam hal ini sebagai kekuatan civil society,” ujarnya. Di samping itu, lanjutnya, DPR pun harus juga bersuara sebagai representasi suara rakyat.
“Sama dengan kita bersama kekuatan masyarakat mendorong pemerintah tegas,” katanya. Sikap demikian juga berdasarkan apa yang telah dinyatakan secara tegas oleh Pendiri NU Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, bahwa membela tanah air merupakan fardu ain, wajib bagi setiap individu bangsa.
Reporter: Teguh Imami
Editor: Muhammad Nashir