Penjual Rujak, Tukang Cukur dan Guru

Penjual Rujak, Tukang Cukur dan Guru

Penjual Rujak, Tukang Cukur dan Guru

Suaramuslim.net – Saya tidak hendak membandingkan ketiga profesi tersebut. Lalu apa kaitannya ketiga profesi itu? Dalam tulisan kali ini, saya hanya mencoba menggambarkan bagaimana cara kerja mereka berdasarkan proses interaksi dengan mereka beberapa kali.

Minggu, 25 Februari 2018 nampaknya menjadi sesuatu yang menyenangkan, karena bisa menikmati rujak cingur sambil mendampingi “anak lanang” bercukur rambutnya.

Pertama saya mampirkan “anak lanang” ke tempat tukang cukur rambut. Suasana tidak terlalu ramai. Kalau dilihat dari potongan model rambutnya, mas si tukang cukur ini cukup gaul. Si anak lanang kemudian ditanya oleh tukang cukur, “mau potong model yang mana, sambil menunjuk ke beberapa foto yang dipajang. Lalu ditunjuklah nomor 1 dengan model potongan rambut bagian pinggir pendek dikepras dan bagian atasnya agak ditrap. Kelihatan sangat “laki” banget untuk ukuran anak-anak. Sambil menunggu dipotong rambutnya, saya tinggalkan sebentar untuk membeli rujak cingur.

Saya sampaikan kepada ibu penjual rujak, saya pesan rujak campur dengan cingur. Sambil menunggu, saya lihat betapa cekatannya si ibu mengiris buah-buahan untuk campuran rujak. Campuran “klathakan” buah-buahan yang menjadi unsur rujak berpadu menjadi satu dipadu oleh aroma petis udang. Paduan dari berbagai unsur itu justru menambah enaknya fantasi makan rujak.

Nah apa yang hendak saya sampaikan adalah filosofi keduanya ketika bekerja. Si tukang cukur sebelum mencukur rambut, bertanya dahulu kepada pengguna jasanya, apa yang diharapkan dari pekerjaan yang dilakukan. Pertanyaan yang dilontarkan menjadi sebuah dasar kerja tukang cukur untuk memberi kepuasan kepada pelanggannya. Kerangka kerja yang dilakukan adalah bertanya, menunjukkan model sebagai modal dasar yang dipunyai, serta kepuasan pelanggan.

Begitu juga kepada si ibu penjual rujak, prosedur yang ditanyakan adalah bertanya kepada pembeli ingin rujak apa, pedas atau tidak dan kemudian dibuatkan rujaknya.

Ada “trust” yang sudah terbangun bahwa rujak yang dipesan akan dibuatkan sesuai dengan selera yang diinginkan. Hal yang tidak kalah menariknya, campuran “klathakan” buah-buahan dan unsur lain yang terpadu dalam rujak, tidak menghilangkan masing-masing unsur, tapi justru semakin memperkaya rasa rujaknya.

Pendidikan mestinya harus menjiwai pola yang dilakukan oleh tukang cukur maupun penjual rujak. Seorang guru dalam mendidik tidak seharusnya memaksakan kehendaknya dalam proses belajar mengajar. Guru harus melibatkan “participant” belajar bila menginginkan hasil yang memuaskan. Carl Roger menyebutnya sebagai “participative learning”.

Pendidikan yang dilaksanakan dengan melibatkan partisipasi peserta didik, pengguna jasa pendidikan. Siapakah pengguna pendidikan itu? Tentu saja jawabannya adalah masyarakat, pemerintah, orangtua wali murid dan anak sebagai murid.

Profesi apapun yang diniatkan untuk melayani, maka yang terjadi pastilah sebuah kepuasan. Karena dalam filosofi melayani terkandung tujuan memuaskan pelanggan. Tak terkecuali guru, bukankah profesi guru adalah melayani, menjadikan orang lain bisa mendapatkan manfaat dari apa yang dikerjakan.

Lalu bagaimana pendidikan bisa memuaskan partisipannya?

Jawabannya pendidikan harus mampu melayani apa yang menjadi kebutuhan para partisipannya, yaitu wali murid dan anak-anak.

Guru sebagai penerjemah layanan pendidikan dituntut untuk menjadi “manusia setengah dewa”, matang dalam bersikap dan sabar dalam menjalankan tugas serta mencatat detil setiap keunikan siswanya, karena ini akan menjadi dasar mengembangkan potensi anak didiknya.

Apa yang harus dilakukan guru?

Pendidikan adalah prosesi melakukan perubahan perilaku, disadari juga dalam melakukan perubahan, guru dituntut memahami kebutuhan perubahan para peserta didiknya. Sehingga guru sejatinya wajib mengetahui kemampuan awal para muridnya dan merencanakan perubahan bagi para muridnya.

Guru ibaratnya seorang pelukis. Dari satu titik coretan, guru bisa mengembangkan menjadi banyak lukisan, sesuai dengan makna titik yang ada.

Anak-anak itu ibarat titik-titik dalam sebuah gambar awal, dia bisa dikembangkan sesuai dengan posisi titik yang dia miliki. Bukankah di kelas, juga terdiri dari beragam anak? Dan guru juga mengerti bahwa setiap anak mempunyai keunikan masing-masing. Ibarat pelukis, guru dituntut mengembangkan potensi anak sesuai dengan modal dasar yang dimiliki anak, sehingga tidak harus sama makna perubahan yang terjadi di dalam kelas.

Dimanakah guru merencanakan perubahan?

Perubahan harus direncanakan, agar setiap capaian perubahan bisa diukur capaian perubahannya. Dokumen perencanaan perubahan dan capaian hasil perubahan, biasanya terdokumentasi dalam rencana pengembangan pembelajaran guru, yang sering kita sebut RPP guru.

RPP sebagai dokumen perencanaan perubahan harus dan wajib dibuat guru, karena disanalah “blue print” perubahan itu menjadi panduan perubahan bagi setiap anak.

Blue print dibuat berdasarkan data-data yang didapat dari kebutuhan para siswa dan orangtua terhadap anak-anaknya. Nah kalau dokumen perubahan guru disusun berdasarkan kebutuhan perubahan yang dibutuhkan oleh para murid dan orangtua, maka bisa dipastikan kepuasan akan didapatkan siswa dan orangtua, karena guru hanya mengolah modal dasar yang ada dan perubahan terjadi sesuai dengan kebutuhan murid dan orangtua.

Sekolah memanusiakan adalah sekolah yang mampu memahami kebutuhan belajar para peserta didiknya dan orangtua. Setiap anak tidak harus menjadi orang lain, dia harus menjadi dirinya sendiri, berdasarkan kompetensi yang dimiliki.

Nah filososfi sekolah memanusiakan adalah sekolah yang melayani, dan merancang perubahan berdasarkan kebutuhan peserta didiknya.

Filosofi itulah yang dijalankan oleh tukang cukur dan penjual rujak. Marilah kita mulai meneladani setiap profesi yang berfilosofi melayani.

Dalam kaitan meneladani orang lain, Nabi Muhammad SAW mengingatkan kepada kita semua untuk tidak melihat sesuatu pada kulitnya, tapi lebih memperhatikan pada pesan yang disampaikan. “Perhatikan apa yang dibicarakan, jangan memperhatikan pada siapa yang membicarakan”.

* Ditulis di Surabaya, 26 Februari 2018
* Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

 

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment