Suaramuslim.net – Masih membahas tentang sarana transportasi di Surabaya tempo doeloe yang patut diketahui oleh warga kota Surabaya, khususnya generasi zaman sekarang.
Alhamdulillah, dokumen pribadi kami yang tersimpan 17 tahun silam, yaitu koleksi Dukut Imam Widodo yang telah dimuat di Radar Surabaya, edisi Selasa 10 Juli 2001, ditambah dengan penelusuran kami ke berbagai pihak menjadi rujukan dalam memaparkan kembali salah satu cerita rakyat yang kaitannya dengan transportasi Surabaya tempo doeloe.
Sejarah alat angkut tradisional “dokar“
Surabaya Tempo Doeloe kali ini mengulas tentang alat angkut tradisional yang kini tinggal kenangan belaka. Tentang cikar sudah pernah ditulis dalam edisi sebelumnya. Kali ini akan ditampilkan tentang “dokar“. Berdasarkan data tahun 1980 jumlah dokar yang masih tersisa di dalam kota Surabaya tinggal 25 buah. Tetapi tempo doeloe kendaraan yang nama aslinya Dogcart itu jumlahnya sampai ribuan di Surabaya. Mari kita membuka lembaran sejarah alat angkut tradisional ini. G.H. Von Faber dalam bukunya yang termasyhur Oud Soerabaia menulis tentang dokar. Berikut ini adalah saduran dari tulisannya.
“Kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda dan beroda empat sudah banyak yang disewakan tempo doeloe di Soerabaia“. Kereta-kereta itu ada yang tergolong exclusive dan ada pula yang tergolong kelas rendahan. Di antaranya yang tergolong kelas mewah adalah yang bermerk seperti: Americana, Hand Chaise, Palanguin dan Milord.
Kuda-kuda penariknya tergolong pilihan, yaitu yang bertubuh tegap dan gempal. Yang jelas bukan jenis kuda sembrani yang ada sayapnya dan bisa terbang…! Entah mengapa kereta kuda yang tergolong kelas murahan itu di mulut masyarakat Soerabaia disebut dengan “kosong“. Barangkali lantaran koetsier (kusir) kereta itu sering nglepek (putar-putar) cari penumpang. Lantas si calon penumpang bertanya “kosong?“. Si kusir pun menjawab, “kosong Tuan“ Lantas si penumpang pun bilang “Koetsier, rijd me naar Bockhandel Van Dorp, en vlug wat!” Artinya : Pak kusir terno aku nduk Toko Buku Van Dorp, cepetan. Toko Buku Van Dorp itu di sisi kiri Oranye Hotel (Hotel Majapahit, Jl.Tunjungan Surabaya).
Jadi barangkali sais kereta murahan ini seringkali bilang “kosong “, maka selanjutnya masyarakat menyebut kereta kelas murahan adalah “kosong“. Sebagai pengimpor kereta beroda dua untuk kota Soerabaia kala itu adalah Firma Bosch & Co, demikian kata G.H. van Faber dalam bukunya Oud Soerabaia. Penumpangnya duduk dengan cara ‘adu geger’ (punggung) yang dalam bahasa internasionalnya lazim disebut dos-a-dos. Bagi orang pribumi terlalu sulit menyebut kata tersebut (dos-a-dos), akhirnya dirubah menjadi sado.
Kuda yang digunakan sebagai sarana transportasi, sudah mengalami perubahan bentuk. Jika kuda pada umumnya menggunakan tempat duduk berada tepat di atas punggung kuda, maka kuda yang dibuat dokar menyediakan tempat yang lebih luas yaitu digunakan untuk penumpang (pelanggan) serta digunakan untuk meletakkan barang-barang yang dibawa oleh pelanggan tersebut. Desain dokar yang memberikan ruang di belakang kuda difungsikan agar para penumpang dapat mengangkut barang-barang bawaannya.
Termasuk gaya duduk penumpang “adu geger’ (punggung) atau dos-a-dos itu lama-lama kurang asyik, lantaran antara penumpang tidak bisa saling memandang. Maka posisi tempat duduk pun diubah. Begitu juga dengan konstruksi keretanya. Pada awal-awalnya kereta roda dua itu harus diimpor, akan tetapi lambat laun dapat dibikin sendiri. Lantas lahirlah kereta beroda dua yang kelak disebut “dogcart”, yang di mulut rakyat bumi putera lebih gampang disebut dokar saja.
Kuda penariknya pun tidak perlu kuda yang bertubuh kekar dan tegap. Cukup jenis kuda Jawa saja yang kecil, kurus tapi lincah. Sehingga kalau diajak blusukan ke jalan-jalan kampung yang nylempit (gang kecil), jadi bisa fleksibel.
Keberadaan dokar di Surabaya
Keberadaan dokar yang muncul di masyarakat Surabaya disebabkan oleh beberapa faktor, pertama adalah adanya respon dari membludaknya kebutuhan masyarakat kota Surabaya terhadap sarana transportasi dimana pada waktu itu belum banyak ketersediaan alat transportasi.
Kedua adalah karena dokar yang baru hadir menawarkan hal yang lebih baik dalam kehidupan masyarakat dimana pada masa tersebut masyarakat sangat kesulitan untuk memindahkan barang-barang nya dari satu tempat menuju tempat lain.
Demikian, sekilas tentang dokar yang ada di Surabaya tempo doeloe. Kalau kita cermati pada ulasan tadi ada beberapa hal yang harus mendapatkan perhatian dari berbagai pihak. Diantaranya adalah:
Perkembangan suatu kota, harus dibarengi dengan penyiapan sarana prasarana yang dibutuhkan, agar kenyamanan warga kota terpenuhi dengan baik.
Penambahan jalan tidak berbanding lurus dengan penambahan dan perkembangan aktifitas warga kota yang memerlukan cara-cara penyelesaian yang efektif dan efisien.
Seiring dengan perkembangan dan modernisasi kota tidak berarti harus melenyapkan apa-apa yang berbau tradisional. Hendaknya Pemerintah Kota melokalisir zona mana yang boleh dokar beroperasi. Usahakan terkoneksi dengan destinasi wisata lainnya.
Secara berkala, Pemerintah Kota khususnya Dinas Pariwisata menggelar kegiatan yang intinya adalah kreatifitas menghidupkan yang tradisional (transportasi). Misalnya dengan mengadakan lomba desain dokar, kontes dokar sebagai penunjang pariwisata dan masih banyak lainnya.
Semoga siapapun diri kita, apakah warga masyarakat biasa ataupun bahkan Pemerintah Kota harus benar-benar memperhatikan budaya bangsa yang bernilai sejarah dan turut menjadi saksi perjalanan dan perkembangan kota Surabaya. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghargai hasil kreasi para pendahulunya.
Berlanjut ke bagian kedua “Soerabaia Tempo Doeloe “Dogcart“ (2)”
Penulis: Washil Bahalwan*
Editor: Oki Aryono
*Pemerhati sosial