Belajar dari Zakir Naik, Berdakwah kepada Non Muslim

Belajar dari Zakir Naik, Berdakwah kepada Non Muslim

zakir naik, safari dakwah, makassar

Suaramuslim.net – Dakwah ternyata tak hanya menjadi amanah setiap muslim kepada sesamanya saja. Namun juga kepada mereka yang belum mengenal cahaya Islam. Bagaimana metode dakwah Zakir Naik kepada mereka yang belum mengenal cahaya Islam? Simak ulasan berikut ini.

Dai internasional asal Mumbai, India, Dr. Zakir Naik berkesempatan melakukan safari dakwah ke Tanah Air. Kedatangannya dinanti jutaan Muslim yang hendak mendengarkan gaya dia berdakwah. Seperti ceramah-ceramah sebelumnya, murid Syekh Ahmad Deedat itu pun menyediakan waktu khusus untuk non-muslim dan atheis yang hendak berdiskusi tentang agama. “Mubaligh juga harus memahami metode dakwah yang tepat untuk diterapkan kepada kalangan umat berbeda agama (non-muslim),” ujarnya saat konferensi pers di kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) pekan lalu pada republika.co.id.

Meneladani Metode Dakwah Zakir Naik kepada Non Muslim

Sebagaimana yang diketahui,  Zakir Naik adalah dai yang berasal dari India. India adalah negara yang memiliki ragam pilihan agama di dalamnya. Tak hanya Islam, agama lain juga turut mewarnai status bangsa India.

Mendakwahkan Islam di India tentu tidak mudah. Terlebih sepak terjang Zakir Naik adalah dakwah yang dikhususkan kepada non-muslim dengan angle perbandingan agama. ”Di India, pemerintah memang tidak pernah secara langsung melarang saya menyampaikan dakwah. Tapi, yang mereka lakukan kemudian adalah membentuk opini bahwa Zakir Naik mendukung terorisme dan sebagainya. Pemerintah membohongi publik dengan mengatakan, kegiatan saya selama ini adalah kejahatan,” ungkapnya.

Akan tetapi, berbagai tudingan negatif itu tidak sedikit pun menyurutkan semangatnya untuk berdakwah. Ia mengaku bahwa saat ini stasiun televisi yang menyiarkan kuliah agama saya, Peace TV, sudah memiliki 200 juta penonton.

Kemudian ia menjelaskan beberapa poin penting dalam menjalankan dakwah besar pada non-muslim. Yang pertama,  harus memiliki dasar pemahaman Al Quran dan hadis yang kuat.

Yang kedua, juga harus mempunyai pengetahuan dan referensi tentang kitab-kitab suci agama lain, baik itu Bibel, Weda, ataupun yang lainnya.

Berikutnya, harus memiliki penalaran yang baik untuk menyanggah argumen-argumen lawan. Terakhir, kita harus mempunyai pengetahuan ilmiah dan data yang valid untuk membuktikan argumen yang kita sampaikan.

Ia memaparkan sedikit pengalamannya. Berkaca pada berbagai kasus yang ia pelajari selama ini, ada sekitar 75 hingga 100 ayat Bibel yang kerap digunakan para misionaris dalam menyebarkan agama Kristen. Akan tetapi, di dalam Bibel juga terdapat banyak sekali ayat yang bisa digunakan untuk menyanggah argumen-argumen kekristenan.

Artinya, jika seorang mubaligh bisa menghafalkan dan menguasai 150 hingga 200 ayat (penyanggah) saja di dalam Bibel, dia tidak hanya bisa mendebat para misionaris, tetapi juga bahkan Paus (pemimpin tertinggi agama Katolik—red) sekalipun. Pada poin ini, bisa kita lihat betapa pentingnya penguasaan kitab-kitab agama lain bagi seorang dai yang hendak memfokuskan kajiannya pada perbandingan agama.

“Yang tidak kalah pentingnya, para mubaligh juga harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik, terutama keterampilan dalam public speaking. Mubaligh juga harus memahami metode dakwah yang tepat untuk diterapkan kepada kalangan umat berbeda agama (non-muslim),” pungkasnya.

Kontributor: Mufatihatul Islam
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment