Suaramuslim.net – Sampai pukul 9 pagi (2/12/18) massa yang belum sampai ke sekitar Monas masih banyak. Mereka nyangkut di stasiun KA Gondangdia, Depok, di Taman Kota, dll. Sedangkan yang sudah sampai ke lokasi acara REUNI 212 menyatu sambung menyambung sampai ke Monas, sampai ujung Sudirman dan semua akses yang ke Monas.
Intinya, massa Reuni 212 sampai ke Jln. Sudirman dan dari semua penjuru membludak melebihi tahun 2016. Jadi jelas jutaan yang hadir. Kita tunggu saja laporan “resmi” dan atau “rahasia” atau media partisan yang biasanya isinya palsu yang akan mendiskreditkan jumlah massa yang hadir sebagai puluhan ribu atau paling seratus ribu saja. Maklum selain untuk menyenangkan bosnya, pengecilan ini juga untuk menutupi laporan sebelumnya yang hanya memprediksi massa yang akan hadir paling 20.000-an, dan kini ternyata meleset. Malu maluin.
Ini juga pelajaran berharga bagi semua pihak yang selama ini berusaha keras untuk menggagalkan acara Reuni 212 tahun 2018 ini. Macam-macam cara dari yang halus sampai kasar, dari bujukan dan hadiah sampai tekanan, ancaman dan gangguan tranportasi, tetapi massa reuni tetap membludak. Massa justru semakin solid, sabar, militan, matang dan tahu siapa saja yang ingin menggagalkan acara reuni 212.
Kami melihatnya sebagai training untuk meningkatkan militansi umat. Sementara mereka yang ingin menggagalkan reuni bukan saja menghabiskan banyak dana dan gelisah, tetapi semakin terkuak kartunya. Luar negeri pun terus menyorot pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Bahkan sudah ada yang menilai atau mencemaskannya sebagai memasuki era represif.
Ada juga yang menuduh bahwa massa yang hadir ke Reuni 212 dibayar Rp100 ribu per orang. Jelas ini tuduhan ngawur dan motifnya mudah ditebak, yaitu mereka ingin mengadakan tandingannya dan akan meminta pada sang bandar yang sedang galau agar disiapkan dana sekurangnya sama Rp100 ribu/orang. Proyek ongkos!
Padahal ini aksi damai dan perwujudan demokrasi yang dijamin konstitusi UUD 1945. Mereka yang reuni ini paham dan pendukung setia NKRI dan Pancasila dengan Bhineka Tunggal Ikanya, serta mempraktikkannya tanpa koar-koar. Peserta REUNI 212 juga tahu sejarah lahirnya NKRI, Pancasila dan menjaga kerukunan, merawat kebangsaan dan menyadari betul arti kebersihan, ketertiban dan keamanan dalam berdemo. Bahkan yang hadir ke reuni dari semua aliran, agama dan etnis. Tidak ada yang bayaran. Yang ada kesadaran.
Catatan penting lain adalah pertanyaan siapa sebenarnya motor penggerak aksi damai jutaan orang yang ditaksir melebihi jamaah haji di Padang Arafah? Tentu saja para ulama yang dulu juga menggerakkan Aksi Damai 411 dan 212 tentang penodaan agama, dengan tokoh sentralnya Habib Rizieq Shihab (HRS). Aksi ini sekaligus sebagai pelajaran berharga bahwa:
1. Bagi mereka yang selama ini menzalimi HRS hingga hijrah ke Makkah. Ternyata HRS justru semakin didengar, diikuti, dan dicintai umat. Sebaliknya terhadap ulama atau tokoh yang meninggalkan semangat dan cita-cita 411 dan 212, dicuekin.
2. Bagi pengamat atau lembaga survei yang menganggap kekuatan 212 itu tidak ada apa-apanya atau kecil dibandingkan dengan ormas-ormas lama dan mapan, yang belum tentu mampu menghimpun massa dalam jumlah sebesar massa 212. Massa ini datang dengan ongkos sendiri, bukan bayaran.
3. Juga bagi tokoh, ulama dan ormas yang sering mengklaim sebagai “pemilik” massa yang datang ke reuni adalah atas imbauan, arahan atau restunya. Kini, saat mereka mengimbau tidak perlu datang ke Reuni 212, justru semakin banyak massa yang hadir. Massa ini sudah menemukan pemimpin atau ulama (baru) yang istiqamah, yang dapat dipercaya, yang tidak mudah tergoda duniawi.
4. It goes without saying, aspirasi politik 2019 mereka pun jelas kemana.
Sekarang kita tahu siapa yang harus belajar dari siapa. Siapa yang harus mencontoh dan dicontoh. “Sing becik ketitik Sing olo kentoro”. Siapa yang bohong, siapa yang jujur. Zaman berputar dan yang menang adalah yang sabar dan benar.
Jakarta, 2 Desember 2018
Dr Fuad Bawazier
Pengamat langsung Reuni 212 di lapangan Monas