Mengerjakan Sholat dengan Cara Jama’ Qashar

Mengerjakan Sholat dengan Cara Jama’ Qashar

mengerjakan shalat dengan cara Jama dan Qashar

Suaramuslim.net – Perjalanan yang jauh dan ditempuh dalam jangka waktu yang lama, acapkali membuat sesorang tidak bisa melakukan shalat dengan mudah seperti biasanya. Namun, Islam senantiasa memiliki solusinya. Bagaimana solusi Islam tentang sholat dalam keadaan safar?

Berada dalam keadaan safar, bukan berarti menjadi sebuah alasan untuk meninggalkan shalat fardhu. Allah telah menetapkan aturan sedemikian rupa untuk memudahkan para musafir untuk menunaikan shalat.

Dengan qashar, jumlah rakaat shalat akan dikurangi. Misal shalat empat rakaat diringkas menjadi dua rakaat ketika safar. Allah berfirman, “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qashar sholat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu.” (Qs. An Nisa’: 101).

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Pertama kali sholat diwajibkan adalah dua raka’at, maka tetaplah sholat musafir dua raka’at dan shalat orang yang muqim (menetap) sempurna (empat raka’at).” (HR. Al Bukhari: 1090 dan Muslim:685).

Asy Syinqithi mengatakan, “Para ulama bersepakat atas disyariatkannya meng-qashar sholat empat raka’at ketika safar. Berbeda dengan orang-orang yang mengatakan bahwa tidak ada qashar kecuali ketika haji, umroh, atau ketika keadaan mencekam. sesungguhnya perkataan seperti ini tidak ada dasarnya menurut ahli ilmu.” (Adhwa’ul Bayan 1/265).

Adapun, shalat yang boleh diqashar yang telah disepakati oleh para ulama adalah shalat Zhuhur, Ashar, dan ‘Isya’. Imam Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama telah sepakat bahwa sholat Maghrib dan Shubuh tidak boleh diqashar.” (al-Ijma’hal. 9).

Orang yang safar diperbolehkan meringkas shalatnya apabila telah berangkat dan meninggalkan tempat tinggalnya. Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku shalat bersama Nabi di Madinah empat raka’at dan di Dzulhulaifah dua raka’at.” (HR. Al Bukhari:1039 dan Muslim:690).

Namun, jika seorang musafir bermakmum pada muqim, adalah tetap shalat secara sempurna mengikuti imamnya berdasarkan keumuman hadis, “Sesungguhnya (seseorang) itu dijadikan imam untuk diikuti. (HR. Al Bukhari:722 dan Muslim:414).

Dan juga para shahabat shalat di belakang Amirul Mukminin ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, tatkala beliau shalat di Mina empat raka’at, maka para shahabat tetap mengikutinya shalat empat raka’at.

Oleh karena itu Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma ketika ditanya, “Mengapa seorang musafir kalau shalat sendirian dia shalat dua raka’at tetapi kalau shalat bersama imam dia shalat empat raka’at ?” Beliau menjawab, “Demikianlah sunnah Abul Qashim (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam)” (Liqa’ Bab Maftuh hal. 40).

Mengomentari atsar Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma ini, Syaikh Al Albani rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini terdapat dalil yang sangat jelas bahwa seorang musafir apabila bermakmum kepada muqim maka dia menyempurnakan dan tidak menqashar. Ini merupakan madzhab imam yang empat dan selain mereka. Bahkan Imam Syafi’i menceritakan dalam Al Umm (1/159) kesepakatan mayoritas ulama akan hal itu dan disetujui oleh Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (2/465).” (Silsilah Ahadits Shohihah 6/387).

Menjama’ (Menggabung) Dua Shalat

Termasuk kesempurnaan rahmat Allah bagi seorang musafir adalah diberi keringanan untuk menjama’ dua shalat di salah satu waktunya. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Apabila dalam perjalanan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ shalat Zhuhur dengan Asar serta Maghrib dengan ‘Isya’.” (HR. Al Bukhari:1107 dan Muslim:704).

Senada dengan pernyataan diatas, Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Boleh menjama’ shalat Zhuhur dan Asar di salah satu waktu keduanya sesuai kehendaknya. Demikian pula shalat Maghrib dan ‘Isya’, baik safarnya jauh atau dekat.” (Syarh Shahih Muslim 6/331).

Artinya, shalat yang boleh dijama’ adalah shalat Zhuhur dengan Asar serta shalat Maghrib dengan ‘Isya’. Adapun shalat shubuh tidak boleh dijama’ dengan shalat yang sebelumnya atau sesudahnya. Demikian pula tidak boleh menjama’ shalat asar dengan maghrib.

Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berangkat sebelum matahari tergelincir maka beliau mengakhirkan shalat Zhuhur hingga Asar kemudian menjama’ keduanya. Apabila beliau berangkat setelah Zhuhur maka beliau shalat Zhuhur kemudian baru berangkat.” (HR. Al Bukhari:1111 dan Muslim:704).

Adapun tata cara menjama’ shalat adalah menggabungkan dua shalat dalam salah satu waktu, baik diakhirkan maupun dikedepankan. Misalnya shalat Zhuhur dan Asar dijama’ (digabung) dikerjakan pada waktu Zhuhur atau pada waktu Asar, keduanya boleh. Hendaklah adzan untuk satu kali shalat dan iqomah pada setiap shalat. Yaitu satu kali adzan cukup untuk Zhuhur dan Asar dan iqomah untuk setiap shalat (HR. Al Bukhari: 629).

Kontributor: Mufatihatul Islam
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment