Suaramuslim.net – ”Jika aku telah membunuh sebaik-baik manusia, yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib, kini aku telah membunuh seburuk-buruk manusia, yaitu Musailamah Al Kadzzab” ungkapan penyesalan Wahsyi bin Harb yang telah membunuh paman Nabi Muhammad SAW.
Ungkapan tersebut terlontar setelah tombaknya berhasil menumbangkan nabi palsu, Musailamah Al Kazzab. Memang, tak ada seorang pun yang menduga bahwa pembunuh Hamzah bin Abdul Muthalib akan memeluk Islam. Bagaimana mungkin, orang yang sudah dengan sadis mengoyak jasad Hamzah, kini berbalik menjadi pembela Islam? Inilah hidayah Allah.
Bahkan, saat Rasulullah menyaksikan mayat paman beliau tersebut, beliau merasa sangat sedih. Pada perang Uhud tersebut, Hamzah bin Abdul Muthallib di tombak dari belakang oleh Wahsyi. Tak cukup sampai di situ, Wahsyi membelah dada Hamzah, mengeluarkan jantungnya, memotong hidung dan telinga dan bibir dan mencungkil ke dua matanya lantas di bawakan kepada Hindun, majikannya. Dan sebagai hadiahnya, ia dibebaskan dari perbudakan Hindun.
Ya, Hindun adalah orang yang berperan penting dalam pembunuhan Hamzah. Dialah yang memberi perintah Wahsyi untuk membunuh Hamzah. Hindun adalah isteri pembesar Quraisy, Abu Sufyan. Ia menyimpan dendam, karena banyak saudaranya yang terbunuh di medan perang Badar. Ia pun berusaha membalas sakit hatinya terhadap saudara-saudaranya yang tewas dalam perang tersebut. Maka ia pun berusaha untuk membunuh Hamzah dengan menyewa seorang pembunuh bayaran, bernama Wahsyi bin Harb. Dan sebagai imbalannya, Hindun akan memerdekakan Wahsyi dari belenggu perbudakan. Ternyata, dengan kelihaiannya memainkan tombak, Wahsyi berhasil menunaikan tugasnya dengan baik. Hamzah terbunuh.
Saat peristiwa Fathul Makkah, Wahsyi melarikan diri. Sedangkan istrinya menjumpai Rasulullah, untuk meyampaikan pertanyaan tentang suaminya. Rasululah menyatakan bahwa semua taubat akan diampuni oleh Allah. Isterinya pun kembali kepada Wahsyi, dan menyampaikan jawaban Nabi tersebut. Ternyata Wahsyi masih belum yakin, apakah kesalahannya yang sangat besar tersebut dapat diampuni. Ia pun meminta isterinya kembali Nabi Muhammad, dengan menyampaikan pesan bahwa yang berdosa itu adalah Wahsyi, si pembunuh paman Nabi.
Saat sang isteri kembali kepada beliau, dan menyatakan bahwa pertanyaan tersebut diperuntukkan untuk suaminya, Wahsyi, Rasululah terdiam. Wajah mulianya menunduk. Lalu turunlah ayat,
“Katakanlah Wahai hamba-hamba Ku, yang telah melampaui batas dalam berbuat dosa jangan berputus asa dari kasih sayang Allah, sungguh Allah Maha Mengampuni semua dosa, dan sungguh Allah Maha pengampun dan berkasih sayang” (QS Azzumar 53).
Subhanallah, demikian luas ampunan Allah. Bahkan untuk orang yang telah berbuat kejam kepada kekasihnya pun Allah membuka pintu taubatnya. Asalkan orang tersebut bersungguh-sungguh untuk membersihkan diri. Memurnikan dirinya dari segala dosa yang telah ia lakukan. Menghijrahkan jasad dan ruhnya meninggalkan kekelaman, menuju cahaya terang dalam hidayah Allah SWT.
Dan kesungguhan Wahsyi akhirnya terbukti dalam sejarah. Seusai wafatnya Rasulullah SAW, dan pimpinan umat Islam dipercayakan kepada Abu Bakar, ia bersunguh-sungguh berjuang dalam panji Islam. Bahu-membahu dengan tentara Islam yang lain, ia menumpas nabi palsu Musaimalah Al Kadzzab di medan perang, ia memantapkan hatinya untuk menghabisi Musailamah. Pandangan tajam matanya mengintai, di mana Musailamah berada. Ternyata sosok yang ia cari bersembunyi di dalam tenda. Saat ia melihat kepala Musailamah melongok keluar dari tenda, segera bidikkan tombaknya. Laju tombaknya deras dan menghunjam tubuh mangsanya. Hampir bersamaan dengan itu sebuah sabetan pedang dari seorang pemuda muslim turut mengoyak tubuh si pembohong tersebut.
Saat ditanya oleh sahabat yang lain tentang siapa yang telah membunuh Musailamah, dia pun berkomentar bahwa ia tak tahu tombaknya atau pedang pemuda muslim itu yang lebih dulu membunuh Musailamah. Namun ia merasa bersyukur karena telah dapat membunuh seburuk buruk manusia, yaitu Musailamah. Setelah sebelumnya, ia telah membunuh sebaik-baik manusia, yaitu Hamzah bin Abdul Mutholib.
Oleh: Mohammad Efendi, S.S., Pendidik di YLPI Al Hikmah Surabaya
Editor: Muhammad Nashir