Catatan Akhir Tahun 2019: Isu-Isu Global Dasawarsa Ini

Catatan Akhir Tahun 2019: Isu-Isu Global Dasawarsa Ini

Catatan Akhir Tahun 2019 Isu-Isu Global Dasawarsa Ini
Ilustrasi perang dagang AS vs Cina. (Ils: Kompas)

Suaramuslim.net – Sebentar lagi kita akan menutup tahun yang penting dalam perjalanan bangsa dan dunia.

Ini adalah akhir dari dekade kedua abad ke-21. Ada juga yang menetapkan akhir dekade pada tahun berakhiran 0 dan awal dekade pada tahun berakhiran 1. Apa pun pendekatannya, menarik untuk melihat fenomena selama 10 tahun terakhir ini.

Perlambatan ekonomi, ketimpangan sosial ekonomi, krisis lingkungan, perlombaan senjata, dan krisis kemanusiaan di berbagai hotspot konflik adalah catatan penting dalam dasawarsa ini.

Kita harus jeli membaca, bahwa apa yang terjadi antara AS dan Cina bukan lagi sekadar perang dagang, melainkan perang supremasi, untuk membuktikan siapa yang paling unggul di bumi ini.

Perang dagang AS-Cina hanyalah tindakan paling kasat mata, di balik itu ada perang intelijen, perang informasi dan disinformasi, serta proksi konflik di berbagai tempat. Apa yang terjadi di Hong Kong, misalnya, tidak bisa kita lepaskan dari konstelasi perang supremasi ini.

Sebaliknya, kita melihat pemilihan umum di berbagai belahan dunia telah menjadi ajang intervensi negara lain. Kepentingan Cina di berbagai negara, khususnya yang tengah mengalami pemilu, diganggu dengan berbagai isu baik lokal maupun internasional.

Masyarakat internasional masih menunggu bagaimana resolusi konflik Uighur, bagaimana Cina akan menyelesaikannya di tengah sorotan mata dunia.

Anti-globalisasi dan bangkitnya pemimpin kanan jauh di berbagai negara, khususnya di Eropa, merupakan satu fenomena tersendiri dalam dekade ini.

Dulu globalisasi ingin meminimalkan peran negara dalam lalu lintas modal, barang, uang, orang sehingga individu dibayangkan seperti tinggal di dalam “global village” tanpa sekat-sekat negara.

Yang terjadi adalah individu hidup di dalam “global market” yang harus bersaing sendiri-sendiri tanpa perlindungan negara. Kontrak sosial dengan negara dipertanyakan ketika pengurangan hambatan dalam skema-skema perdagangan bebas menghasilkan serbuan persaingan.

Namanya persaingan, ada yang menang dan ada yang kalah. Kaum Globalis hingga sementara waktu menguasai dunia dengan jargon perdagangan bebas, global government, dan global democracy. Termasuk juga kaum finansial yang mengatur dunia lewat Wall Street dan pusat-pusat keuangan dunia lainnya.

Individu yang kalah akhirnya marah dan mencari pemimpin yang bisa mengembalikan tameng-tameng perlindungan negara untuk berlindung dari serbuan persaingan global.

Apalagi setelah krisis pengungsi yang sampai menggoyah APBN negara-negara Eropa. Warga negara di Eropa marah, “Saya capek-capek bayar pajak, yang menikmati orang dari Arab, Afrika yang tidak saya kenal.”

Di Amerika, dalam konteks yang berbeda, rakyat AS mencari perlindungan dari relokasi industri, serbuan barang impor, dan tenaga kerja murah. Di Amerika yang marah bukan lagi kaum kulit hitam dan berwarna, tapi kaum kulit putih yang merasa terancam.

Inilah yang menjadi pemicu menangnya Trump di Amerika dan pemimpin kanan jauh di Eropa. Walau belum menjadi pemenang, sejumlah partai kanan mendulang suara cukup signifikan di Jerman dan Italia. Salah satu puncak dari anti-globalisasi adalah Brexit di Inggris yang semakin terang jalannya setelah kubu Boris Jhonson kembali memenangkan pemilu.

Kita harus siap dengan eskalasi perlombaan senjata, khususnya nuklir, karena pihak yang dulu mengikat perjanjian, kini mengundurkan diri. Yang paling serius tentu AS yang menarik diri dari kesepakatan senjata nuklir jarak menengah (Intermediate-Range Nuclear Forces/INF) dengan Rusia, yang melarang pembuatan rudal jarak antara 500 s/d 5.000 km.

INF adalah perjanjian yang ditandangani Presiden AS Ronald Reagan dan pemimpin Soviet Mikhail Gorbachecv pada 1987. Selain itu, perkembangan persenjataan membuat dunia makin “panas.” Rusia telah mengembangkan hypersonic missile system yang dinamai Avangard yang mampu keluar dan masuk kembali ke atmosfer sehingga tak terlacak oleh sistem pertahanan anti-rudal. Peledak nuklir ini mampu “melesat” lebih dari 24.000 km/jam.

Kehadiran Avangarde membuat aircraft carrier atau yang kita kenal “kapal induk” menjadi tidak relevan karena kecepatan, daya jelajah, dan manuvernya.

Bicara kapal induk, Cina tengah membangun kapal induk terbesar Type 002, setelah sebelumnya sukses membangun Type 001A yang bisa didarati 36 jet tempur. Cina telah merintis pembuatan kapal induk sejak 1985.

Kini Cina memiliki 2 kapal induk aktif dan 1 sedang dalam produksi. Diperkirakan Cina memiliki 6 kapal induk pada 2030. AS kini mengoperasikan 11 kapal induk. Di seluruh dunia hari ini ada 44 kapal induk milik 13 negara. Belum lagi pengembangan nuklir di Iran dan Korea Utara dan negara-negara lain yang meningkatkan ketegangan kawasan dan global.

Tiga isu tersebut hanyalah highlight dari sejumlah isu-isu global yang akan berlanjut pada dasawarsa berikutnya. Indonesia harus menjadi negara yang kuat agar mampu ikut memengaruhi arah dunia.

Kita harus mempunyai navigasi yang jeli agar tidak terombang-ambing dalam konstelasi global. Kita juga harus punya neraca kepentingan RI dengan negara atau kawasan yang jelas, sehingga kepentingan nasional kita juga terpenuhi.

Itulah sekilas catatan isu-isu global pada dasawarsa ini. Nanti kita akan lanjutkan dengan isu-isu nasional.

Anis Matta
Ketua Umum Partai Gelora
Diambil dari post instagram, 31 Desember 2019

Opini yang terkandung dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment