Sufi yang Hanif dan Sufi Gadungan

Sufi yang Hanif dan Sufi Gadungan

Sufi yang Hanif dan Sufi Gadungan

Suaramuslim.net – Tidaklah susah mengetahui mana yang layak disebut ulama dan mana yang bukan ulama. Akan tetapi, amat susah jika ingin mengetahui mana sufi dan mana yang bukan sufi. Tentang sufi, ada 3 teori munculnya pemakaian istilah atau gelar sufi. Berdasar tulisan Dr. Fahd bin Sulaiman al-Fuhaid tentang Sejarah Sufi (Majalah as-Sunnah, 2012), bahwa orang yang pertama kali dikenal sebagai sufi adalah Abu Hasyim al-Kufi (wafat 162 H). Teori yang lain menyebutkan bahwa Abdak, singkatan dari Abdul Karim, (wafat 210 H) adalah yang pertama-tama menyebut diri sebagai sufi. Sementara Ibnu an-Nadim menyebutkan bahwa Jabir bin Hayyan (wafat 208 H), itulah yang pertama kali menamakan diri sebagai sufi.

Lantas, siapakah orang yang layak disebut atau digelari sufi? “Seorang sufi tidak menjadi sufi jika ada pada dirinya 4 perkara: malas, suka makan, suka tidur dan berlebih-lebihan.”, kata Imam Syafi’i. Dalam buku Tasawuf dan Ihsan (Serambi, 2007), Abu al-Hasan al-Sirwani berkata :”Seorang Sufi adalah yang mempedulikan keadaan spiritualnya dan sekaligus amal-amal lahiriahnya”.

Jika mencermati definisi yang diberikan Imam Syafi’i dan al-Hasan al-Sirwani, bisa dipastikan bahwa di dunia ini hanya ada dua jenis sufi. Seorang sufi yang hanif dan sufi gadungan (baca: palsu). Saya tidak tahu persis, lebih banyak mana antara sufi yang hanif dibandingkan sufi gadungan. Sufi yang hanif dalam kesehariannya menjauhi hal-hal yang tidak bermanfaat, tutur kata dijaga sebaik mungkin. Sehingga sepanjang hidupnya, dari bibir seorang sufi yang hanif hanya keluar nasihat atau petuah-petuah inspiratif. Sebelum munculnya para trainer dan motivator handal di televisi nasional, para sufi terlebih dulu mewariskan berbagai petuah-petuahnya.

Salah satu contoh sufi yang hanif adalah Hasan al-Bashri. “Bila Allah menganugerahkan seorang anak kepada seseorang, ucapkan kepadanya, ‘Semoga anda bersyukur kepada Yang Maha Pemberi anugerah. Semoga anda diberi keberkahan sebab anak yang dianugerahkan. Semoga ia cepat dewasa dan semoga Anda dianugerahi kebaikannya.” kata Hasan al-Bashri dalam The wisdom of Hasan al-Bashri: Nasihat-Nasihat Penerang Hati (Serambi, 2008)

Salah satu tokoh pers Indonesia, (Alm) Rosihan anwar, berkisah dalam buku Sejarah kecil “petite histoire” Indonesia, Volume 2 (Kompas, 2009) : “Buya hamka menulis buku Tasawuf Indonesia. Oleh karena itu, saya bertanya kepada Hamka, apakah beliau sufi?“. Dan pada awal tahun 1960-an, dia menjawab dalam bahasa Minang,”Ha indak, ambo mengaji-ngaji sajo” (Ya tidak, saya mengaji-ngaji saja). Jadi, Hamka menyangkal dirinya seorang sufi. Masih kata Rosihan Anwar,”Memang susah menjelaskan sufi dan tasawuf, apabila orang tidak menjalankannya dengan bergabung dalam sebuah tarekat yang dipimpin oleh seorang Syeikh.” Buya Hamka tidaklah seperti Prof Dr. Abdul halim Mahmud. Mantan rektor Universitas Al-Azhar, Kairo, ini dikenal menulis kitab “Al-Tasawuf fi Al-Islam” sekaligus di sisi lain pengamal Tarekat Syadziliyah.

Apakah menjadi sufi mesti bergabung dalam tarekat tertentu? tidak mesti begitu. Faktanya, di dalam lembaran sejarah peradaban Islam, ada Fudhail bin Iyadh (wafat di Makkah 187 H). Sebelum menjadi sufi, dia seorang perampok lalu bertaubat. Kemudian Rabi’ah al-Adawiyyah (lahir di Bashrah). Beliau menjadi sufi tanpa bergabung dalam tarekat sufi. Menurut Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani dalam Sufi Dari Zaman ke Zaman (Penerbit pustaka, 1985), sebelum menjadi sufi, Rabi’ah adalah seorang hamba sahaya di keluarga Atik. Rabi’ah sezaman dengan Sufyan al-Tsauri. Wallahu’allam.

Kontributor: Fadh Ahmad Arifan
Editor: Oki Aryono

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment