Suaramuslim.net – Tekad kuat bagi pencari ilmu adalah suatu keniscayaan. Kisah ulama sekaliber Baqi bin Makhlad (201-273 H/817-889 M) berikut, bisa dijadikan teladan. Dalam lembaran sejarah umat Islam, kisahnya dalam mencari ilmu sangat mencengangkan.
Suatu saat beliau bercita-cita ingin belajar hadits dari Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H/780-855 M). Padahal, saat itu dirinya adalah ulama besar Andalusia, Spanyol, meski umurnya masih tergolong muda. Rasa hausnya dalam menimba ilmu begitu tinggi sehingga membuat dirinya tidak cepat puas dengan capaian gemilang yang diperolehnya saat itu.
Syahdan, karena tekad sudah sedemikian kuat dan bulat, pergilah beliau ke Baghdad untuk berguru kepada Imam Ahmad bin Hanbal. Menurut ukuran manusia pada umumnya, perjalanan Baqi bin Makhlad dalam mencari ilmu ini tergolong sangat sulit dan cukup rumit. Bagaimana tidak sulit; dari segi jarak misalnya –kalau menurut ukuran sekarang-, masa tempuh antara dua kota tersebut kira-kira 6.513 Km.
Terlebih, yang sungguh membuat kepala geleng-geleng, perjalanan panjang tersebut beliau tempuh dengan berjalan kaki (lantaran beliau tidak punya kendaraan). Sehingga tak heran jika menghabiskan waktu dua tahun untuk sampai ke Baghdad. Bahkan, beliau tidak hanya ke Baghdad. Kota seperti Hijaz, Syam, Mesir dan lainnya juga beliau kunjungi untuk menuntut ilmu. Perjalanannya dalam menuntut ilmu, menurut buku Târîkh al-Turâts al-‘Arabi (307) karya Dr. Fu`ad Sazkin mencapai 14 sampai 20 tahun hanya untuk menimba ilmu.
Selain dari itu, ketika menempuh perjalanan ke Baghdad, usianya juga masih tergolong muda. Dalam safari luhur ini, umurnya masih sekitar 27 atau 28 tahun. Bandingkan dengan pemuda zaman sekarang. Di usia potensial tersebut, apa yang banyak dilakukan; lebih asyik dengan gadget-nya atau mencari guru demi menuntut ilmu? Namun Baqi bin Makhlad muda, untuk ilmu, dirinya berani mengambil risiko.
Kemuliaan menimba ilmu memang tidak bisa diraih dengan berpangku tangan. Seperti dalam syair Arab dikatakan:
وَمَنْ رَامَ الْعُلَا مِنْ غَيْرِ كَدٍّ
أَضَاعَ الْعُمْرَ فِيْ طَلَبِ الْمُحَالِ
“Barangsiapa ingin menggapai keluhuran tapi tanpa bersusah payah, maka dia telah menyia-nyiakan umurnya untuk mencari kemustahilan” (Jamî’ Dawâwîn al-Syi’r al-‘Arabi, IX/250)
Ujian demi ujian pun dijalani oleh Baqi bin Makhlad dengan sabar dan lapang dada.
Sesampainya di Baghdad, beliau mencari penginapan di daerah tersebut. Malangnya, ia mendengar Imam Ahmad didera fitnah dan menjadi tahanan rumah. Pada saat pergi ke suatu masjid, beliau bertemu dengan ulama besar Yahya bin Ma’in (158-231 H/774-847 M), saat ditanya mengenai kondisi imam Ahmad beliau membenarkan bahwa beliau sedang ditimpa fitnah. Mendengar berita demikian, tentu kesedihan menggelayuti dadanya. Hanya saja, sebagai penuntut ilmu beliau tidak putus asa.
Menurut catatan Imam Adz-Dzahabi dalam Târîkh al-Islâm (XX/315), Baqi bin Makhlad tidak menyerah dengan kondisi yang dialami. Didatangilah rumah Imam Ahmad bin Hanbal. Setelah bertemu dengan penjagaan ketat, Baqi menceritakan hajatnya yang datang dari negeri yang sangat jauh. Imam Ahmad sebenarnya dengan senang hati mau memberi pelajaran hadits. Akan tetapi, kondisinya belum memungkinkan untuk itu.
Menghadapi kondisi demikian, Baqi bin Makhlad punya ide cemerlang. Setiap hari ia akan mendatangi rumah Ahmad dengan berpakaian pengemis sembari seakan meminta-minta, nanti Imam Ahmad sambil memberi, bisa menyampaikan satu atau dua hadits. Imam Ahmad setuju. Tapi dengan syarat, jangan menampakkan ke orang lain atau ahli hadits.
Syarat ini pun dipenuhi Baqi, dan akhirnya berjalanlah setiap hari untuk mengambil hadits dari Imam Ahmad dengan cara yang sudah disepakati. Hal itu berjalan terus hingga penguasa panganut madzhab Muktazilah yang memenjarakan Imam Ahmad meninggal dunia dan diganti dengan penguasa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Ketika Imam Ahmad sudah bebas, beliau bisa lebih leluasa mencari ilmu. Setiap kali Baqi datang ke majlisnya, maka tempat segera diluaskan untuk Baqi, sebagai bentuk kecintaan Imam Ahmad kepada sosoknya yang teguh dalam mempelajari ilmu.
Bahkan ada kisah menarik. Suatu ketika, Baqi tidak terlihat di majlis ilmu. Imam Ahmad pun bertanya mengenai kondisinya kepada para muridnya. Rupanya, Baqi sedang sakit. Mendengar jawaban tersebut, dengan lekas Imam Ahmad membesuknya bersama murid-muridnya. Begitu banyaknya yang ikut sampai terasa ada getaran gempa, yang pembuat pemilik rumah keheranan. Saat itu, penginapan begitu sesak, apa yang keluar dari lisan Imam Ahmad segera dicatat oleh murid-muridnya. Lebih dari itu, Baqi pun dilayani dengan sangat baik oleh murid Imam Ahmad.
Demikianlah sekelumit kisah mengenai keteguhan dan tekad luar biasa dari seorang Baqi bin Makhlad dalam belajar. Tidak berlebihan jika Ibnu Abdil Bar pernah memujinya, “Baqi adalah sosok yang mulia, takwa, gemar berpuasa, rajin ibadah, pada masanya tidak ada bandingannya dan unik.” (Târikh al-Islâm, XX/315)
Karya-karya Baqi pun juga sangat bermutu. Dia pernah menulis tafsir, musnad (30 ribu hadits jauh melebihi Imam Ahmad), dan lain sebagainya. Sampai-sampai Ibnu Hazm, pernah berkomentar mengenai karangan tafsir Baqi, “Saya memastikan bahwa dalam Islam, belum pernah dikarang tafsir seperti yang ditulisnya. Hingga tafsir Muhammad bin Jarir Ath-Thabari sekalipun, maupun tafsir-tafsir lainnya.”
Semoga, perjalanan beliau dalam mencari ilmu bisa diteladani. Sebagai penutup, nasihat Imam Syafi’i untuk para pencari ilmu berikut bisa dicamkan, “Saudaraku, ilmu tidak akan digapai, melainkan dengan enam perkara yang akan aku jelaskan kepadamu secara rinci. Pertama, kecerdasan. Kedua, antusias. Ketiga, sungguh-sungguh. Keempat, bekal. Kelima, bimbingan guru. Keenam, waktu yang lama.” (Muhammad Nazar, al-Itqân fî Ta’lîm Ahkâm al-Qur`ân al-Karîm, 2) dan Baqi bin Makhlad pun telah melampaui syarat-syarat tersebut. Wallâhu a’lam.
Kontributor: Mahmud Budi Setiawan, Lc*
Editor: Muhammad Nashir
*Tim konten AQL Islamic Center Ustadz Bahtiar Nasir, alumnus Univ. Al Azhar Mesir.