Pria Muslim Tak Perlu Wali untuk Menikah

Pria Muslim Tak Perlu Wali untuk Menikah

Pria Muslim Tak Perlu Wali Nikah
Ilustrasi penyematan cincin.

Suaramuslim.net – Untuk pria muslim, tidak ada syarat wali nikah. Sejatinya, tidak syarat nikah bagi pria dalam aspek wali. Artinya, secara hukum Islam, pria muslim tidak memerlukan izin dari ayah ibu atau wali dalam hal pernikahan. Jadi, tak perlu wali nikah untuk pria.

Bagi mempelai pria, untuk menikah ada syarat ba’ah berdasar hadits Nabi Muhammad, “Wahai sekalian pemuda, siapa saja di antara kalian yang sudah mampu (ba’ah) untuk menikah, maka segeralah menikah, karena nikah akan lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kehormatan” (Muttafaqun alaihi).

Para ulama menjelaskan makna ba’ah ini.

1. Ba’ah bermakna al mahru wan nafaqoh

Al mahru wan nafaqoh adalah kemampuan untuk memberi mahar akad nikah dan memberi nafkah selama menjalani kehidupan rumah tangga. Dan para ulama menetapkan mahar itu keterwakilan nafkah sehari-hari. Maksudnya, nilai mahar itu hendaknya setara dengan nilai nafkah yang diberikan setiap hari atau tiap bulannya. Sehingga mahar itu hendaknya jangan terlalu mahal atau jangan terlalu murah. Sesuaikan dengan kemampuan sang suami.

2. Ba’ah bermakna libido atau kemampuan seksual

Ada ulama yang menyatakan baah ini adalah kemampuan si pria untuk menggauli istrinya dengan cara yang baik.

Bisa saja pria muslim menikah sendiri tanpa ada persetujuan atau izin ayah ibunya atau kedua orangnya. Jadi, tidak ada syarat wali nikah pria berdasarkan syariat Islam. Wali itu hanya wajib bagi mempelai wanita saja.

Namun, Islam tidak hanya berisi hukum saja, Islam juga mengatur soal tata krama atau akhlak. Sangat baik jika mempelai pria juga sebelumnya telah menyampaikan rencananya untuk menikah dengan wanita pilihannya. Harapannya, ayah ibu dan kedua orang tua ikut mendoakan keberkahan kedua mempelai jika sejak awal ikut merestui.

Namun, sering kali faktor adat dan kebiasaan juga berpengaruh besar dalam proses menjelang pernikahan di Indonesia ini. Tidak hanya di keluarga wanita saja, keluarga pria juga ikut ‘cawe-cawe’ sampai urusan tetek bengek pesta bahkan sampai urusan memilih calon mempelai wanita pun demikian. Seakan-akan orang tualah yang menentukan mulai siapa calon mempelai wanitanya sampai urusan catering pesta perkawinan.

Menurut Ustaz Ahmad  Sarwat, Lc, MA (sebagaimana dikutip dari laman rumahfiqih.com pada 16/04/2013), umumnya di negeri kita, sudah jadi semacam budaya bahwa keberadaan orang tua dan keluarga menjadi sangat dominan dalam urusan pernikahan. Seorang anak akan selamanya jadi ‘anak-anak.’ Orang tua selalu akan terus dilibatkan dalam segala bentuk detil perkawinan anaknya. Bahkan sampai anaknya punya anak lagi, semua urusan keluarga selalu dipusatkan pada pihak orang tua.

Kalau kita perhatikan, dalam sebuah hajatan pernikahan seringkali yang punya hajatan malah bukan lagi pasangan pengantin, tetapi justru masing-masing orang tua dari kedua belah pihak. Para orang tua itulah yang menjadi seolah-olah produser dan penyelenggara dari tiap hajatan pernikahan.

Hampir semua urusan ditangani orang tua. Mulai dari menentukan calon pasangan, urusan berembug antar keluarga, menentukan hari baik bulan baik, pembiayaan, sewa tempat hajatan, kostum pengantin, tukang rias, katering, pagar ayu, pengisi hiburan, tamu undangan, hingga urusan mas kawin. Pendeknya, ada begitu banyak tetek bengeknya, dan semua biasanya ditangani oleh orang tua dan keluarga.

Pasangan pengantin tinggal duduk manis saja, karena segala sesuatu telah ditetapkan oleh ‘dewan keluarga’ yang dalam hal ini tidak lain adalah orang tua. Bahkan selesai nikah dan ketika sudah mulai berumah-tangga pun, keterlibatan orang tua masih dominan. Sampai urusan punya anak berapa hingga sampai ke masalah cerai, tetap saja melibatkan langsung orang tua.

Maka kalau kebetulan kamu ditakdirkan lahir di dalam keluarga yang polanya masih seperti ini, rasanya hampir-hampir mustahil kalau kamu tidak melibatkan keluarga dalam pernikahan. Apalagi dalam bab memilih calon pasangan, kalau kamu main tabrak begitu saja sementara orang tua tidak setuju, bisa runyam urusannya.

Risikonya, bisa-bisa pernikahan yang kamu paksakan itu akan melahirkan kemurkaan dan kekecewaan di hati mereka. Bahkan buat sebagian kalangan, kasus ini akan menjadi aib tersendiri. Sebab menikahkan anak sesuai dengan selera, bagi sebagian orang tua, seolah-olah sudah menjadi salah satu prestasi dan kebanggaan yang hanya sekali saja dalam sejarah kehidupan.

Kebanyakan orang tua di negeri kita ini telah menjadikan hajatan pesta menikahkan anak sebagai salah satu bentuk aktualisasi diri. Maka tidak sedikit dari mereka yang rela menggelontorkan dana besar, demi mendapatkan prestise itu. Dan dalam pergaulan antar mereka, cacat-cacat yang terdapat dalam hajatan itu, pasti akan jadi bahan omongan, gosip dan ghibah yang tidak sedap.

Maka kalau kamu tahu dan memahami pola pikir sebagain orang tua seperti disebutkan di atas, tindakan memaksakan diri menikah dengan calon istri yang kurang direstui oleh orang tua, bisa dimasukkan ke dalam kategori tidak menghargai orang tua. Apalagi bila mereka keukeuh dengan penolakan, memang akan bikin kamu serba salah.

Namun tentu tidak semua orang tua berpikiran sempit seperti itu. Banyak juga dari mereka yang membebaskan pilihan kepada anaknya dalam memilih pasangan hidup. Semua akan kembali kepada format budaya dan paradigma keluarga.

 

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment