Suaramuslim.net – Sebentar lagi anugerah dari Allah berupa bulan mulia akan datang menyapa. Tidak ada yang lebih baik dalam menyambut Ramadhan melebihi memperbarui taubat kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala, menjauhi maksiat, menyucikan hati dari segala penyakitnya dan mendidik nafsu untuk taat dan tunduk pada perintah Allah subhanahu wa ta’ala.
Karena sesungguhnya Ramadhan akan selalu datang dan pergi. Lalu ia akan menorehkan keberuntungan bagi orang-orang yang taat. Dan tidak menyisakan apa-apa bagi orang-orang yang lalai, kecuali kerugian.
Sudah berapa kalikah kita kedatangan tamu mulia berupa Ramadhan? Masih ingatkah kita akan saudara atau sahabat yang dulu ada di samping kita, namun di tahun ini kita tak bisa melalui ramadhan kembali bersama, karena mereka sudah dipanggil lebih dulu oleh sang pencipta.
Tak ada jaminan, apakah kita masih dapat menikmati Ramadhan di tahun ini, tahun depan dan tahun-tahun berikutnya. Karena ajal itu pasti, cepat atau lambat kita akan menyusul mereka.
Pertanyaannya, akankah ada semangat dalam diri kita untuk mempersembahkan ibadah terbaik di bulan Ramadhan dari tahun ke tahun? Ataukah Ramadhan yang kita lalui selama ini sama saja dari tahun ke tahun? Bahkan sama seperti saat kita baru belajar puasa dulu? Lalu kapan kita akan naik kelas dalam sekolah bernama Ramadhan ini?
Tingkatan dalam Puasa
Imam Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin menerangkan tingkatan dalam berpuasa. Shaumul umum, shaumul khusus, dan shaumul khususil khusus. Ketiganya bagaikan tingkatan tangga yang menarik orang berpuasa agar bisa mencapai tingkatan yang khususil khusus.
Pertama, shaumul umum, puasa orang awam, yaitu menahan makan dan minum dan menjaga kemaluan dari godaaan syahwat. Tingkatan puasa ini menurut imam Al-Ghazali adalah tingkatan puasa yang paling rendah, kenapa? Karena dalam puasa ini hanyalah menahan dari makan dan minum serta tidak melakukan hubungan suami istri di siang hari.
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, puasa orang ini termasuk puasa yang merugi, yaitu berpuasa tapi tidak mendapatkan pahala melainkan sedikit. Hal inilah yang diwanti-wanti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sabdanya, ”Banyak orang berpuasa tapi tidak mendapatkan pahala berpuasa, melainkan hanya lapar dan dahaga”.
Kedua, shaumul khusus, puasanya orang khusus, yaitu selain menahan makan dan minum serta syahwat juga mampu menahan pendengaran, pandangan, ucapan, gerakan tangan dan kaki dari segala macam bentuk dosa.
Mari kita renungkan. Selamatnya lisan, adalah selamatnya Ramadhan. Banyak orang yang berpuasa tapi tidak mendapatkan apa-apa akibat lisan yang tidak dijaga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan selalu mengamalkannya, maka Allah subhanahu wa ta’ala tidak butuh kepada puasanya”. (HR. Al-Bukhari no. 1804)
Iman Hasan Al-Bashri berkata, ”Lisan orang mukmin berada di belakang hatinya. Apabila dia ingin berkata, maka ia akan meminta nasihat terlebih dahulu kepada hatinya, barulah ia berucap. Sedangkan lisannya orang munafik berada di depan hatinya, apabila ia ingin berkata, maka ia berkata langsung, tanpa meminta nasihat kepada hatinya”.
Di dalam surat An-Nisa ayat 114 Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan dari orang yang menyuruh bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak kami akan menggantinya dengan pahala yang besar.”
Ketiga, shaumul khususil khusus, puasanya khususnya orang yang khusus, yaitu puasanya hati dari kepentingan jangka pendek dan pikiran-pikiran duniawi serta menahan segala hal yang dapat memalingkan dirinya dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Pahala dan pengaruh ibadah hati lebih besar dibandingkan dengan ibadah fisik. Diantara contoh ibadah ini adalah tafakkur, tadabbur dan senantiasa merenungkan tentang hidup dan mati serta alam kubur dan hari kebangkitan.
Amalan ini bisa lebih menimbulkan bekas dan pengaruh yag dalam. Abu Darda’ pernah mengatakan, ”Berfikir sesaat itu lebih baik dari pada shalat semalam suntuk”. Said bin Musayyib juga pernah berkata, ”Demi Allah ibadah itu tidak lain adalh berfikir tentang perintah Allah dan menahan diri dari larangan-larangannya”.
Baca Juga : Agar Puasa Kita Naik Kelas (2)
Kontributor: Santy Nur Fajarviana*
Editor: Oki Aryono
*Pengajar di MIT Bakti Ibu Madiun