Suaramuslim.net – Keberagaman kita sedang diuji. Dan penguji kali ini adalah seorang rektor yang terhormat dari kampus Islam. Kampus yang salah satu dakwahnya menyiarkan nilai-nilai keberagaman.
Pengakuan kepada keberagaman itu sendiri memang kadang susah-susah gampang. Yang bercadar memahami yang tidak bercadar. Begitu juga sebaliknya. Ini masih berat. Jika seorang rektor saja bisa terjebak, apalagi kalangan intelektual yang di bawahnya. Meski tidak selalu demikian.
Keberagaman di Indonesia itu mutlak. Baik keberagaman sesama agama atau antar umat beragama. Ini sudah dijaga dalam konstitusi kita. Memang perlu dikhawatirkan jika keberagaman yang selama ini didengungkan hanya untuk kalangan tertentu saja. Yang secara politis ingin terlindungi oleh mayoritas.
Kembali kepada pernyataan dari seorang rektor yang melarang mahasiswinya untuk memakai cadar merupakan bentuk penistaan kepada keberagaman itu sendiri. Seorang rektor dalam menyikapi perbedaan seharusnya sudah selesai, apalagi hanya sekedar cadar yang sudah dibahas sedemikian rupa dalam khasanah ilmu fikih. Sebagai pimpinan kaum intelektual yang bisa menerima keberagaman dan tentu saja bisa menanggalkan faktor politisasi dari sebuah simbol. Malah terjebak dalam arus tersebut.
Apalagi jika muncul penyataan tentang pelarangan itu berasal dari kekhawatiran terjadi kecurangan dalam ujian. Apakah senista itu pemakai cadar untuk mendapatkan nilai? Mereka ini sudah minoritas dan tentu saja akan menjaga diri. Baik karena keminoritasannya atau kesadaran pribadi.
Alasan kedua untuk mencegah radikalisme tumbuh dikalangan kampus. Apakah cadar sumber radikalisme? atau yang memakai cadar pasti radikal? Ini suatu asumsi penuh ketergesa-gesaan. Jika ada suami wanita bercadar yang terciduk densus 88 tapi bukan berarti semua yang bercadar pasti radikal. Dan mungkin untuk menjadi kesadaran bersama jika menjadi radikal itu boleh ke dalam dan moderat jika ke luar. Hal senada pernah diutarakan oleh Sumanto Al Qurtuby.
Pakaian tertentu itu lahir dari keyakinan. Cadar misalnya. Lahir dari keyakinan dalam fikih tertentu dari penganutnya. Jika hal ini dilarang dalam suatu instansi, apakah sang rektor tidak sadar jika dengan sendiri dia telah melanggar kebebasan berkeyakinan sebagaimana diatur UUD 45 pasal 29 ayat 2 berbunyi,”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Cadar bagi seorang yang meyakini wajib tentu keyakinannya harus dihargai. Bagi yang tidak wajib maka juga harus dihargai. Dan bagi yang melanggar dan menimbulkan kerugian maka secara umum dia sudah melanggar dalam pasal 1365 KUH Perdata,
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Namun yang perlu kita sadari jika dalam berkeyakinan bisa dibatasi jika sudah merugikan orang lain. Hal ini tertuang dalam UU No. 12 tahun 2005 tentang ratifikasi kovenan hak-hak sipil dan publik pada pasal 18 ayat (3):
Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain,
Yang menjadi pertanyaan apakah cadar mengganggu orang lain? Merugikan orang lain? Apakah ketidaksenangan orang lain bisa dikategorikan merugikan orang lain?
Kalau sekedar menengok empat madzab, Madzab Hanafi menyatakan cadar wajib jika menimbulkan fitnah, meski wajah wanita bukanlah aurat. Ibnu Najim berkata,”para ulama kami berkata bahwa terlarang bagi wanita muda untuk menampakkan wajahnya di hadapan para lelaki di zaman kita (970 H), karena dikhawatirkan menimbulkan fitnah” (Al Bahr Ar Raaiq).
Madzab Maliki, mirip dengan pendapat madzab hanafi namun ada sebagian kecil ulama maliki yang menyatakan jika seluruh tubuh wanita adalah aurat. Madzab Syafi’i, tubuh wanita di hadapan lelaki ajnabi (bukan mahram) seluruhnya adalah aurat. Wajib bagi wanita untuk memakai cadar. Dan ini pendapat yang dipegang oleh madzab syafii. Madzab Hambali, menyatakan seluruh tubuh wanita adalah aurat. Imam Ahmad bin Hambal sendiri menyatakan,”setiap bagian tubuh wanita adalah aurat, termasuk pula kukunya” (Zaadul Masiir).
Mengenai cadar maka sebenarnya di kampus Islam sudah selesai. Di dalam khasanah keislaman sudah dibahas dengan sedemikian rupa. Apakah ada hal udzur pak rektor?
Oleh: Muslih Marju*
Editor: Oki Aryono
*Penulis tinggal di Tulungagung, Jawa Timur dan Aktif di LSBO PDM Tulungagung.